kip lhok
Beranda / Analisis / Kaji Ulang Wacana Pemilu Proporsional Tertutup

Kaji Ulang Wacana Pemilu Proporsional Tertutup

Minggu, 01 Januari 2023 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Aryos Nivada. [Foto: for Dialeksis.com]


Untung Rugi Proposional Tertutup

Sebenarnya wacana sistem proporsional tertutup, alias memilih caleg sebagaimana kucing dalam karung adalah wacana yang sudah lama digagas oleh sejumlah kalangan.

Bahkan sekelas Guru Besar Univesitas Indonesia, Prof. Dr. Valina Singka Subekti juga sempat melontarkan gagasan tersebut pada saat pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Politik di tahun 2019. Menurutnya Sistem pemilu saat ini yang berpusat pada calon atau “candidacy centered” perlu direkayasa kembali menjadi sistem pemilu yang berpusat pada partai atau “party centered’. Sistem pemilu proporsional tertutup dapat dipertimbangkan kembali sebagai salah satu alternatif untuk digunakan dalam pemilu serentak 2024.

Kembali ke era serba tertutup dinilai sebagai pilihan terbaik setelah sebelumnya Pemilu dengan proprosional terbuka menyisakan sejumlah persoalan yang tak kunjung usai dalam setiap momentum pemilu. Tak lain adalah fenomena praktek vote buying dan vote trading yang marak berlangsung di pemilu 2014 dan 2019. Selain itu sistem proporsional terbuka dianggap memperlemah partai sekaligus mendorong iklim kompetisi ketat diantara sesama kader partai yang berlaga dalam arena kontestasi demokrasi lima tahunan.

Dilihat dari sisi histori Pemilu di Indonesia, sebelum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menggunakan proporsional tertutup, dimana pemilih hanya memilih partai politik karena berdasarkan UUD 1945 kontestan Pemilu legislatif adalah partai politik, kemudian partai politiklah yang menunjuk anggotanya untuk duduk di DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Namun kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan agar menggunakan sistem proporsional terbuka melalui Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak. Sehingga sejak pemilu 2009, 2014 dan 2019 terus menggunakan sistem ini.

Bila mau jujur, setiap pilihan varian sistem pemilu memiliki plus-minus, baik proporsional terbuka (openlist proportional representation) ataupun tertutup (closed list proportional representation). Tidak heran bila sejumlah pakar menyebut bahwa trik dalam memilih (atau memperbarui) sebuah sistem pemilu adalah dengan memprioritaskan kriteria yang paling penting dan kemudian menilai sistem pemilu, atau kombinasi berbagai sistem, mana yang dapat paling memaksimalkan pencapaian tujuan-tujuan dimaksud (Andrew Reynolds dkk, 2016).

Kelemahan dari proporsional terbuka, selain maraknya vote buying atau politik transaksional antara caleg dan pemilih, dinilai adalah terbangunnya individualisme antar politisi dalam satu partai yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Proporsional terbuka ini juga dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menyebut peserta Pemilu adalah partai politik bukan individu. Dalam pemilu kompetisi harusnya terjadi antarpartai politik di area pemilu bukan antar individu partai.

Minusnya sistem proporsional tertutup, Menurut MK adalah sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Sebab, kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Padahal dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

Proporsional tertutup disatu sisi memang menawarkan kesederhanaan pilihan bagi pemilih serta kemudahan konsolidasi dan internalisasi ideologi bagi partai. Namun, sebagaimana dikatakan Edward Aspinall (2020) bila tidak dikelola baik sistem ini berpotensi menimbulkan party dictatorship dan party oligarchy, yakni kandidat terpilih sebagian besar adalah elite atau pimpinan partai dan beberapa kandidat yang memiliki modal finansial untuk membayar posisi tertinggi dalam nomor urut daftar caleg. Tak heran kemudian dalam pemilu sistem proposional tertutup marak ditemukan pula praktik jual-beli nomor urut jadi atau nomor urut kecil disertai perilaku elite partai yang sarat kolusi dan nepotis membuat kepercayaan publik terhadap partai merosot tajam. Sistem ini dapat membuat masyarakat menjadi apatis terhadap pemilu sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan golongan absen ikut pemilu alias golput.

Lantas bila ada yang bertanya, adakah calon yang terpilih dalam sistem proporsional terbuka yang tidak menghabiskan uang yang banyak? Ini tentu pertanyaan yang sulit dijawab. Karena baik sistem proporsional terbuka atau proporsional tertutup, kandidat harus mengeluarkan modal untuk berkompetisi. Modal yang umum digunakan sebagai senjata pamungkas para caleg, selain elektabilitas diri, tentulah dukungan modal alias anggaran yang cukup. Sehingga dari sini dapat dikatakan bahwa kedua sistem ini sama - sama menghabiskan modal yang tidak sedikit untuk berkompetisi.

Selanjutnya »     Wacana Alternatif Misalnya kalau mau pr...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda