Siapkah Irwandi Ditinggal Loyalis?
Font: Ukuran: - +
Oleh Aryos Nivada
DIALEKSIS.COM - Balada politik internal Partai Nanggroe Aceh (PNA) menyedot perhatian khalayak ramai di Aceh. Pembahasan di warung-warung kopi hingga lintas kalangan merespon dengan berbagai argumentasi masing-masing.
Patut diacungi jempol keberadaan PNA sebagai partai lokal yang mampu eksis (bertahan) dari dinamika politik Aceh yang kuat ibarat menentang ombak besar. Capaian di level kekuasaan yakni legislatif berhasil mendapatkan tiga kursi pada 2014. Dan pada Pemilu 2019 perolehannya naik dua kali lipat menjadi enam kursi, walaupun bertransformasi dengan nama baru namun ruh dan semangatnya tetap partai lama.
Bila melihat sekilas lahirnya PNA, tak lepas dari perpecahan di tubuh partai lokal besar di Aceh yakni Partai Aceh (PA). Bisa dikatakan PNA lahir dari rahim PA.
Ada dua hal dalam teori politik yang menyebabkan perpecahan pada suatu entitas kelembagaan partai politik, yaitu karena tidak terfasilitasi kepentingan finansial (keuangan) atau karena tidak mendapatkan posisi jabatan maupun kekuasaan di internal partai tersebut.
Mirisnya lagi, hari ini visi partai yang mengemuka adalah kepentingan para elit. Muncul pertanyaan kritisnya, apakah PNA terbentuk dikarenakan dua penyebab itu? Atau ada sesuatu dorongan yang sangat kuat untuk membuat arus tersendiri dengan lebih baik (positive thinking)?
Pada dasarnya, dalam dunia perpolitikan kepartaian hampir tidak ada penyebab perpecahan dikarenakan kaitan dengan ideologi atau program partai. Disinilah menjadi menarik diskursus ini dikemukakan.
Babak Baru
PNA yang digawangi Gubernur Aceh non aktif Irwandi Yusuf dalam fase kedua eksistensinya di gelanggang perpolitikan di Aceh akan memulai babak baru. Terkhusus pasca kebijakan Irwandi selaku ketua umum partai menggantikan beberapa posisi kepengurusan yaitu Ketua Harian dari Samsul Bahri bin Amiren alias Tiyong ke Darwati A Gani (yang merupakan istrinya sendiri), dan selanjutnya posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) dari Miswar Fuady ke Muharram Idris.
Penyegaran kepengurusan di tubuh PNA menuai pro dan kontra, baik berhembus dari internal sendiri maupun publik politik Aceh. Fenomena ini menarik dikupas dengan berbalut analisis atas keputusan Irwandi menggantikan kedua posisi struktur strategis itu di dalam tubuh keorganisasian PNA.
Membaca sikap Irwandi Yusuf selaku ketua umum partai, kita bertanya-tanya, apa target yang ingin dicapai? Mengapa harus mereka yang dipilih? Apakah akan didukung penuh secara kolektif di internal, serta bagaimana dampak yang dihasilkan atas kebijakan itu sendiri? Keseluruhan pertanyaan itu menjadi rambu-rambu dalam menjabarkan tulisan ini.
Dapat dikatakan, hampir semua penilaian publik di Aceh mampu membaca manuver Irwandi menggantikan kedua pucuk pimpinan ini. Mereka menilai sikap Agam Batat itu bagian dari strategi menyiapkan posisi wakil gubernur setelah diputuskan inkrah (in kracht) terhadap kasus hukum Irwandi nantinya.
Sebenarnya kalau mau membaca langkah catur itu, sudah dimulai ketika PNA masuk ke Koalisi Aceh Bermartabat II yang digagas Mualem (Muzakir Manaf, Ketua DPA Partai Aceh).
Langkah itu mencerminkan politik dua kakinya PNA. Satu kaki masuk dalam lingkaran kekuasaan dan satu kaki lainnya juga masuk lingkaran di luar kekuasaan.
Pilihan Pengganti
Pertanyaan berikutnya, kenapa harus Darwati yang diajukan. Pertimbangan logica political rational tentunya tidak mudah mempercayai seseorang. Basisnya jelas untuk keberlanjutan kekuasaan Irwandi, walau melalui orang lain tapi tetap berada di bawah kontrolnya.
Pandangan orang juga menilai wajar saja Irwandi menggantikan Tiyong yang mungkin ‘dianggap’ berpotensi mengganggu jalannya strategi yang dimainkannya. Ditambah lagi cenderung menghantam sekaligus berseberangan dengan dirinya selaku ketua umum partai maupun gubernur beberapa waktu yang lalu.
Penilaian ini dapat dipelajari dari pergulatan di ruang publik berdasarkan rekam jejak komentar digital maupun media online dan cetak di Aceh.
Adapun Irwandi memilih dan menempatkan Muharram Idris sebagai sekjen bukan tak memiliki pertimbangan matang. Sosok Muharram dianggap sangat dekat dengan Muzakir Manaf dan sudah barang tentu diharapkan dapat membantu memuluskan Darwati menjadi wakil gubernur nantinya.
Namun memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena belum tentu di internal Partai Aceh akan solid mendukung penuh di parlemen. Dinamika ini akan sangat tergantung bagaimana komunikasi politik dan tawar menawarnya yang dibangun.
Penentuan posisi wagub Aceh saat ini masih begitu cair dan belum terlihat tanda-tanda mengkristal.
Memang belum tentu Darwati yang akan diajukan, bisa saja dari pihak partai pengusung lainnya mengusulkan nama ataupun dari pihak eksternal seperti kader Partai Aceh maupun personal yang berpotensi. Sebut saja misalnya seperti Abu Razak (Kamaruddin), M Nasir Djamil, T Setia Budi, atau kalangan pengusaha.
Gejolak Pergantian
Dampak dari pergantian pengurus PNA telah memicu protes di kalangan internal sendiri. Beberapa pengurus partai tak terima dengan apa yang terjadi di dalam partainya.
M Rizal Falevi Kirani dan Tarmizi misalnya, dua Ketua DPP PNA itu menyampaikan keberatannya dengan mengirimkan rilis ke berbagai media.
Jika melihat latar belakang dan relasi keduanya, mereka memiliki kedekatan yang erat dengan Miswar Fuady (sekjen yang digantikan). Artinya, wajar mereka memprotes, karena eksistensi mereka di internal bisa saja terancam ketika berganti pucuk pimpinan kelak.
Ada catatan penting yang perlu diperhatikan. Ketika gejolak pergantian ini tak mampu diorganisir dengan baik, terutama pada level elit PNA, maka akan berdampak secara langsung terhadap para loyalis Irwandi, bisa saja akan meninggalkan partainya. Otomatis ini juga akan berpengaruh kepada basis konstituen dari PNA sendiri.
Karenanya tidak heran keberadaan PNA ke depan akan berpotensi pecah di dalam menjadi faksi-faksi yang berkelompok sendiri-sendiri. Sejalan dengan pemikiran Nazuruddin Sjamsuddin (Pakar Politik dari Universitas Indonesia) yang menyatakan salah satu penyebab perpecahan partai adalah karena persaingan kepemimpinan dalam partai tersebut.
Tentu saja kita berharap jangan sampai political revenge (balas dendam politik) akan dilakukan para loyalisnya karena perlakuan para pimpinan/elit partai yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dalam memutuskan pergantian ketua harian dan sekjen.
Pergantian ketua harian yang juga berstatus istri, terkesan di mata publik seolah-olah ingin membangun dinasti kekuasaan. Hal ini tentunya berimage negatif dalam penilaian masyarakat Aceh tentunya. Artinya tafsir untuk posisi itu ‘lebih dipercaya keluarga sendiri daripada orang lain’.
Bacaan aneh lainnya juga dari putusan Irwandi dalam menggantikan dua punggawa itu, tidak memicu protes secara langsung dari Tiyong dan Miswar. Ada apa gerangan?
Mungkinkah ada pertemuan rahasia dengan elit politik tersebut untuk membahas perihal pergantian ini? Kemungkinan besar, untuk hitung-hitung ke depan, sudah dibahas dan disepakati dengan asas saling menguntungkan.
Pada akhirnya tentu kita hanya bisa berharap bahwa manuver dan strategi apapun yang diukir PNA dalam menjalankan misi politik kelokalan di Aceh, khususnya dalam memastikan kadernya terpilih jadi wakil gubernur Aceh nanti, haruslah cermat memahami setiap langkah-langkah yang dimainkan.
Apapun bentuk dramatisasi politik PNA, bisa saja politik zig-zag dimainkan, politik belah bambu, maupun politik entah apa namanya, yang jelas semua akan terjawab di kemudian hari. Kita nantikan saja desain politik PNA dalam pertarungan politik antar elit di Aceh, dalam memperebutkan posisi wagub.()
Penulis adalah Dosen FISIP Unsyiah, Banda Aceh.