DIALEKSIS.COM | Analisis - Bencana banjir bandang dan longsor yang menghantam Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah memunculkan perdebatan tajam. Desakan publik dan pernyataan menyerah sebagian kepala daerah menuntut Presiden Prabowo Subianto supaya menetapkan status bencana nasional. Tapi, Pemerintah Pusat sejauh ini tampaknya kukuh mempertahankan status darurat bencana provinsi, sambil menjamin dukungan dana dan armada yang setara skala nasional.
Perbedaan sikap ini bukan hanya permainan kata. Ini adalah tarik ulur soal komando, kecepatan, dan pertanggungjawaban di tengah krisis melanda rakyat korban di tiga provinsi itu. Data terbaru menunjukkan betapa mengerikannya bencana akibat fenomena alam langka, berupa siklon tropis Senyar, dan kerusakan lingkungan yang parah karena pembukaan lahan sawit dan illegal logging.
Jumlah korban jiwa dan hilang di tiga provinsi hingga Kamis (4/12/2025) telah mencapai 1.340 jiwa, terdiri dari 779 orang meninggal dunia dan 564 lainnya dinyatakan hilang. Ribuan orang luka-luka dan ratusan ribu terpaksa mengungsi. Jumlah korban diperkirakan terus meningkat, karena banyak warga yang belum ditemukan.
Kerusakan fisik sangat masif. Data sementara menunjukkan bahwa sekitar 10.400 rumah rusak. Yang paling kritis, hampir 300 jembatan hancur total. Akibatnya akses logistik dan evakuasi di banyak daerah lumpuh. Di sektor pendidikan, lebih dari 213 gedung sekolah (SD hingga SMA), 132 rumah ibadah dan 354 fasilitas umum terdampak serta 100 gedung atau kantor mengalami kerusakan.
Melihat angka-angka itu, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), bahkan menyebut bencana ini sebagai "tsunami kedua bagi Aceh." Pernyataan itu adalah alarm keras untuk menunjukkan tingkat keparahan krisis dan trauma yang dialami masyarakat. Secara emosional dan psikologis, kehilangan mendadak dan isolasi yang diciptakan oleh rusaknya akses memang mengingatkan pada horor Desember kelabu 2004.
Namun, di sinilah analisis kritis diperlukan. Pemerintah Pusat tampaknya memiliki standar yang sangat tinggi dan eksklusif untuk menetapkan bencana nasional. Status bencana nasional hanya pernah disematkan pada gempa dan tsunami Flores di Nusa Tenggara Timur (1992), gempa dan tsunami Aceh (2004) dan satu lagi pandemi Covid-19 (2020).
Jumlah korban gempa dan tsunami Flores mencapai 2.500 jiwa. Sedangkan, gempa dan tsunami Aceh dicatat 170.000 orang (ada yang menyebutkan 200.000 jiwa). Roda pemerintahan di Aceh kala itu lumpuh total. Sementara Covid-19, menurut catatan laporcovid19, menyebabkan lebih dari 187.000 meninggal dunia.
Untuk memahami sikap Pemerintah Pusat yang belum menetapkan banjir dan longsor Sumatra sebagai bencana nasional, maka kita perlu melihat perbandingan dengan bencana besar lain. Ayo lihat gempa, tsunami, dan likuifaksi yang melanda Palu dan Donggala, pada 2018.
Bencana Palu 2018 adalah tragedi besar yang dampaknya melumpuhkan hampir seluruh daerah di Sulawesi Tengah. Palu mencatat lebih dari 2.000 korban jiwa dan puluhan ribu rumah rusak. Meskipun dampaknya jauh melampaui bencana Sumatera saat ini dari segi jumlah korban jiwa, gempa dan tsunami Palu tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
Ada yang menarik dalam masa tanggap darurat di Palu. Sebagian lembaga internasional sempat masuk, meski kemudian dilarang. Akibatnya, banyak relawan asing yang sedang melaksanakan misi kemanusiaan ”terpaksa” harus keluar dari zona bencana.
Jika Palu dengan 2.000 korban jiwa saja tak ditetapkan status nasional, maka kecil kemungkinan bencana Sumatera, dengan jumlah sejauh ini 1.340 korban, akan dinaikkan statusnya. Pemerintah berpegang pada preseden: status nasional hanya untuk peristiwa yang benar-benar melumpuhkan stabilitas negara.
Paling menarik adalah pernyataan dari Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi. Dia mengaku Pemerintah Indonesia masih sanggup mengatasi seluruh penanganan bencana Sumatra.
”Kami merasa bahwa pemerintah, semua masih sanggup untuk mengatasi seluruh permasalahan yang kami hadapi,” katanya seperti dilansir Tempo.co, Rabu (3/12/2025).
Lalu, apa beda status darurat provinsi dengan bantuan pusat seperti yang kini sedang dilakukan? Perbedaannya terletak pada komando. Dalam status darurat provinsi, komando operasional tetap dipegang gubernur. Jadi untuk bencana Sumatra, Pemerintah Pusat melakukan strategi dukungan maksimal, dengan mengerahkan hampir semua kementerian dan lembaga.
Strategi ini terlihat dari mobilisasi besar-besaran yang telah dilakukan. BNPB dilaporkan punya Dana Siap Pakai (DSP) ratusan miliar untuk operasional tanggap darurat. Secara paralel, ribuan personel TNI/Polri ditambah ratusan relawan Basarnas juga sudah diterjunkan. Armada vital seperti beberapa helikopter juga dikerahkan untuk proses evakuasi dan pengiriman logistik ke daerah terisolir.
Artinya, Pemerintah Pusat menjalankan penanganan bencana secara operasional dan finansial, tetapi dengan komando tetap berada di tangan daerah. Keuntungannya, keputusan di lapangan bisa lebih cepat dan relevan dengan kondisi lokal. Kelemahannya, ada potensi tumpang tindih komando dan kegelisahan publik karena status resmi yang dirasa seakan kurang mencerminkan besarnya tragedi.
Presiden Prabowo telah merespons desakan itu dengan mengatakan, prioritas utama Pemerintah Pusat saat ini adalah kecepatan penyaluran bantuan.
”Status (bencana nasional) itu masalah administrasi. Yang penting semua kekuatan negara kira kerahkan, dan itu sudah kita lakukan. Dana kita keluarkan, TNI, Polri, Basarnas semua di sana,” ujarnya.
Tolak tarik ini menunjukkan dilema. Pemerintah ingin efisien dan cepat melalui status bencana provinsi. Di sisi lain, masyarakat dan sebagian pemimpin daerah menginginkan simbol otoritas tertinggi negara dengan menetapkan status bencana nasional.
Namun di balik perdebatan soal status, saat ini, yang paling penting adalah efektivitas bantuan. Apalagi, masih ada korban yang mengaku belum mendapatkan bantuan, padahal bencana sudah sepekan. Selain itu, selama dana ratusan miliar benar-benar mengalir untuk korban, dan ribuan personel TNI/Polri bekerja keras membuka 299 jembatan yang putus, komando ada di tangan siapa menjadi isu sekunder.
Yang tak kalah penting untuk diperhatikan, Pemerintah Pusat harus segera berfokus pada fase berikutnya. Dengan kerusakan infrastruktur sangat masif, presiden harus segera menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) khusus untuk percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Inpres ini menjadi kunci untuk menjamin APBN bisa langsung membiayai pembangunan kembali rumah warga, sekolah, jembatan, dan infrastruktur yang hancur, agar masyarakat tidak berlarut-larut dalam isolasi dan trauma.[**]
Penulis: Nurdin Hasan (Jurnalis Freelance)