Pokir Bukan Masalah, Tapi Selalu Bermasalah
Font: Ukuran: - +
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Dr Syukriy Abdullah SE MSi. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Analisis - Pokok-pokok pikiran (Pokir) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), belakangan ini menjadi isu panas di Aceh setelah terungkapnya sebuah buku berjudul Buku Usulan Pokok-Pokok Pikiran DPRA APBA 2023, Edisi Tahapan RAPBA 2023, yang dikeluarkan oleh Bappeda Aceh tahun 2022. Buku ini menjadi viral di media daring dan media sosial karena memuat nama-nama anggota DPRA dan proyek/kegiatan Pokir yang diusulkannya.
Informasi yang tersaji meliputi nama anggota dewan yang mengusulkan (Pengusul), fraksi asal, permasalahan, alamat lokasi penerima manfaat/kegiatan, kecamatan, kelurahan, koefisien (jumlah unit?), OPD tujuan akhir (pelaksana?), pagu awal, pagu revisi/tambahan, pagu akhir, dan keterangan. Cukup lengkap dan rinci.
Ada beberapa hal yang dipersoalkan dan menjadi bahan diskusi hangat di berbagai tempat dan kalangan: warung kopi, kampus, grup WA, grup Telegram, Facebook, dan flatform lainnya. Beberapa akademisi dan politisi juga sudah memberikan pandangan dan komentar. Intinya: Pokir di tahun 2023 ini menarik untuk dibahas, baik oleh orang yang paham maupun yang tidak paham. Baik oleh politisi mau pun yang bukan politisi. Mari kita ramaikan!
Pertama, bocornya informasi ini ke publik. Ada yang mempertanyakan: kenapa informasi Pokir bisa bocor? Sebenarnya tidak ada kebocoran apa-apa, karena seharusnya informasi ini sudah terbuka sejak awal. Patokan Pokir dewan adalah rencana kerja tahunan pemerintah Aceh, yang sebelumnya sudah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur (Pergup) Aceh Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Aceh tahun 2023. Artinya, semua kegiatan atau proyek untuk Pokir dewan sudah ada sejak 24 Juni 2022, yakni tanggal ditekennya Pergub 22/2022 tersebut oleh Gubernur Aceh Nova Iriansyah.
Seharusnya Pemerintah Aceh melalui SKPA Sekretariat DPRA menyebarluaskan informasi ini dalam website Pemerintah Aceh di laman: https://acehprov.go.id/ dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di laman https://www.ppid.acehprov.go.id/.
Kedua, anggota dewan dianggap tidak jujur. Pokir adalah bentuk pembelaan anggota dewan terhadap konstituennya, sehingga usulan kegiatan/proyek oleh dewan untuk dibiayai dari APBA tahun 2023 semuanya untuk kepentingan masyarakat. Pokir hanyalah suatu instrumen dalam pengalokasian sumber daya anggaran yang manfaatnya akan dinikmati oleh konstituen.
Dalam buku Pokir yang dijelaskan di atas sudah lengkap data tentang kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan di tahun 2023, meskipun tidak ada informasi kapan akan dilaksanakan (misalnya di triwulan pertama atau kedua tahun 2023).
Ketiga, jumlah yang timpang. Berdasar Buku Pokir 2023 dapat dilihat bahwa terdapat ketimpangan nilai pagu Pokir antara pimpinan dan anggota dewan. Pimpinan mendapatkan jatah seratusan milyar, sedangkan ada anggota dewan yang “hanya” mendapat di bawah sepuluh milyar. Sejauh ini tidak ada formula yang jelas tentang cara perhitungan Pokir dewan tersebut. Ketika ditanyakan kepada anggota dewan, juga tidak ada jawaban yang pasti bagaimana nilai Pokir ini ditentukan. Kementerian Dalam Negeri juga tidak mengeluarkan aturan tentang besaran Pokir dewan ini.
Keempat, tidak ada mekanisme atau sistem dan prosedur yang baku. Oleh karena tidak ada Pergub yang mengatur tentang tata cara pengusulan, verifikasi, pembahasan, dan penetapan Pokir, maka tidak ada pemahaman yang sama tentang apa dan bagaimana Pokir tersebut dikelola. Regulasi tentang perencanaan pembangunan daerah, seperti Permendagri No. 87/2017, sudah memberikan rambu-rambu tentang kapan usulan Pokir dewan harus masuk ke dalam SIPD (Sistem Informasi Pemerintah Daerah) dan bagaimana melakukan “seleksi” terhadap usulan tersebut.
Pengelolaan keuangan Aceh yang akuntabel dan transparan seharusnya berpedoman pada regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah di pemerintahan provinsi Aceh.
Kelima, ada upaya untuk pembusukan karakter terhadap anggota dewan yang mau mencalonkan diri kembali di tahun 2024. Sebagian orang menduga bahwa pengungkapan informasi tentang Pokir dewan ini adalah pekerjaan musuh politik di partai yang sama, yang nantinya menjadi pesaing bagi anggota dewan pemilik Pokir yang saat ini menjadi petahan (incumbent).
Hal ini dapat dipahami jika melihat fenomena bahwa Pokir merupakan salah satu jalan untuk bisa “balik modal” bagi anggota dewan tertentu. Ini merupakan akibat dari money politics yang dilakukan sebagian calon anggota dewan pada saat kampanye, misalnya dalam bentuk pemberian sembako kepada masyarakat tidak mampu, pemberian sajadah kepada mushalla, bantuan perlengkapan olah raga kepada kelompok pemuda, dan sebagainya. Adakalanya saat menerima bantuan tersebut, si penerima berseloroh dengan mengatakan: “ambil saja, tapi jangan pilih dia!”. Pahit!
Terakhir, keenam, Pokir dewan tidak selalu dipandang positif oleh publik. Sebagian orang berpandangan bahwa Pokir adalah cara legal untuk mencuri uang negara/rakyat karena ada fenomena dimana pemberian bantuan, termasuk beasiswa, ternyata dipotong atau diminta dikembalikan sebagian oleh oknum yang mengaku sebagai kepanjangan tangan anggota dewan pemilik Pokir tersebut.
Ketika beasiswa dianggarkan dalam APBA atas usulan dewan melalui Pokir, maka sangat menyedihkan jika kemudian diniatkan untuk dikorupsi, padahal sesungguhnya jangkauan dampak beasiswa itu sangat strategis.
Tidak perlu dicari siapa yang mengungkapkan dokumen atau file Buku Usulan Pokok-Pokok Pikiran DPRA APBA 2023. Yang perlu disepakati adalah buku tersebut bukanlah sebuah rahasia yang harus disembunyikan oleh anggota DPRA dan Bappeda Aceh. Alangkah indahnya jika semua Pokir juga bisa diakses informasinya dalam website Pemerintah Aceh, setidaknya seperti informasi yang tercantum di dalam buku Pokir tersebut.
Kita berharap di masa yang akan datang, informasi tentang Pokir dewan bisa lebih terbuka disampaikan ke publik. Kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi (TKI) dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan pemerintahan daerah provinsi Aceh yang transparan, akuntabel, dan berbasiskan Syariat Islam. Semoga.
Penulis: Dosen FEB Universitas Syiah Kuala (USK), Syukriy Abdullah*