Beranda / Analisis / Menakar Pemenang di Pilkada Aceh

Menakar Pemenang di Pilkada Aceh

Kamis, 29 Agustus 2024 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Penulis: Aryos Nivada (Dosen Ilmu Politik FISIP USK dan pendiri Jaringan Survei Inisiatif)


DIALEKSIS.COM | Analisis - Pilkada Aceh 2024 menjadi sorotan publik sebagai salah satu daerah dengan karakteristik politik yang unik di Indonesia. Sebagai provinsi dengan otonomi khusus dan sejarah konflik yang panjang, dinamika politik Aceh selalu menarik untuk diamati. Dalam menakar siapa yang berpotensi menjadi pemenang antara Bustami - Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop Jeunieb) atau Muzakir Manaf (Mualem) - Fadhlullah (Dek Fad), disajikan ulasan tulisan yang mengupas sedalam mungkin dari rangkuman informasi dan data khusus untuk masyarakat Aceh sebagai bagian dari pendidikan politik.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu disusun gambaran lanskap politik lokal Aceh, sehingga secara komprehensif dapat dipahami dinamika yang berbeda dibandingkan Pilkada sebelumnya.

Diawali dari tahun 2023, sudah mulai bermunculan sosok yang berhasrat maju, mulai dari kalangan akademisi seperti guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Teuku Abdullah Sanny, Dr. TB Massa Djafar, hingga nama-nama lainnya seperti Muhammad Nazar, Ruslan M. Daud (HRD), Sudirman (H Uma), Muhammad Yus, Nasir Djamil, Mayjen TNI (Purn.) Teuku Abdul Hafil Fuddin, Muzakir Manaf, hingga Bustami.

Dalam perjalanannya akrobat politik sekian banyak tokoh tersebut, hanya menyisakan dua nama yang dipastikan maju di Pilkada 2024, yakni pasangan Bustami bersama Tu Sop versus Mualem berpasangan dengan Dek Fad. Keduanya akan berkontestasi untuk memimpin Aceh periode 2024-2029.

Jika dicermati, kedua pasangan tersebut diusung dari partai politik, bukanlah berasal dari perorangan/independen. Artinya di era Pilkada 2024 usai sudah euphoria independen, hingga muara akhir terjadinya 'head to head' antara Muzakir melawan Bustami. Di Pilkada kali ini, kembali partai nasional dan partai lokal mengalami kombinasi serupa seperti yang terjadi di Pilkada 2017. Ditelusuri lebih jauh, duet pasangan Muzakir Manaf - Fadhlullah sejak awal sudah bisa mengusung sendiri tanpa melibatkan partai lain, karena Partai Aceh memiliki 20 kursi di parlemen Aceh.

Namun, sosok Mualem mengedepankan kebersamaan sehingga partai lain ikut serta mengusung pasangan tersebut, mulai dari PKS (4), Gerindra (5), Demokrat (7), PDIP (1), PKB (9), PPP (5), PNA (1), hingga PSI. Total keseluruhan berjumlah 52 kursi. Sedangkan rivalnya, pasangan Bustami berduet bersama Tu Sop diusung oleh NasDem (10), PAS Aceh (4), PAN (5), Golkar (9), dan PDA (1). Jika diakumulasi, maka 29 kursi mengusung pasangan Om Bus dan Tu Sop dipastikan melenggang menjadi kompetitor Mualem bersama Dek Fad.

Merujuk dari modalitas partai pengusung, basis konstituen sangat berpihak kepada Mualem-Dek Fad dibandingkan Bustami-Tu Sop. Setiap partai memiliki pemilih loyal, dan partai pengusung Mualem dan Dek Fad memiliki konstituen yang beragam, termasuk ulama, akademisi, aktivis, anak muda, pengusaha, dan kader militan seperti PKS dan PA.

Dari sisi pengaruh ketokohan, kubu Mualem-Dek Fad lebih dominan karena memiliki tokoh-tokoh berpengaruh hingga ke akar rumput masyarakat Aceh. Di kubu ini ada Irwandi Yusuf, Tgk Makhyaruddin Yusuf, Sofyan Dawod, Muslim, Haji Uma, Safaruddin, Abu Razak, Irmawan, Ruslan Daud, Riefky Harsya, Nasir Djamil, belum lagi pengaruh sosok ulama di kubu mereka. Keseluruhan tokoh tersebut memiliki pengaruh di masyarakat Aceh hingga mampu menggiring dan mempengaruhi pilihan politik pemilih.

Jika dicermati dari komposisi partai pengusung Bustami dan Tu Sop, yakni Nasdem (10 kursi), PAS Aceh (4), PAN (5), Golkar (9), dan PDA (1), semua partai tersebut tetap memiliki modalitas konstituen yang beragam. Mulai dari kalangan ulama (karena latar belakang wakilnya dari ulama), kalangan pemuda, aktivis, jejaring dayah, hingga pengaruh dari mertuanya, Haji Subar, yang memiliki pengaruh besar secara finansial. Meski demikian, Bustami sendiri dinilai publik sebagai sosok yang memiliki logistik finansial yang besar.

Selain itu, Bustami digadang-gadangkan memiliki andil akses jejaring nasional dan internasional. Hanya saja, hal tersebut belum teroptimalkan untuk kepentingan politiknya. Tak kalah penting, ternyata Bustami juga memiliki pengaruh dari tokoh-tokoh yang berada di kubunya, mulai dari Humam Hamid, Ahmad Farhan Hamid, Kautsar Muhammad Yus, Ihsanuddin MZ, Muslim Ayub, Irsan Sosiawan, TM Nurlif, Nurchalis, Nazaruddin Dek Gam, Mawardi Ali, beberapa ulama dan lain-lain.

Jika dibandingkan, pengaruh ketokohan kubu Mualem dan Dek Fad lebih unggul karena hadirnya Haji Uma dan Irwandi Yusuf. Pengaruh kedua tokoh tersebut, mau diakui atau tidak, sudah terbukti memiliki basis pendukung fanatiknya masing-masing.

Lalu seperti apa gambaran hasil survei mengenai pengaruh pilihan politik masyarakat Aceh terhadap dua tokoh, Bustami dan Muzakir Manaf? Berdasarkan survei terbaru dari Saiful Mujani Research Centre (SMRC), Sudirman alias Haji Uma mendapatkan 28,4% suara responden. Muzakir Manaf, yang dikenal dengan nama Mualem, berada di posisi kedua dengan 19,4%, diikuti oleh Bustami Hamzah (6,9%) dan Illiza Sa'aduddin Djamal (6,1%).

Survei lain yang dilakukan oleh Indomatrik pada 28 Juni-3 Juli 2024 di 23 kabupaten/kota di Aceh menunjukkan hasil yang berbeda. Survei ini melibatkan 880 responden dengan margin of error sekitar 3,5% dan tingkat kepercayaan 95%. Dalam survei tersebut, nama Muhammad Nazar unggul di atas Ketua Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem. Muhammad Nazar menempati posisi teratas dengan tingkat elektabilitas 36,55%, diikuti oleh Muzakir Manaf dengan 19,38%, Sudirman (7,4%), Muhammad Nasir Jamil (3,19%), dan Ruslan Daud (2,85%). Sementara itu, di posisi lebih bawah terdapat M. Yusuf A. Wahab (1,27%) dan T.M. Nurlief (0,83%). Darni M. Daud dan Abdullah Tsani masing-masing memiliki elektabilitas sebesar 0,19%, dengan 28,18% responden belum menentukan pilihan.

Survei terbaru dari Jaringan Survei Inisiatif mengenai calon gubernur Aceh 2024 menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error sebesar 3% dan tingkat kepercayaan 95%. Survei ini melibatkan 1.067 responden yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh, dengan pengumpulan data dilakukan pada 1-14 Juli 2024. Hasil survei menunjukkan Muzakir Manaf mendapatkan dukungan sebesar 38,85%, diikuti oleh Sudirman (Haji Uma) 24,70%, Bustami 8,68%, Ruslan Daud 6,92%, Nasir Djamil 5,43%, dan 15,42% responden tidak memberikan jawaban.

Untuk elektabilitas calon wakil gubernur, Sudirman (Haji Uma) berada di posisi teratas dengan 33,20%, diikuti oleh Safaruddin (23,95%), Tgk Muhammad Yusuf (Tu Sop) 14,21%, Illiza Sa’aduddin Djamal (11,56%), dan Fadhullah (5,77%). Sebanyak 11,31% responden tidak memberikan jawaban.

Hal menarik lainnya adalah bahwa Muzakir Manaf bersama Partai Aceh telah terbukti memiliki basis konstituen yang tetap. Hal ini terlihat dari data hasil Pilkada 2012, di mana pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf menang dengan meraih 1.327.695 suara (55,8%), sementara Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan memperoleh 694.515 suara (29,2%). Namun, dalam Pilkada 2017, Muzakir Manaf yang berpasangan dengan TA Khalid hanya meraih 766.427 suara (31,74%), kalah dari pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah yang mendapatkan 898.719 suara (37,22%).

Setelah menganalisis data survei dan jejak data hasil Pilkada 2012 dan 2017, faktor menarik yang muncul adalah pengaruh kesukuan, di mana kedua kandidat, Bustami dan Fadhullah, berasal dari Pidie. Ego kesukuan "Pidieisme" diperkirakan akan mempengaruhi pilihan politik masyarakat Aceh, karena orang Pidie tersebar di seluruh Aceh. Sementara itu, Muzakir Manaf merupakan representasi dari wilayah Pase (Aceh Utara dan Lhokseumawe), dan Tu Sop berasal dari Bireuen.

Pertarungan politik kali ini akan bergantung pada siapa yang mampu meraih simpati dan empati masyarakat Barsela maupun kawasan tengah-tenggara. Meskipun keberadaan wilayah tersebut berpengaruh, namun merujuk data pemilih Pilkada 2024 pengaruhnya tidak sebesar wilayah Aceh Utara (427.867), Bireuen (316.630), Pidie (313.443), Pidie Jaya (112.465), Aceh Timur (298.395), dan Aceh Besar (298.476) yang memiliki populasi pemilih besar.

Namun, kita tidak bisa semata-mata mengandalkan konstituen partai pengusung dan pengaruh tokoh, hasil survei, territorial wilayah sebagai prediktor pasti. Ada beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti bagaimana kedua pasangan calon di Pilkada Aceh mampu mengelola dan mengkampanyekan isu-isu lokal, seperti implementasi syariat Islam, pembangunan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pembangunan, kesehatan, dan lain sebagainya.

Faktor lain yang menentukan dan memperbesar peluang kemenangan kedua pasangan tersebut adalah bagaimana pemilih mempelajari rekam jejak calon serta rasa cinta dan kekaguman terhadap figur tersebut. Faktor tambahan yang juga berpengaruh adalah kemampuan memainkan strategi politik yang efektif untuk mempengaruhi pemilih di Aceh, termasuk pemilih abu-abu (swing voters).

Singkatnya, siapa pun kandidatnya, mereka memerlukan modal sosial, jaringan, kapasitas, dan dana. Semua ini harus dimiliki oleh kandidat untuk memenangkan pertempuran di Pilkada Aceh. Hasil survei hanya dapat dijadikan sebagai landasan, tetapi tidak bisa dianggap sebagai kondisi mutlak, karena perilaku politik di lapangan sangat dinamis sehingga fluktuasi hasil survei dapat berubah. Semua itu bergantung pada sejauh mana sistem pemenangan mampu bergerak dan memberikan dampak nyata terhadap perubahan, serta meningkatkan peluang menuju kemenangan dalam persaingan politik di Pilkada Aceh.

Ada faktor X yang menentukan kemenangan seseorang dalam Pilkada Aceh, yaitu dukungan dan keterlibatan nyata dari elit pusat dalam mempengaruhi hasil pemilihan. Restu, dukungan, ‘canvassing door to door’, dan kerja sama dari elit pusat menjadi kunci kemenangan seorang calon gubernur Aceh. Jika ditinjau dari komposisi partai pengusung kedua kandidat gubernur Aceh, kehadiran Gerindra dan Demokrat—yang merupakan partai pemenang Pilpres—mengusung Mualem dan Dek Fad sangat berpengaruh, terutama karena kedekatannya dengan pusat kekuasaan. Selain itu, partai pengusung lainnya seperti PKB dan PKS juga tidak bisa dianggap remeh karena keduanya memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik di Aceh maupun di tingkat nasional.

Di sisi lain, pasangan Bustami dan Tu Sop didukung oleh partai-partai seperti Golkar dan PAN, yang juga merupakan bagian dari koalisi pengusung Prabowo di Pilpres. Namun, tidak seperti kubu Mualem dan Dek Fad yang didukung oleh Gerindra, partai yang dimiliki oleh Prabowo Subianto, Golkar dan PAN bukanlah pengendali utama kekuasaan dari presiden terpilih. Meski demikian, partai-partai lain yang mendukung Bustami dan Tu Sop tidak akan tinggal diam dalam upaya memenangkan pasangan mereka di Pilkada Aceh. Artinya, meskipun adanya dukungan dari Gerindra, Demokrat, PKS, dan PKB, tidak ada jaminan kemenangan jika kerja politik Mualem dan Dek Fad tidak sistematis, terukur, terarah, dan berdampak.

Yang terpenting bagi masyarakat Aceh adalah memastikan bahwa siapa pun kandidat yang memenangkan Pilkada 2024 berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh Aceh dan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik di berbagai sektor secara nyata. Sebagai masyarakat Aceh, kita mengharapkan komitmen untuk mewujudkan perubahan dan pembaharuan yang benar-benar terjadi, tidak hanya menjadi mimpi atau slogan semata untuk menipu publik Aceh.

Setelah membaca tulisan ini, Anda memiliki hak untuk menentukan pilihan sosok yang Anda dukung. Apa pun sikap dan pilihan Anda merupakan hak absolut sebagai warga Indonesia. Meskipun akan ada konsekuensi menang dan kalah, itulah warna dari sikap politik kita. Jangan menjadi pecundang dan cengeng jika kalah dalam kompetisi; kita harus siap legowo (menerima dengan lapang dada). Tidak ada yang salah, perbedaan adalah anugerah dari Sang Maha Kuasa. Pada akhirnya, kita semua harus bersatu tanpa perbedaan dan sekat ketika pasangan kandidat yang sah telah diputuskan oleh penyelenggara. Selanjutnya mari bergandengan tangan dan bersikap bersama sama mewujudkan kemajuan Aceh di semua sektor kehidupan kita semua.

Penulis: Aryos Nivada (Dosen Ilmu Politik FISIP USK dan pendiri Jaringan Survei Inisiatif)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI