kip lhok
Beranda / Analisis / Muzakir Manaf Dalam Pusaran Politik Pilkada 2024

Muzakir Manaf Dalam Pusaran Politik Pilkada 2024

Kamis, 18 April 2024 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Penulis: Aryos Nivada Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif


DIALEKSIS.COM | Analisis - Muzakir Manaf atau disapa akrab Mualem, bukan sosok orang biasa. Ia telah melalui dan memasuki dimensi konflik dan damai saat ini. Menyandang panglima tertinggi di Gerakan Aceh Merdeka kala itu hingga ditambatkan sebagai Ketua Umum Partai Aceh. Jejak politik di arena kekuasaan pemerintah pernah menjadi wakil gubernur Aceh.

Diluar itu deretan jabatan bergengsi dipercaya kepada Mualem mulai dari saat ini sebagai Komisi Pengawas Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Waliyul ‘Ahdi Lembaga Wali Nanggroe Aceh masa bakti 2022-2026, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat sejak 2005 hingga sekarang, sebagai Ketua Kwarda Daerah Pramuka Aceh 2018-2023, mantan Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia Aceh (KONI) periode (2018-2022), dan mantan Ketua Dewan Penasihat DPD Partai Gerindra Aceh tahun (2013-2016).

Bagi publik menilai eksistensi Mualem sangat memberikan warna tersendiri dalam belantika politik lokal di Aceh, bahkan lebih jauh lagi ia memiliki magnet tersendiri ‘Mualem Effect’. Hingga setiap kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) ia kerap kali membuat lawan politiknya ketakutan, bahkan selalu mewaspadai setiap bergerakan politiknya. Walaupun fakta sejarah membuat Mualem pernah kalah dalam pertarungan politik di Pilkada 2017. Itu pun banyak faktor yang melatarbelakangi kekalahannya, karena sentuhan elit berkuasa saat itu.

Nah, ini sudah memasuki babak Pilkada Aceh ke empat tahun 2024 (2006, 2012, dan 2017) pasca konflik di Aceh. Dari berbagai survei menunjukan Mualem selalu diatas angin elektabilitas dan popularitasnya. Pertanyaan mendasarnya apakah mampu meraih kemenangan ataukah kalah kembali di Pilkada 2024 di depan mata ini?

Jawaban itu tidaklah mudah perlu pendalaman secara komperhensif mencermatinya, sehingga tergambarkan kemungkinan terjadi di Pilkada 2024 ketika Mualem menjadi peserta di pesta demokrasi tersebut.

Mari kita telisik pelan - pelan, jika Mualem tetap berpasangan dari internal maka resistensi dari pusat sangat terlihat sekali. Bagi pusat memerlukan keseimbangan kekuasaan (balance of power) artinya harus memiliki kolaborasi etno nasionalisme dan nasionalisme. Kombinasi pasangan Mualem harus dari kalangan eksternal jika ingin restu pusat ke Mualem.

Apalagi nilai tawar Mualem semakin lemah dimata elit berkuasa di pusat, indikator justifikasinya karena Mualem tidak mampu memenangkan Prabowo di Aceh walaupun hanya mendapat 20% suara. Namun itu tidak cukup meyakinkan elit berkuasa di pusat mendukung dirinya. Dibutuhkan cara masuk, salah satunya memilih dari kalangan eksternal diluar Partai Aceh.

Kuncinya pada Mualem ketika memilih pasangan harus adanya chemistry (rasa saling terhubung), nyaman, dan sejiwa. Karena dirinya yang menjalankan roda pemerintahan bersama pasangannya. Jika memang internal pilihannya dan memiliki hal itu, maka hitungan konsekuensi pasti sudah di analisis dan prediksikan. Sosok mengemuka dalam diskusi di publik muncul nama Kamaruddin Abubakar, lebih dikenal dengan sebutan Abu Razak. Sosok lain muncul yaitu Hasballah M. Thaib dikenal dengan julukan Rocky.

Pertimbangan logis kenapa harus mengambil dari kalangan eksternal, karena Mualem membutuhkan dukungan rezim berkuasa. Saat ini partai pengusung presiden terpilih 2024 meliputi Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN. Di salah satu partai atau mampu membuat gebrakan dengan konsolidasi semua partai tersebut mendukung Mualem. Catatatnya wajib disetujui secara konfrensi atau kolektif dari keseluruhan partai pengusung. Sangat sulit itu terjadi karena mereka memiliki kepentingan dan kebutuhan politik tersendiri.

Kuncinya tergantung dari komunikasi politik dan pendekatan Mualem kepada rezim berkuasa di pusat. Memang tidak mudah, intinya restu pusat harus didapatkan Mualem jika ingin melanggeng tanpa hambatan sebagai orang nomor satu di Aceh hasil Pilkada nantinya. Sejalan dengan teori ruang publik dari Jürgen Habermas dapat memberikan wawasan tentang bagaimana diskusi politik di ruang publik Aceh mempengaruhi persepsi publik, khususnya pemerintah pusat “elit pusat’ terhadap Mualem.

Dikaji secara bargaining position serta modalitas personal Mualem diatas kertas Mualem diatas, bahkan tertinggi jika dibandingkan potensi kandidat lain yang maju. Akan tetapi modalitas besar terkadang tidak linier terhadap kemenangan. Itu terjadi disebabkan banyak faktor pemicu sehingga tidak sesuai harapan “ekspektasi”. Boleh saja Mualem diatas kertas dominan namun pemenangnya belum tentu Mualem.

Jika hitungan diatas kertas seperti itu, lantas apakah Mualem bisa tumbang di Pilkada 2024? Jika itu pertanyaannya maka jawabanya yaitu pada kekuatan modal finansial, dukungan pusat, kerja tim, strategi jitu, dan tak kalah penting yaitu kesadaran politik masyarakat Aceh dapat bersikap jernih dan cerdas.

Belum lagi Mualem dihadapi pada kisah masa lalu yang belum usai ibarat musik klasik yang didendangkan kembali setiap momentum Pilkada, apa itu? Kaitan dengan isu kasus dana hibah 650 M, serta kasus lainnya yang belum terungkap. Tentunya hal itu juga harus dipikirkan oleh partainya maupun tim pemenangannya.

Jangan sampai terulang lagi terlalu percaya diri juga tidak baik, apalagi mengangap lawan tidak memiliki power bertarung di arena Pilkada 2024. Jangan ada lagi sebutan sebutan pribahasa dengan benda mati atau hidup sekalipun Mualem akan menang.

Disinilah dituntut pertimbangan matang memilih dan menentukan arah politik sebelum bersikap memutuskan pendamping Mualem di Pilkada. Jika mengambil dari kalangan partai politik maka harus bersiap siap pecah kongsih setelah terpilih. Itu hal baku dalam dinamika politik ketika pendampingnya dari kalangan partai politik. Kuncinya pada kalangan akademisi jika ingin serius memperbaiki Aceh ke depannya. Ibarat urusan strategis dan eksternal Mualem dan urusan internal pemerintahan orang yang fokus memastikan agenda pembangunan maupun visi misi berjalan sesuai direncanakan.

Kalau dikorelasikan dukungan pemilih dalam prespektif teori budaya politik, maka pemikiran Daniel Elazar sangat relevan dapat menilai pengaruh perilaku politik dan ekspektasi pemilih di Aceh terhadap Muzakir Manaf sebagai kandidat gubernur di Pilkada 2024. Kenapa bergeseran perilaku politik pemilih dalam tinjauan terhadap budaya politik dapat berubah - ubah sangat tergantung faktor yang mempengaruhinya. Belum lagi jika dikaitkan teori pilihan rasional dari Anthony Downs dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana Mualem dan para pemilih di Aceh membuat keputusan politik berdasarkan keuntungan dan kerugian yang dirasakan.

Jika teori dikemukan diatas, maka Mualem dalam posisi tidak baik baik juga ketika menjadi kontestan di Pilkada 2024 nantinya. Ulasan analisis pemikiran disertai teori mendalam dapat dijadikan cara pandang menilai prospek Muzakir Manaf dalam pertarungan di Pilkada 2024. Sekali lagi tulisan ini sebagai bahan penting menumbuhkan khasanah berpikir kritis, menambah informasi berdilektika. Juga penting bagi tim sukses dan partainya sebagai bahan pertimbangan menyusun langkah strategis guna meminimalisir dampaknya serta mencari solusi konstruktif dari potensi hambatan atau gangguan nantinya. Mari kita lihat ending dari hasil Pilkada 2024 siapa sosok dipercaya jadi reziki anak shaleh dan takdirnya.

Penulis: Aryos Nivada Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda