Perlindungan Konsumen, Mengapa Penting? Sudah Siapkah Kita?
Font: Ukuran: - +
Muhammad Iqbal Fajri, S.I.Kom., M.M., MBA (Pemerhati Perlindungan Konsumen dan Anggota Yayasan Akselerasi Konsumen Cerdas) [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Analisis - Dalam kehidupan, manusia memiliki peran sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon), yang artinya manusia hidup secara sosial dan bermasyarakat, sehingga manusia dalam memenuhi kebutuhannya hidupnya, akan bergantung pada orang lain. Hal ini juga berlaku dengan dunia bisnis, di dalam dunia bisnis, jika seorang pengusaha ingin mencapai target penjualan, maka ia membutuhkan pelanggan untuk dapat melakukan penjualan, dalam perjalanan untuk mencapai target penjualan, maka seorang pengusaha tersebut diharuskan memiliki etika bisnis seperti jujur, adil, ramah, cakap, senang membantu pelanggan, menjaga hak-hak konsumen dan tidak menjelekkan bisnis orang lain.
Akan tetapi, di dalam praktiknya etika dalam berbisnis seperti menguap, sehingga terjadilah praktik penipuan dan penyimpangan pada transaksi bisnis atau usaha yang terjadi di antara para pelaku bisnis atau usaha dengan para konsumennya. Tingginya praktik penipuan dan penyimpangan yang terjadi di dunia bisnis, telah membuat pemerintah harus turun tangan untuk menjaga kepentingan kosnumen dengan mengakui dan menegakkan hak-hak konsumen dalam berbagai instrumen hukum, termasuk undang-undang perlindungan konsumen.
Konsumen adalah pengguna akhir dari sebuah produk barang ataupun jasa. Secara umum diketahui bahwa tujuan akhir dari pelaku usaha memproduksi atau menghasilkan suatu barang ataupun jasa sudah pasti guna memenuhi kebutuhan dari konsumen atau penguna barang dan jasanya tersebut. Namun tentu ada proses atau tahapan yang harus yang dilalui oleh baik oleh para pelaku usaha dan penguna barang atau jasa.
Pada sisi pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi ataupun spesifikasi barang (jika berbentuk barang) dan perjanjian atau persyaratan (jika berbentuk jasa) yang tepat, jelas, dan akurat sesuai dengan etika, dan praktik bisnis yang sehat dan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam praktiknya masih banyak terdapat perselisihan-perselisihan yang terjadi antara konsumen atau pengguna barang dan jasa dengan para pelaku usaha yang menyediakan baik barang maupun jasa.
Hal ini saja disebabkan oleh banyak faktor, baik yang disebabkan oleh prilaku para pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan perundang-undangan serta menjalankan praktik bisnis yang sehat ataupun dapat disebabkan oleh kesalahan dari penguna barang atau jasa itu sendiri yang kurang cermat dalam memperhatikan spesifikasi barang yang diinginkannya ataupun kurang cermat dalam memahami perjanjian ataupun prasyarat dalam menggunakan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang menyediakan jasa tersebut.
Dalam konteks perlindungan konsumen sebenarnya negara lama telah hadir dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang ini telah mengatur pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Adapun fungsi dari BPKN tersebut diantaranya adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Dalam menjalankan tanggung jawabnya Lembaga ini bertugas memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen; mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; menyebarluaskan informasi melalui media mengenai masyarakat, atau pelaku usaha; serta melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Mengingat begitu massif dan kompleksnya permasalahan perlindungan konsumen baik dari segi cakupan wilayah, serta kuantitas permasalahan yang memerlukan pendampingan dan penanganan, untuk itu pemerintah melalui UU nomor 8 tahun 1999 ini juga telah membuka kesempatan bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk berperan aktif dalam melakukan layanan pendampingan dan perlindungan bagi konsumen di seluruh wilayah Indonesia dalam bentuk Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Lembaga ini memiliki beberapa tugas diantaranya; menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; serta melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999 ini juga mengatur penyelesaian sengketa bagi para pihak (pelaku usaha dan konsumen) yang terlibat perselisihan atau sengketa. Melalui UU ini juga diatur bagaimana penyelesaian sengketa dapat dilakukan baik melalui pengadilan ataupun penyelesaian di luar pengadilan. Guna mendukung penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Pemerintah melalui UU Perlindungan Konsumen juga telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di tingkat Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.
Adapun tugas dan wewenang dari BPSK sesuai dengan amanat UU nomor 8 tahun 1999 diantaranya adalah; melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen; menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang itu; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli; mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain gunpenyelidikan dan/atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; serta menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan perundang-undangan.
Perlindungan Konsumen
Selanjutnya tentu kita akan melihat Kembali apa sebenarnya yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen? Dikutip dari laman https://aseanconsumer.org/, Adapun yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen adalah:
“Perlindungan konsumen melindungi kesejahteraan dan kepentingan konsumen melalui pendidikan, mobilisasi dan perwakilan. Perlindungan konsumen memastikan bahwa konsumen membuat keputusan yang terinformasi dengan baik tentang pilihan mereka dan memiliki akses ke mekanisme ganti rugi yang efektif. Ini juga mendorong bisnis untuk menjamin kualitas produk dan layanan yang mereka tawarkan.”
Guna menjalankan Perlindungan Konsumen yang efektif, tentu saja pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen perlu membuat sebuah system Perlindungan Konsumen yang efektif dan memadai yang dapat menjembatani persoalan-persoalan yang timbul akibat interaksi antara pelaku usaha ataupun jasa dengan konsumen itu sendiri, sehingga dapat dipastikan bahwa konsumen dapat terlindungi dari paktik bisnis yang merugikan konsumen.
Hak dan Tanggung Jawab Konsumen
Dalam konteks Perlindungan Konsumen, sebenarnya lembag PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah memasukkan masalah Perlindungan Konsumen ini dalam agendanya. Untuk itu PBB juga telah mengeluarkan Pedoman Perlindungan Konsumen. Pedoman ini pertama kali diadopsi oleh Majelis Umum di resolusi 39/248 tanggal 16 April 1985, kemudian diperluas oleh Ekonomi dan Dewan Sosial dalam resolusi 1999/7 tanggal 26 Juli 1999, dan direvisi dan diadopsi oleh Majelis Umum dalam resolusi 70/186 tanggal 22 Desember 2015. Berikutnya PBB juga telah melaksankan Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan guna mempromosikan perlindungan konsumen dalam penyediaan barang atau layanan jasa baik bagi publik maupun swasta. Untuk itu pedoman PBB untuk perlindungan konsumen (sebagaimana dikembangkan pada tahun 1999) dan kembali diterbitkan pada tahun 2003, telah mengeluarkan beberapa prinsip umum yang menjadi pedoman bagi negara perserikatan bangsa-bangsa dalam menerbitkan peraturan ataupun kebijakan yang menjadi hak dan tanggung jawab konsumen dalam peraturan, kebijakan ataupun UU Perlindungan Konsumen yang akan dirumuskan dengan memperhatikan prinsip-prinsip seperti; (a) perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan mereka; (b) pemajuan dan perlindungan kepentingan ekonomi konsumen; (c) akses konsumen ke informasi yang memadai untuk memungkinkan mereka membuat pilihan berdasarkan informasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan individu; (d) pendidikan konsumen, termasuk pendidikan tentang dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari pilihan konsumen; (e) ketersediaan ganti rugi konsumen yang efektif; (f) kebebasan untuk membentuk konsumen dan kelompok atau organisasi lain yang relevan dan kesempatan untuk organisasi tersebut untuk menyajikan pandangan mereka dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka; dan (g) promosi pola konsumsi berkelanjutan.
Dalam konteks regional ASEAN, negara-negara yang tergabung dalam negara-negara ASEAN juga telah menerjemahkan prinsip-prinsip umum yang dikeluarkan oleh PBB mengenai hak dan tanggung jawab konsumen dalam merumuskan peraturan, perundang-undangan ataupun kebijakan Perlindungan Konsumen dalam konteks regional ASEAN atau Masyarakat Ekonomi Asean. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah; konsumen dilengkapi dengan keterampilan, pengetahuan, informasi dan kepercayaan diri untuk menggunakan haknya; konsumen dilindungi dari barang dan jasa yang berbahaya; konsumen memiliki akses ke sumber saran dan ganti rugi yang sesuai dan nyaman termasuk alternatif penyelesaian sengketa; serta konsumen memahami dampak keputusan konsumsinya; dan memastikan bahwa konsumen yang melakukan transaksi dalam E-commerce dapat dilindungi.
Pada tingkat nasional, Indonesia yang juga merupakan salah satu negara yang tergabung dalam masyarakat Ekonomi ASEAN yang juga telah melaksanakan apa yang telah diamanatkan dalam hasil Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB dengan mengimplementasikan UU Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999, yang telah penulis gambarkan sebelumnya.
Dari tingkat nasional yang selanjutnya prinsip-prinsip umum mengenai hak dan tanggung jawab konsumen tersebut tentu saja harus kembali diterjemahkan dan dilaksanakan pada tingakat provinsi daerah TK I dan daerah TK II di Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia sesuai dengan amanat UU Perlindungan Konsumen Republik Indonesia tahun 1999.
Perlindungan Konsumen Mengapa Penting?
Selanjutnya tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan di atas bahwa “Mengapa Perlindungan Konsumen menjadi penting? Dikutip dari laman https://aseanconsumer.org/, ASEAN sendiri telah berusaha mengembangkan Rencana Aksi Strategis ASEAN untuk Perlindungan Konsumen atau disebut dengan ASEAN Strategic Action Plan for Consumer Protection (ASAPCP) 2025. Menurut sudut pandang ASEAN, perlindungan konsumen menjadi penting mengingat terdapat beberapa keuntungan, diantaranya bahwa; bagi konsumen itu sendiri, konsumen akan memperoleh informasi yang akurat dan tidak memihak tentang produk dan layanan, atau jasa yang mereka beli. Hal ini memungkinkan mereka untuk membuat pilihan terbaik berdasarkan kepentingan mereka dan mencegah mereka diperlakukan secara tidak baik oleh praktik bisnis yang tidak sehat; selanjutnya bagi pelaku usaha atau pebisnis, hal ini tentu akan meningkatkan profitabilitas dan daya saing mereka yang juga akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang; serta hubungannya bagi pertumbuhan ekonomi, perlindungan konsumen dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing, dan yang terakhir disebutkan bahwa perlindungan konsumen dapat berkontribusi pada pasar yang dinamis dan efektif bagi pertumbuhan bisnis atau dunia usaha.
Dari apa yang telah digambarkan dalam penjelasan di atas tentu saja dapat diketahui bahwa Perlindungan Konsumen menjadi hal yang penting untuk dilakukan sehingga di satu sisi dapat melindungi kepentingan konsumen serta disisi lainnya meningkatkan keuntungan dan daya saing bagi para pelaku usaha.
Sudah Siap Kita?
Sesuai dengan amanat UU Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada Bab XIII pasal 31 disebutkan bahwa “Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional” sehingga ini menjadi dasar hukum pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional di Indonesia. Dalam konteks daerah, pada pasal 40 UU Nomor 8 1999 ayat (1) kembali disebutkan bahwa “Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk Perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.” Pasal 40 ayayt (1) ini menjadi dasar bagi pembentukan Badan Perlindungan Konsumen di daearah TK I atau Provinsi.
Diketahui bahwa di Provinsi Aceh belum terdapat perwakilan Badan Perlindungan Konsumen Nasional pada tingkat provinsi. Provinsi Aceh hanya menempatkan sebuah bidang pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh yang dekepalai oleh Kepala Bidang Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, sementara dikutip dari laman Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik Indonesia https://ditjenpktn.kemendag.go.id/LPKSM-AKTIF-Nangroe-Aceh-Darussalam, disebutkan bahwa dari 23 Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Aceh baru terdapat 3 Lembaga Perlindungan Konsumen aktif yaitu; Lembaga Perlindungan Konsumen Muslim (LPKM) Kota Lhoksemawe, Yayasan Perlindungan Konsumen Aceh (YAPKA) Kota Banda Aceh, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Aneuk Nanggroe Kota Langsa.
Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa, pemerintah dalam UU nomor 8 tahun 1999 Bab XI tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pasal 49 kembali mengamanatkan bahwa “Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan”, hal ini sekali lagi menjadi dasar hukum dalam pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada daerah TK II atau Kabupaten dan Kota. Khusus di Provinsi Aceh, tercatat baru ada satu daerah TK II yang telah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yaitu BPSK Kota Lhoksemawe.
Untuk itu melalui tulisan ini sekali lagi ingin penulis mengajak dan mengingatkan Kembali bagi pemerintah Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Aceh untuk bahwa pentingnya Lembaga Perlindungan Konsumen dan Lembaga BPSK guna menjembatani persoalan-persoalan yang menyangkut hak-hak konsumen serta penyelesaian sengketa di luar ranah pengadilan melaluli BPSK. Sekali lagi, tulisan ini ingin menjawab pertanyaan di atas yaitu “Pentingkah Perlindungan Konsumen? Sudah Siapkah Kita?” tentu saja dari apa yang telah penulis uraikan telah menjawab kedua pertanyaan tersebut bahwa perlindungan konsumen adalah hal yang penting. Mengenai kesiapan tentu saja ini berkaitan dengan political will atau keinginan pemerintah daerah dalam menjalankan dan mewujudkan apa yang telah diamanatkan dalam UU nomor 8 tahun1999 tersebut. Semoga!
Penulis: Muhammad Iqbal Fajri, S.I.Kom., M.M., MBA (Pemerhati Perlindungan Konsumen dan Anggota Yayasan Akselerasi Konsumen Cerdas)
- Presiden Minta Pemerintah Provinsi Jaga Stabilitas Suplai dan Harga Pangan
- Pemerintah Aceh Pastikan Serius Bangun Pelabuhan Ekspor CPO di Aceh
- Diakui Aceh Masih Ketergantungan Pasokan Pangan dari Sumut, Ini Langkah yang Dilakukan Disperindag
- Hadirkan Guru Besar dari Unila, Prodi Agribisnis FP USK Ajak Mahasiswa Bangun Reputasi Sawit di Indonesia