Investasi Minerba dan Kerentanan Hak Masyarakat Adat Dalam RUU Omnibus Law
Font: Ukuran: - +
Chairul Fahmi, Dosen Hukum Ekonomi Syariah (HES) UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Bank Dunia dalam laporannya ‘Global Economic Prospects’, seperti dikutip CNBC Indonesia, memperkirakan pertumbungan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 hanya tumbuh pada kisaran 4.8% (Putri, 2020). Ramalan Bank Dunia ini lebih rendah dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 lalu, yaitu hanya 5,17%, atau berada dibawah janji (mitos) politik Presiden Jokowi yang menyatakan pertumbuhan Indonesia akan tumbuh sebesar 7% (Pramesti, 2019). Terjadinya depresiasi ini tidak saja karena dampak dari perang dagang Amerika dengan Cina (Kompas, 2019), juga diperparah oleh wabah virus Corona (Covid19) asal Wuhan Cina, yang telah membuat ekonomi Indonesia mengalami turbulensi. BPS merilis perekonomian Indonesia mengalami kontraksi sebesar -5,25% (minus lima koma dua persen) pada kuartal kedua tahun 2020 (Hanif Gusman, 2020).
Stagnasi pertumbuhan ekonomi ini tidak menyurutkan keinginan pemerintahan Jokowi untuk mewujudkan (lanjutan) NAWACITANYA, dengan apapun caranya. Setidaknya ada dua ‘citanya’ dari sembilan cita “ yang akan penulis uraikan dari artikel ini dan kaitannya dengan isu RUU Cipta Kerja (Omnibus Law), khususnya klaster Minerba. Pertama, cita-nya “membangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.” Kedua, visi “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.”
Untuk mewujudkan pembangunan dari pinggiran, pemerintah telah mengucurkan dana Desa sejak tahun 2015. Program ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No.60 Tahun 2014 tentang Dana Desa, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan pengentasan kemiskinan (Kemenkopmk, 2020). Ironis, sejak Covid19 melanda dunia, angka kemiskinan di Indonesia juga ikutan melonjak, menjadi 9,78%, atau naik 0.56% dari tahun 2019 (Thomas, 2020).
Selain itu, pemerintahan Jokowi juga mengeluarkan kebijakan pembanguan infrastruktur diberbagai daerah, terutama daerah-daerah yang termarginalkan selama rezim Orde Baru, seperti Aceh, Papua dan lainnya. Pembangunan ruas jalan trans Papua, tol trans Jawa, tol trans Sumatera, Pembangunan Bandara-Bandara daerah-daerah terisolasi, Waduk serta rencana bombastis pembangunan Ibu Kota Baru di Kalimantan. Gebrakan pembangunan infrastrukstur ‘besar-besaran’ ala Jokowi ini mendapat pujian dari berbagai pihak, dan menjadi salah satu “the new developmentalist” di Asia Tenggara (Warburton, 2016).
Sementara untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik, selain membangun Kawasan Ekonmi Khusus, juga harus disinergikan dengan prinsip otonomi daerah. UU No.23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah telah memberikan legal-juridis tentang kewenangan daerah mengatur urusan pemerintahan di daearh menurut asas desentralisasi. Beberapa sektor strategis ekonomi antara lain bidang pertanian, kehutanan, perikanan dan pertambangan.
Pada periode kedua, Jokowi menyadari tantangan ekonomi Indonesia semakin sulit. Kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk 2019 saja membutuhkan dana Rp.4,700 triliun, dimana 33% bersumber dari APBN/APBD, 25% dari BUMN dan sisanya dan pihak investor (Arief, 2018). Namun disisi lain, Indonesia juga mengalami tantangan banyaknya investor asing yang enggan berinvestasi, atau bahkan hengkang dari Indonesia, daya saing Indonesia ditingkat global lemah, dan hutang yang membengkak (Resty Woro Yuniar, 2019). Setidaknya, di Asia Tenggara saja, investasi asing di Indonesia kalah dari Vietnam dan Malaysia. Faisal, Direktur Center of Reform on Econmics (CORE) Indonesia, mengklaim salah satu faktor karena rumitnya birokrasi perizinan dan pembebasan lahan (Resty Woro Yuniar, 2019). Maka pada pidato pertamanya setelah terpilih sebagai presiden untuk kedua kalinya, Jokowi menyatakan akan memudahkan proses birokasi dan perizinan, termasuk dalam hal pembebasan tanah. Konsep ini akan dituangkan dalam satu konsep perundang-undagan yang disebut ‘Omnibus Law’ agar proses perizinan lebih praktis dan efesien, sehingga diharapkan akan memboosting para investors asing ke Indonesia (Media, 2020).
RUU OMNIBUS: Klaster Minerba
(1) Ide dan efek
Ide dan konsep ‘OMNIBUS law’ yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi, akhirnya disahkan oleh DPR RI pada rapat paripurna pada Senin, tanggal 5 Oktober 2020. Omnibus law atau dikenal dengan RUU Cipta (lapangan) Kerja (disingkat: Cilaka) ini telah menimbulkan kontroversi sejak dari awal hingga disahkan oleh DPR (tanpa ada draft final). Sebagian ahli hukum menyatakan, draft RUU Cilaka ini tidak saja ‘cacat prosedural’ dalam proses pengesahannya, bahkan juga tidak transparant, tidak ada publik hearing, tidak ramah lingkungan serta tidak memihak kepada kepentingan rakyat (Ahmad Supardi, 2020; Nusantara, 2020a, 2020b). Hal ini menjadi bagian dari alasan terjadinya gelombang penolakan atau demontrasi diberbagai kota di Indonesia, khususnya dari kelompok kaum Buruh, Mahasiswa, Osmas dan para intelektual kampus. Sayangnya, tidak sedikit para demontran menjadi korban akibat tindakan represif dari pihak keamanan. Disamping sejumlah fasilitas publik juga ikut terbakar akibat kemarahan dan anarkhism sejumlah demontran.
(1) Analisis Materi RUU Cilaka Klaster Minerba
Analisis ini merujuk kepada draft yang beredar online (bukan dari Laman Sekjen atau Banleg DPR RI), yaitu draft yang berketebalan 905 dan bukan yang berjumlah lebih seribuan halaman atau yang kurang. Secara umum RUU Cilaka versi 905 ini menghapus dan mengubah beberapa pasal dari 79 UU, terdiri dari 15 Bab dan 186 pasal.
Terkait dengan kegiatan investasi, diatur pada bab III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, dan paragraf 5 membahas secara khusus tentang energi dan sumber daya mineral. Pasal 38 menyatakan mengubah, menghapus dan menetapkan beberapa UU yang terkait dengan Energi dan Sumber Daya Mineral, antara lain: (1) UU No.4 Tahun 2009 yang diubah menjadi UU No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba); (2) UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; (3) UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi; dan UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Tulisan ini akan mengkaji dua perubahan mendasar dari UU Minerba dalam draft Cilaka ini. Pertama, terkait dengan penghapusan kewajiban royalti, dan kedua tentang ancaman hukuman bagi yang menganggu investor dan investasi tambang Minerba.
Terkait dengan penghapusan kewajiban royalti diatur pada pasal 128A ayat (2), yang berbunyi:
“Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).”
Pasal ini menghapus kewajiban perusahaan untuk membayar royalti kepada negara. Sebelumnya, setiap pelaku usaha dibidang Minerba diwajibkan membayar properti dari hasil keuntungan bersih sejak dimulainya produksi. Hal ini seperti tersebut pada pasal 129 ayat (1) UU Minerba, yang menyatakan bahwa pemegang IUPK dibidang Minerba wajib membayar 10% hak royalti kepada negara sejak produksi dimulai, dimana hak tersebut ini dibagi, 6% untuk pemerintah daerah dan 4% untuk pemerintah pusat.
Pembayaran kewajiban royalti ini merupakan bagian dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dimana pada tahun 2018 saja, negera mendapat 50 triliun dan sekitar 80% diantaranya berasal dari sejumlah perusahaan tambang batu bara yang patuh. Harus diakui bahwa pendapatan PNBP ini akan memberikan dampak positif bagi daerah penghasil sumber daya alam tersebut, meskipun tidak sebanding dengan keuntungan perusahaan itu sendiri. Di Papua, royalti yang dibayarkan oleh perusahaan raksasa Freeport sangat membantu pembangunan daerah Mimika.
Namun bagi pemerintahan Jokowi, kewajiban membayar royalti ini dinilai akan menambah beban pelaku usaha dan dikhawatirkan akan membuat industri ekstraktif ini tidak berkembang (Kumparan, 2020). Dasar pemikian ini bagi sebagian pendapat, negara tidak saja mengkampanyekan agar sumber kakayaan alam dibidang Minerba untuk lebih intensif dieksplorasi, juga terkesan lebih berpihak kepada pasar dan investor, dibandingkan kepada rakyat dan atau kemandirian bangsa seperti tersebut dalam Nawacitanya Jokowi.
Keberpihakan kepada investor, dan upaya merangsang asing untuk membawa modal lebih besar dibidang pertambangan Minerba juga bertentangan dengan materi pasal 4 UU No.3 Tahun 2020 perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, yang menyatakan bahwa:
(1) Mineral dan Batu Bara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ketentuan pasal 4 ini merupakan terjemahan dari amanah konstitusi, pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945, yang berbunyi:
(1) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.****)
Memang makna “dikuasai oleh negara” mengandung kontrovesi. Apakah negara dapat mendelegasikan kepada pihak non-pemerintah atau bahkan asing? ataupun harus diurus dan dikelola oleh negara sendiri? Putusan dan terjemahan Mahkamah Konstitusi terkait pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa:
“hak menguasai negara” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichhoundendaad).(IBR. SUpancana, 2008)
Namun demikian, ketentuan pendelegasian pengurusan dan pengelolaan SDA, termasuk Minerba harus bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Seperti bunyi konstitusi, “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Hal kedua yang diubah dan atau ditambah dalam RUU Cilaka adalah tentang ancaman bagi pihak yang menganggu perusahaan tambang mineral dan batubara. Pasal 39 ayat (2) menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) 183 tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Delik ini sebenarnya bukan hal baru, karena ketentuan ini telah disebutkan sebelumnya dalam Pasal 162 UU No.3 tahun 2020, yaitu:
“Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Hanya saja, yang berbeda adalah, dalam RUU Cilaka ditambah ketentuan pemenuhan syarat-syarat yang harus dilakukan oleh Pelaku Usaha, yaitu ketentuan pada pasal 86F hurus (b) dari UU Mineral. Pasal ini berbunyi: “Menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Sementara pasal 136 ayat (2) UU No.4 Tahun 2009, berbunyi: “Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.”
Artinya, jika pemegang Perizinan Berusaha bidang Minerba telah menyelesaikan kewajibannya melakukan pembebasan atas hak tanah yang dimiliki oleh seseorang dan atau suatu badan hukum, maka segala ganguan yang terjadi atas kegiatan pertambangan tersebut merupakan tindakan kriminal, dapat dipidana dan atau didenda.
Permasalahnya adalah ketika wilayah usaha pertambangan tersebut masuk dalam kawasan tanah masyarakat adat, atau tanah hak ulayat. Tanah tersebut bersifat kolektif, atau tidak dimiliki oleh seseorang, tapi oleh institusi masyarakat adat dan tidak ada atau belum sertifikat hak milik (kolektif) masyarakat adat. Dalam hal ini klaim negara bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya merupakan tanah negara, merupakan refleksi prinsip dari domain verklaring, dan sering menimbulkan konflik. Dalam banyak kasus, konflik antara korporat dengan masyarakat adat sering menimbulkan korban jiwa.
Dalam UU Minerba sendiri, maupun dalam sinkronisasinya melalui RUU Cilaka juga tidak disebutkan tentang hak masyarakat adat dan hak atas tanahnya harus dilindungi dari ‘jamahan’ investasi Minerba. Kecuali pada pasal 41 ayat (18) RUU Cilaka “ terkait dengan perubahan UU No.21 Tahun 2014, pasal 42 tentang Panas Bumi (Minyak dan Gas), yaitu :
(1) “Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi harus terlebih dahulu melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sementara dalam UU Minerba maupun RUU Cilaka terkait Minerba, tidak ada ketentuan kewajiban pemegang Perizinan Berusaha untuk melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan kelompok masyarakat adat. Padahal, tanah adat termasuk hutan ulayat merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat adat. Tanah adat juga merupakan identitas sosial dan budaya, karena disana terdapat peninggalan warisan leluhurnya. Hak-hak mereka telah bahkan diakui oleh hukum international, baik dalam Deklarasi HAM tentang hak budaya dan hak properti, konvensi international tentang politik (ICCPR), konvensi international tentang economi, sosial dan budaya (ICESCR), perjanjian ILO No.169 serta deklarasi universal PBB No.61/295 tahun 2007 tentang hak masyarakat adat (indigenous peoples’ rights).
Namun jika merujuk kepada ketentuan pasal 39 ayat (2) tentang delik pidana bagi pihak yang melakukan ganguan terhadap usaha pertambangan, maka protes masyarakat adat atau tindakan masyarakat adat yang menghambat dan menganggu kegiatan tersebut termasuk kategori perbuatan pidana, yang dapat dipenjara dan atau didenda. Artinya, proses kriminalisasi terhadap komunitas-komunitas adat yang menentang kegiatan pertambangan akan terus berlanjut seperti terjadi pada rezim-rezim sebelumnya. Pertanyaan, apakah pemerintah merupakan representasi dari pengusaha tambang Minerba atau perwakilan dari rakyat, termasuk masyarakat adat sebagai masyarakat pinggiran, serta dimana kedudukan cita-cita konstitusi, yaitu ‘...yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur." ***
Chairul Fahmi, Dosen Hukum Ekonomi Syariah (HES) UIN Ar-Raniry Banda Aceh