Perubahan APBD di Masa Pandemi Covid-19
Font: Ukuran: - +
Dr. Syukriy Abdullah (Dosen FEB Universitas Syiah Kuala. [Foto: Istimewa/Dialeksis.com]
Penyesuaian anggaran merupakan salah satu langkah yang diambil Pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19, yang mulai melanda Indonesai di triwulan pertama 2020. Penyesuaian anggaran bersifat parsial dan murni berdasarkan diskresi Pemerintah yang harus dipatuhi oleh pemerintah daera (Pemda). Di sukai atau tidak, Pemda harus merevisi sebagian APBDnya, sebab jika tidak, Pemerintah akan menunda pentransferan dana perimbangan yang menjadi bagian daerah.
Namun, bagi sebagian daerah, penyesuaian anggaran di masa Pandemi Covid-19 seperti sebuah berkah karena bencana (blessing in disguise). Tak diharapkan, tapi menjadi sesuatu yang membuahkan keuntungan. Hal ini didukung dengan regulasi dari Pemerintah yang menyatakan bahwa kesalahan dalam pengelolaan keuangan oleh pejabat negara dan daerah tidak dapat dituntut secara hukum. Pandemik Covid-19 menjadi tameng sekaligus topeng untuk menggunakan uang publik tanpa harus mengikuti mekanisme dan akuntabilitas publik yang normal. Semua berada di masa tidak normal.
Apakah penyesuaian anggaran sama dengan perubahan anggaran yang biasanya dilakukan setelah melewati satu semester tahun anggaran berkenaan? Atau, apakah penyesuaian anggaran yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota). Pertanyaan ini menjadi penting karena sampai bulan Agustus 2020 ini, beberapa kepala daerah belum penyampaikan rancangan KUA dan PPAS perubahan. Bahkan, ada kepala daerah yang bahkan belum menyerahkan laporan realisasi semester pertama dan prognosis enam bulan berikutnya kepada DPRD. Sebagai contoh adalah Pemerintah Aceh: Plt. Gibernur belum menyampaikan laporan realisasi semester pertama tersebut kepada DPRA.
Kekuasaan Eksekutif atas APBD
Proses penyusunan anggaran di Daerah secara teknokratik dilakukan oleh eksekutif. Tim anggaran Pemda (TAPD) menjadi pelaku utama dalam penyusunan draf APBD oleh ekskutif ini, yang kemudian disampaikan ke legislatif dan dibahas bersama badan anggaran (Banggar) DPRD, sebelum diputuskan secara politik. Secara teknis, eksekutif lebih menguasai proses penyiapan APBD, tapi secara politik DPRD berperan dalam menentukan suatu usulan dimasukkan ke dalam APBD atau tidak.
Dua pihak yang bersepakat dan berkompromi dalam penentuan APBD memiliki dua cara pandang sekaligus kepentingan yang berbeda, yakni pemerintah daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif). Sebagai penyusun sekaligus pelaksana, serta penanggungjawab pelaksanaan anggaran daerah, eksekutif memiliki penguasaan yang lebih kuat dan kekuasaan yang lebih besar terhadap APBD dibandingkan legislatif. Teknis penganggaran dilaksanakan oleh eksekutif sejak penyusunan dokumen perencanaan.
Eksekutif cenderung melihat perubahan APBD tidak dibutuhkan lagi, karena ketentuan untuk melakukan “refocusing dan realokasi” yang telah dierintahkan oleh pemerintah pusat sama dengan perubahan anggaran itu sendiri. Di pihak lain, Legislatif beranggapan bahwa refocusing dan realokasi belum mencakup hal-hal penting yang harus disesuaikan dalam anggaran daerah, sehingga perubahan APBD yang sesungguhnya tetap harus dilakukan. Kebutuhan anggaran untuk pelayanan masyarakat tidak tercakup seluruhnya dalam anggaran refocusing dan realokasi yang lebih ditekankan untuk persoalan kedaruratan karena adanya bencana/pandemi.
Mengapa Perlu Perubahan APBD?
Beberapa peraturan dan petunjuk teknis telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mengatur pengelolaan keuangan daerah terkait dengan Pandemi Covid-19 di tahun 2020 ini, mulai dari undang-undang sampai peraturan dan keputusan menteri. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/SJ “ Nomor 177/KMK.07/2020 Tentang Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional, tanggal 9 April 2020, dapat dijadikan landasan untuk memahami perlu tidaknya perubahan APBD dalam tahun 2020 ini.
Pada diktum keenam SKB Mendagri dan Menkeu 2020 tersebut menegaskan bahwa: Penyesuaian target pendapatan daerah dan rasionalisasi belanja daerah dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan perubahan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2020 dengan pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD, untuk selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2020 atau ditampung dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) bagi Pemerintah Daerah yang tidak melakukan perubahan APBD Tahun Anggaran 2020.
Inti dari diktum keenam ini adalah: Pertama, eksekutif melakukan perubahan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2020 dan menyampaikan pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD. Meskipun hanya berupa pemberitahuan, penyampaian haruslah dilakukan secara akuntabel (bertanggungjawab) dan tidak asal-asalan. Artinya, harus dilandasi dengan pertimbangan dan perhitungan yang matang (teknokratis).
Kedua, substansi yang telah terantum dalam Perkada tentang Perubahan penjabaran APBD tersebut kemudian dituangkan atau disajikan dalam Perda tentang Perubahan APBD TA 2020. Hal ini bermakna bahwa perubahan APBD tetap dilakukan dengan mencakup semua hal yang telah diubah atau disesuaikan dalam Perkada Perubahan Penjabaran APBD tersebut.
Diktum Keduabelas SKB Mendagri dan Menkeu 2020 tersebut lebih jauh menyatakan bahwa “Dalam rangka memastikan pelaksanaan penyesuaian APBD tahun anggaran 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan kabupaten/kota agar melakukan pengawasan terhadap proses penyesuaian APBD tahun anggaran 2020 di masing-masing Daerah.”
Makna dari Diktum Keduabelas ini adalah keharusan adanya pelibatan DPRD dalam proses penyesuaian APBD dan akan berkaitan erat dengan perubahan APBD tahun berjalan nantinya. Fakta yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa penyesuaian anggaran telah dilakukan (melalui perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD) dan berikutnya akan dilakukan perubahan APBD (melalui perubahan peraturan daerah tengan APBD). Pengawasan di sini memiliki arti adanya pelibatan DPRD dalam proses penyusunan penyesuaian/perubahan APBD, untuk memastikan bahwa semua berjalan sesuai dengan arah yang telah ditentukan untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
APBD, yang selama tahun berjalan dapat mengalami penyesuaian dan/atau perubahan, adalah dokumen yang digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan daerah. Dokumen ini ditetapkan dengan peraturan daerah untuk menunjukkan adanya pendelegasian kewenangan dari Rakyat (melalui wakil rakyat di DPRD kepada kepala daerah (selaku eksekutor dengan seluruh perangkat daerah yang ada di bawahnya).
Sebelum SKB Mendagri dan Menkeu 2020 keluar, telah diterbitkan Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020 tentang Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah, tanggal 2 April 2020. Instruksi Mendagri ini menyatakan bahwa substansi perubahan Peraturan Kepala Daerah mencakup 3 (tiga) hal, yakni: (1) Penanganan Kesehatan dan hal-hal lain terkait Kesehatan; (2) Penanganan dampak ekonomi terutama menjaga agar dunia usaha daerah masing-masing tetap hidup; dan (3) Penyediaan jaring pengamanan sosial (social safety net). Artinya, penyesuaian anggaran untuk refocusing dan realokasi hanya mencakup tiga hal tersebut, sementara hal-hal lain yang lebih luas tidak diatur.
Terkait dengan perubahan APBD, Pasal 161 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan bahwa: “Perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan apabila terjadi:
1. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
2. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar organisasi, antar unit organisasi, antar Program, antar Kegiatan, dan antar jenis belanja;
3. keadaan yang menyebabkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan;
4. keadaan darurat; dan/atau
5. keadaan luar biasa.
Berdasarkan Pasal 161 PP No. 12/2019 tersebut dapat dipahami bahwa Perubahan APBD TA 2020 memiliki cakupan yang lebih luas daripada refocusing dan realokasi (yang telah dilakukan pemerintah daerah melalui perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD TA 2020). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah (eksekutif) untuk menunda atau tidak menyampaikan rancangan KUA dan PPAS tentang Perubahan APBD TA 2020 kepada DPRD. Rancangan KUA dan PPAS menjadi dasar untuk dilaksanakannya pembahasan dan penandatangan kesepakatan bersama dan dilanjutkan dengan penyampaian rancangan APBD Perubahan APBD TA 2020 oleh kepala daerah ke DPRD.
Di sisi lain, ekskutif memiliki excuse atau pembenaran atas sikap dan tindakannya untuk tidak perlu menyampaikan KUA dan PPAS kepada DPRD, yakni Pasal 91 PP No.12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 91 tersebut menyatakan:
Dalam hal Kepala Daerah dan DPRD tidak menyepakati bersama rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), paling lama 6 (enam) minggu sejak rancangan KUA dan rancangan PPAS disampaikan kepada DPRD, Kepala Daerah menyampaikan Rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD berdasarkan RKPD, rancangan KUA, dan rancangan PPAS yang disusun Kepala Daerah, untuk dibahas dan disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91 ini menjadi sumber masalah bagi keharmonisan dalam penganggaran dan pengelolaan keuangan daerah karena membenturkan antara eksekutif (kepala daerah) dan legislatif (DPRD). Pasal ini mengebiri fungsi pengawasan DPRD terhadap anggaran dan legislasi yang telah ditetapkan. Pasal ini mendorong ekskutif untuk bersikap membangkan, bahkan arogan, untuk tidak menyampaikan rancangan KUA dan PPAS tepat waktu dan bisa “mengatur” substansi APBD untuk kepentingan eksekutif dan kepentingan masyarakat dalam perspektif eksekutif. Harus diingat bahwa substansi APBD harus disepakati dulu dalam dokumen KUA dan PPAS, yang dibahas secara mendalam oleh DPRD melalui komisi-komisi Bersama SKPD terkait, yang dilanjutkan dengan pembahasan antara TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dan Banggar (Badan Anggaran) DPRD.
Pasal 46 PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan bahwa: Apabila DPRD sampai batas waktu tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancanagn Perda tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan, yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD. Bunyi pasal 46 ini sejalan dengan Pasal 313 Ayat (1) UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan: Apabila kepala daerah dan DPRD tidak mengambil persetujuan Bersama dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak disampaikan rancangan Perda tentang APBD oleh kepala daerah kepada DPRD, kepala daerah menyusun dan menetapkan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan.
Jika dibandingkan dengan Pasal 46 PP No. 58/2005 dan Pasal 313 Ayat (1) UU No. 23/2014, maka Pasal 91 justru merusak dan mengaburkan fungsi anggaran DPRD. Oleh karena itu, Pasal 91 ini seharusnya direvisi oleh Pemerintah, agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah. Selain itu, Pemerintah mengingkari aturan yang telah ditetapkan dalam Pasal 101 dan 154 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Tugas dan Wewenang DPRD diantaranya: (1) membentuk Perda; (2) membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda tentang APBD; (3) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD; dan (4) meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan.
Simpulan
Penyesuaian anggaran yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam konteks pandemic Covid-19 dengan bentuk perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD bukan lah merupakan perubahan APBD tahun berjalan, atau menggantikan perubahan APBD. Oleh karena itu, perubahan Perda (qanun) tentang APBD tetap harus dilakukan sehingga kondisi yang luar biasa selama pandemi Covid-19 dapat diakomodir dalam anggaran daerah. DPRD (legislatif) harus memaksa kepala daerah (eksekutif) untuk menyampaikan rancangan perubahan KUA dan PPAS tahun anggaran 2020.