Data Dukung sebagai Prasyarat Perencanaan Berkualitas
Font: Ukuran: - +
(Solusi Polemik Dana Hibah dan Bansos APBA 2019)
Oleh Saddam Rassanjani
DIALEKSIS.COM - Polemik pengelolaan dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2019 tampaknya sudah ada titik temu, semenjak Pemerintah Aceh merilis keterangan resminya pada Rabu (24/7/2019) lalu.
Pemerintah Aceh menjelaskan bahwa Alokasi dana hibah dan Bansos dalam APBA 2019 merupakan hasil kesepakatan Pemerintah Aceh dengan Pimpinan DPRA, dan kesepakatan itu dituangkan dalam Berita Acara pada 28 November 2018. Hal ini sesuai amanat Pasal 343 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang tata cara perencanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan daerah, tata cara evaluasi rancangan peraturan daerah tentang RPJPD dan RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD, dan Renja Pemerintah Daerah.
"Karena itu, dapat dimaklumi apabila ada pihak-pihak yang tidak mengetahui secara persis bagaimana proses alokasi hibah dan bansos dalam APBA 2019 tersebut yang justru merespon secara tidak proporsional," ujar ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) Taqwallah di Media Center Biro Humas dan Protokol Setda Aceh hari itu.
Baca: Pemerintah Aceh Jelaskan Realisasi Dana Hibah dan Bansos
https://dialeksis.com/aceh/pemerintah-aceh-jelaskan-realisasi-hibah-dan-bansos-apba-2019/
Namun, dengan adanya penjelasan itu, tidak serta-merta kita melupakan polemik tersebut. Justru menurut penulis, maka semua pihak perlu memikirkan solusi jangka panjang. Solusi yang tak hanya untuk pengelolaan belanja hibah dan bantuan sosial, tetapi juga berbagai program pembangunan lainnya dari Pemerintah Aceh.
Menurut penulis, polemik pengelolaan dan hibah dan bansos dalam APBA 2019 disebabkan oleh masih lemahnya koordinasi dan konsistensi perencanaan kabupaten/kota dengan provinsi.
Pemerintah Aceh masih memberi "angin" bagi program dan kegiatan yang belum memiliki data dukung, termasuk untuk belanja hibah dan bansos. Kondisi ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memasukkan program dan kegiatan yang belum memiliki data pendukung teknis.
Padahal, Pemerintah Aceh telah menyampaikan ke publik, akan berupaya melaksanakan seluruh kegiatan yang sudah ditetapkan dalam APBA 2019. Meskipun, menurut pemerintah Aceh, sebagian besar program dan kegiatannya akan diupayakan masuk dalam APBA Perubahan 2019 dikarenakan perlu persiapan data pendukung teknis.
Namun, Pemerintah Aceh menyampaikan anggaran sebesar Rp 659 milyar dari Rp 1,8 triliun (bukan Rp 2 T seperti diberitakan sejumlah media) telah dicairkan.
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota hendaknya membangun kesepahaman dalam konteks perencanaan daerah.
Pendekatan teknokratis, pendekatan top down dan button up harus benar-benar diwujudkan demi menyusun perencanaan yang terintegrasi dan berkeadilan.
Polemik ini menurut kami dapat diatasi bila komunikasi antara Pemerintah Aceh dengan legislatif, dan Pemerintah Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota dapat berjalan maksimal, sehingga kegiatan yang tidak memiliki data dukung secara teknis tidak akan "lolos" dan ditetapkan dalam APBA.
Data Pendukung Teknis
Pemerintah Aceh sedang memacu tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance).
Saat ini, Pemerintah Aceh telah memiliki aplikasi perencanaan yang dikenal dengan e-Planning terintegrasi e-Budgeting yang diluncurkan secara resmi di Aula Meuligoe Wakil Gubernur, Selasa (9/4/2019).
Instrumen ini dapat digunakan untuk memantau program dan kegiatan serta lokasi, bahkan dapat mengetahui alokasi anggaran untuk setiap kegiatan.
Namun, persoalan perencanaan tidak hanya soal sistem, tetapi juga perilaku birokrasi agar taat pada ketentuan, terutama dalam hal perencanaan daerah.
Kesiapan data dukung menjadi penting pada saat perencanaan. Pemerintah Aceh hendaknya memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas perencanaan. Kualitas perencanaan ini akan terwujud bila setiap program dan kegiatan memiliki data pendukung teknis.
Syarat data dukung hendaknya tidak dibebankan kepada usulan program dari SKPA, namun menyeluruh termasuk usulan program dan kegiatan yang berasal dari kabupaten/kota.
Kalaulah kita mau belajar dari perencanaan di tingkat pusat, dimana setiap program dan kegiatan yang diusulkan wajib mengirimkan data dukung melalui aplikasi masing-masing kementerian, maka perencanaan APBA akan lebih baik. Tidak ada program dan kegiatan yang tidak memiliki data dukung yang akan diloloskan oleh kementerian tersebut.
Tentu perlu komitmen semua pihak agar proses perencanaan yang ketat dengan "input" data dukung di awal pembahasan program dan kegiatan. Namun, tidak salahnya pemerintah Aceh dan DPRA berupaya menjadi solusi permanen agar persoalan ini tidak terulang.
Terlepas dari berbagai resolusi yang penulis tawarkan di atas, pendekatan politis antara eksekutif (Pemerintah Aceh) dengan legislatif (DPRA) menjadi prasyarat.
APBA merupakan instrumen politik yang disusun bersama antara Pemerintah Aceh dan DPRA. Kompromi kedua belah pihak ini menjadi awal perencanaan yang berkualitas.
Pemerintah Aceh dan DPRA memiliki tanggung jawab besar dalam mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian di Aceh melalui pembangunan yang berkeadilan.()
Penulis adalah peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI)