DIALEKSIS.COM | Analisis - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh (serta sebagian Sumatra Utara dan Barat) pada akhir November 2025 menimbulkan dampak kemanusiaan yang sangat besar. Hingga pertengahan Desember 2025, tercatat sekitar 990 orang meninggal dunia (407 di Aceh, 343 di Sumut, 240 di Sumbar) dan lebih dari 900 ribu warga terpaksa mengungsi.
Kerusakan infrastruktur pun parah ratusan jembatan putus, listrik dan komunikasi lumpuh di banyak daerah, mengakibatkan kelangkaan pangan dan ancaman kesehatan bagi korban.
Namun, di tengah skala bencana yang masif ini, muncul perdebatan sengit di tingkat nasional mengenai perlu tidaknya menetapkan status bencana nasional dan membuka akses bantuan internasional.
Perdebatan tersebut memunculkan dua kubu yang di sini disebut sebagai faksi merah dan faksi putih. Faksi merah berpendapat bahwa penanganan bencana cukup dilakukan secara nasional tanpa perlu deklarasi bencana nasional atau campur tangan asing. Mereka menekankan kemandirian nasional dan khawatir keterlibatan pihak luar justru mengganggu stabilitas politik-keamanan serta kepentingan dalam negeri.
Faksi putih, sebaliknya, mendesak penetapan status bencana nasional agar seluruh kekuatan nasional bisa dikerahkan maksimal dan tidak mempermasalahkan dukungan asing demi percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Bagi kubu putih, aspek kemanusiaan dan pemulihan segera bagi rakyat harus diutamakan, bahkan jika itu berarti menerima bantuan global.
Tulisan ini akan mengkaji pertarungan argumen kedua faksi tersebut dalam kerangka stabilitas politik dan keamanan serta bagaimana masing-masing posisi terkait kepentingan nasional maupun global. Dengan menguraikan peta aktor kunci beserta motifnya, serta merujuk teori dan pendapat ahli, diharapkan analisis ini objektif dan komprehensif dalam menimbang implikasi dari keputusan menerima atau menolak status bencana nasional dan keterlibatan asing di Aceh.
Faksi Merah: Kedaulatan Nasional dan Stabilitas Politik Internal
Faksi merah mewakili pandangan pemerintah pusat dan pendukungnya yang menolak menjadikan bencana Aceh sebagai bencana nasional. Prioritas utama kubu ini adalah menjaga kedaulatan dan stabilitas politik dalam negeri. Presiden Prabowo Subianto tokoh sentral faksi merah secara tegas menyatakan bahwa pemerintah mampu menangani bencana di Aceh dan Sumatra secara mandiri, sehingga tidak perlu ditetapkan status darurat bencana nasional. “Ada yang teriak-teriak ingin ini dinyatakan bencana nasional.
Kita sudah kerahkan (seluruh sumber daya), ini tiga provinsi dari 38 provinsi. Jadi, situasi terkendali,” ujarnya dalam Sidang Kabinet. Prabowo menekankan semua kekuatan nasional (TNI, Polri, BNPB, kementerian) telah dikerahkan ke lokasi dan keadaan bisa diatasi pemerintah. Bahkan, ia memastikan anggaran negara sanggup membiayai pemulihan berkat efisiensi yang dilakukan pemerintah sebelumnya.
Sikap percaya diri pemerintah menangani bencana ini juga diiringi penolakan halus terhadap uluran bantuan asing. Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Indonesia tidak membuka opsi bantuan internasional karena yakin mampu mengatasi krisis dengan sumber daya sendiri. Presiden Prabowo mengungkapkan bahwa banyak pemimpin negara sahabat menelepon menawarkan bantuan, namun ia menyampaikan terima kasih seraya mengatakan Indonesia mampu menangani sendiri.
Pandangan semacam ini mencerminkan semangat nasionalisme tinggi dan keinginan mempertahankan harga diri negara (disaster nationalism): pemerintah ingin menunjukkan Indonesia kuat secara mandiri dalam menghadapi bencana, tanpa harus bergantung pada pihak luar. Prinsip kedaulatan dan kebanggaan nasional ditekankan “kami sanggup, terima kasih” agar Indonesia dilihat sebagai bangsa yang tangguh, bukan korban yang membutuhkan belas kasihan asing.
Faktor lain yang dikhawatirkan faksi merah adalah implikasi politik-keamanan dari masuknya aktor asing. Sejarah menunjukkan bahwa kehadiran luas lembaga internasional pascabencana dapat membuka “akses” bagi isu-isu sensitif. Dalam konteks Aceh, faksi merah takut apabila status bencana nasional diberlakukan (yang membuka kran bantuan asing), maka Aceh akan semakin mudah membangun komunikasi dengan komunitas internasional untuk mengangkat isu-isu seperti kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM di Indonesia.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar: banyak analis menilai bencana banjir bandang Sumatra 2025 adalah “bencana ekologis” akibat ulah manusia, terutama deforestasi besar-besaran dan ekspansi konsesi perusahaan di hulu daerah aliran sungai. WALHI mengidentifikasi hampir 900 ribu hektare hutan rusak di Aceh-Sumut-Sumbar karena aktivitas ratusan perusahaan tambang, perkebunan sawit, dan izin konsesi di wilayah ekologis vital.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bahkan menemukan bahwa konsesi Hutan Tanaman Industri milik PT Tusam Hutani Lestari (THL) yang dimiliki oleh Presiden Prabowo sendiri seluas ~97 ribu hektare di Aceh Tengah dan sekitarnya turut berkontribusi pada berkurangnya daya serap air dan meningkatnya risiko banjir. Peta konsesi JATAM menunjukkan banyak hutan di Aceh telah terbuka untuk tambang dan HTI (termasuk milik presiden), sehingga “ini bukan semata soal hujan, tapi soal siapa yang menguasai hutan kita”.
Temuan semacam ini tentu memberatkan posisi elite berkuasa, karena sorotan akan tertuju pada dugaan kejahatan lingkungan oleh korporasi besar dan kaitannya dengan penguasa. Dari sudut pandang faksi merah, melibatkan komunitas internasional berisiko mengundang tekanan global atas isu lingkungan dan HAM tersebut, yang pada gilirannya dapat mengganggu relasi ekonomi-politik elite dalam negeri, termasuk kepentingan mereka atas lahan dan sumber daya. Dengan menutup pintu bagi aktor asing, faksi merah berupaya meredam potensi “intervensi” luar yang bisa mempermalukan pemerintah atau memaksa perubahan kebijakan lingkungan dan hak asasi yang tidak diinginkan mereka.
Selain soal citra dan isu sensitif, pertimbangan stabilitas politik jangka pendek juga menjadi alasannya. Pemerintahan Presiden Prabowo tentu memiliki agenda visi-misi dan program strategis sendiri. Faksi merah cemas bahwa menetapkan bencana nasional akan menyita perhatian besar, mengalihkan sumber daya, dan mungkin mengganggu kelanjutan program unggulan pemerintah.
Ada kesan bahwa kubu ini tidak ingin narasi nasional didominasi oleh “krisis dan bantuan asing”, karena bisa dianggap mencerminkan kegagalan pemerintah menjaga stabilitas. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengindikasikan kekhawatiran semacam ini ketika menanggapi tawaran bantuan Malaysia. Ia menyebut sumbangan dari negeri tetangga yang nilainya sekitar Rp1 miliar sangat kecil dibandingkan anggaran yang dikerahkan pemerintah Indonesia, dan menerima bantuan asing bernilai kecil justru berisiko menciptakan citra negatif seolah negara tidak becus menangani bencana.
Dengan kata lain, kalau pun bantuan luar datang dalam skala terbatas, di mata faksi merah hal itu lebih banyak mudaratnya bagi reputasi pemerintah. Stabilitas politik dalam negeri diartikan pula sebagai menjaga kepercayaan publik bahwa pemerintah pusat mampu melindungi rakyatnya tanpa perlu “dibantu” asing. Faksi merah tampaknya tak ingin ada preseden bahwa setiap bencana besar harus minta bantuan internasional, karena itu dianggap melemahkan wibawa negara dan bisa dimanfaatkan lawan politik untuk menyerang pemerintah.
Prabowo sendiri sempat menyinggung bahwa ada pihak-pihak yang bermotif politik meneriakkan isu bencana nasional untuk menekan pemerintah, namun ia menegaskan rakyat kini melihat pemerintah Indonesia ternyata tangguh menangani bencana. Kecurigaan terhadap “agenda politik” di balik desakan status bencana nasional ini menunjukkan faksi merah memandang isu bencana dalam kerangka politik kekuasaan juga, bukan semata urusan teknis kemanusiaan.
Singkatnya, dari perspektif faksi merah: kepentingan nasional didefinisikan sebagai kemandirian dan stabilitas rezim. Mereka ingin menjaga kontrol penuh penanganan bencana oleh instrumen negara (TNI, Polri, BNPB) demi menjamin keamanan dalam negeri tetap kondusif, menghindari campur tangan asing yang dianggap dapat membuka celah pengaruh luar maupun sorotan negatif. Prioritasnya adalah sovereignty first. Prinsip ini sejalan dengan pandangan realis dalam politik internasional yang menempatkan kedaulatan negara dan keamanan rezim di atas segalanya.
Selama pemerintah mampu (atau terlihat mampu) menanggulangi krisis, maka melibatkan pihak asing justru dianggap kontra-produktif terhadap stabilitas politik. Bahkan, Tito Karnavian menyebut penolakan bantuan internasional yang nilainya kecil sebagai langkah rasional demi menunjukkan negara sudah berbuat lebih dari cukup. Kalangan merah percaya, negara kuat yang berdiri di atas kaki sendiri akan lebih dihormati dan stabil secara politik, ketimbang negara yang “membuka pintu” lalu potensial didikte oleh donatur asing.
Faksi Putih: Kepentingan Kemanusiaan dan Kerja Sama Global
Berhadapan dengan narasi di atas, faksi putih memandang situasi dari kacamata yang lebih berorientasi pada kemanusiaan dan pragmatisme bantuan. Kubu ini terdiri dari para aktor lokal Aceh, elemen masyarakat sipil, hingga sejumlah tokoh politik nasional yang mengutamakan keselamatan rakyat korban bencana di atas kekhawatiran soal kedaulatan semu. Bagi mereka, deklarasi status bencana nasional justru sejalan dengan kepentingan nasional yang hakiki, yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Jika skala musibah memang luar biasa dan kemampuan daerah terbatas, maka pemerintah pusat wajib mengambil alih komando penuh dan mengizinkan segala bantuan yang tersedia, baik dari dalam maupun luar negeri.
Salah satu alasan utama faksi putih menginginkan status bencana nasional adalah agar sumber daya nasional dapat dikerahkan semaksimal mungkin tanpa kendala birokrasi, demi mempercepat tanggap darurat dan pemulihan. Para pendukung langkah ini menilai kondisi di lapangan sudah memenuhi semua kriteria bencana nasional, dimana wilayah terdampak luas (18 dari 23 kabupaten/kota di Aceh terdampak), infrastruktur lumpuh, jumlah korban dan pengungsi sangat besar, serta pemerintah daerah kolaps secara kapasitas.
Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, mewakili Koalisi 113 organisasi masyarakat sipil, menegaskan bahwa skala kerusakan jauh melampaui kemampuan provinsi “darurat tidak bisa dikendalikan dengan cara konvensional”. Koalisi ini bahkan telah mengirim somasi kepada Presiden agar menetapkan banjir bandang Aceh-Sumatra sebagai bencana nasional.
Menurut Wafisa, status bencana nasional akan membuka akses penuh pada mekanisme operasi pemerintah pusat, termasuk pengerahan armada udara, logistik, dan personel ke daerah-daerah terisolir. Hal-hal yang tadinya terbatas oleh wewenang atau anggaran daerah bisa segera ditangani jika kendali diambil alih pusat. “Kami melihat skala bencana ini sudah di luar kapasitas provinsi. Dengan bencana nasional, pusat bisa kerahkan pesawat, helikopter, anggaran tak terbatas, semuanya,” demikian argumen faksi putih.
Selain itu, faksi putih tidak mempermasalahkan keterlibatan asing atas dasar solidaritas kemanusiaan. Mereka menilai ide bahwa menerima bantuan luar akan mengurangi kedaulatan adalah pemikiran sempit. Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, secara terbuka mengkritik pemerintah yang “ngotot menolak bantuan asing”. Ia berujar, “Jika ada negara berniat baik dan bisa mempercepat pemulihan warga terdampak, kenapa kita tolak? Untuk kebaikan rakyat yang susah, mengapa harus malu?”.
Lasarus mengingatkan jumlah korban yang hampir sejuta pengungsi dan ratusan hilang, sehingga prioritas mestinya menyelamatkan rakyat dulu, urusan gengsi belakangan. Pandangan serupa diutarakan anggota DPR RI dari Komisi V lainnya, Syafiuddin, yang mendesak pemerintah tidak alergi menerima bantuan asing karena kondisi korban di lapangan semakin mengkhawatirkan.
Bagi faksi putih, kepentingan nasional justru selaras dengan nilai kemanusiaan universal jika itu terjadi reputasi Indonesia akan terangkat bila terbuka menerima bantuan demi rakyatnya. Lagipula, bantuan internasional adalah wujud peradaban saling tolong-menolong antarbangsa yang seharusnya tidak ditolak. Dalam perspektif ini, kerja sama global bukan ancaman melainkan aset untuk pemulihan.
Dari Aceh sendiri, dorongan agar pemerintah pusat “membuka pintu” bagi dunia disuarakan lantang. Wakil Ketua DPRA, Rusyidi Mukhtar (akrab disapa Ceulangiek), mengkritik keras lambannya respons Jakarta. Ia menegaskan 23 kabupaten/kota terdampak ini bukan bencana biasa tapi dahsyat yang melumpuhkan ekonomi Aceh. Ceulangiek mendesak Presiden segera turun tangan memimpin penanganan dan membuka akses bantuan internasional.
Menurutnya, sudah banyak negara sahabat siap membantu namun terhalang regulasi pusat, sehingga ia meminta Presiden Prabowo memberi izin agar bantuan luar negeri bisa masuk. Kekecewaan rakyat Aceh makin memuncak seiring minimnya respons pemerintah pusat. Ceulangiek memperingatkan, “Jika pusat tidak peduli, rakyat Aceh berhak mempertanyakan kembali komitmen kebangsaan yang selama ini kami junjung”. Pernyataan ini mengandung makna mendalam: Aceh merasa sudah setia dalam NKRI, namun ketika musibah besar melanda, pusat terkesan abai.
Ia menutup dengan seruan penanganan bencana Aceh harus memakai pendekatan kemanusiaan, bukan semata administratif. “Kami tidak ingin konflik, tapi jika dibiarkan terus, kami siap berdiri sendiri. Izinkan dunia membantu Aceh. Ini bukan sekadar bencana alam, ini ujian kemanusiaan,” tegasnya. Ucapan “siap berdiri sendiri” jelas suatu warning “ jika kebutuhan rakyat diabaikan, risiko instabilitas (bahkan disintegrasi) bisa meningkat.
Bagi faksi putih di Aceh, menerima bantuan siapa pun yang tulus membantu adalah wajar demi penyelamatan nyawa dan pemulihan segera. Mereka memandang keterlibatan aktor global bukan ancaman bagi kedaulatan Aceh, malah bisa memperkuat posisi Aceh di kancah internasional untuk menyuarakan keadilan (contoh: isu kejahatan lingkungan yang menyebabkan bencana). Tokoh lokal lain, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem), juga mendukung sikap terbuka. Ia menyatakan tidak akan mempersulit masuknya bantuan internasional bagi korban banjir dan longsor di wilayahnya. Menurut Mualem, pengibaran bendera putih oleh warga Aceh bukanlah tanda menyerah atau sikap antipati pada pemerintah, melainkan panggilan agar perhatian nasional dan internasional tertuju ke derita mereka. “Saya kira bendera putih itu untuk menarik perhatian,” ujarnya, menekankan bahwa rakyat sekadar meminta pertolongan lebih, bukan bermaksud meremehkan pusat.
Fenomena warga mengibarkan bendera putih di berbagai pelosok Aceh pascabencana menjadi simbol kuat tuntutan faksi putih. Sekitar tiga pekan pascabencana, komunitas di Aceh Tamiang, Bireuen, Pidie Jaya, hingga Banda Aceh memasang kain putih di depan rumah atau di jalan menandakan mereka tak lagi sanggup bertahan dengan kondisi yang ada. Media Singapura Channel News Asia menyoroti aksi ini sebagai lambang betapa bantuan yang diterima warga masih minim sementara kelaparan dan kekurangan semakin menggigit.
Bendera putih umumnya identik dengan situasi konflik (tanda menyerah), namun dalam konteks bencana Aceh 2025, ia telah berubah makna menjadi seruan pilu minta tolong. Pihak pemerintah akhirnya mengakui pesan tersebut Mendagri Tito Karnavian menyatakan pemerintah “mendengar kritik dan pendapat rakyat” yang diwakili bendera putih, serta berjanji meningkatkan upaya penanganan darurat. Namun bagi faksi putih, janji saja tidak cukup tanpa langkah konkret membuka keran bantuan lebih lebar.
Secara prinsip, faksi putih berpijak pada argumen kemanusiaan universal dan tanggung jawab negara terhadap rakyat. Banyak ahli HAM dan kebencanaan mendukung posisi ini. Amnesty International Indonesia menilai krisis banjir bandang Sumatra sebagai krisis hak asasi manusia, karena ribuan warga kehilangan hak-hak dasar (hak untuk hidup aman, mendapat pangan, air bersih, layanan kesehatan, tempat tinggal) yang semestinya dijamin negara.
Amnesty mengingatkan bahwa hukum HAM internasional mewajibkan negara untuk melindungi nyawa warganya dalam segala situasi, termasuk bencana, dan “jika kapasitas respons suatu negara tidak mencukupi, negara tersebut wajib mencari bantuan internasional untuk menegakkan kewajiban HAM-nya”. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi Indonesia bahkan eksplisit memandatkan penggunaan “sumber daya maksimum yang tersedia, termasuk bantuan internasional” untuk memenuhi hak-hak dasar warga dalam keadaan darurat.
Jadi, menolak bantuan padahal rakyat menderita justru bisa dianggap pelanggaran konstitusi dan kewajiban internasional. Peneliti dari Pusat Kajian Hukum & Keadilan Sosial UGM, I.G.A. Wardana, berpendapat bahwa ketidaktegasan pemerintah menetapkan bencana nasional dan penolakan bantuan internasional merupakan keputusan politik yang membiarkan warga dalam “kematian sosial-ekologis”, suatu bentuk pelanggaran HAM secara pasif (by omission).
“Kematian akibat bencana tidak lagi murni peristiwa alamiah, melainkan konsekuensi keputusan politik yang lalai,” tulisnya tajam. LSJ UGM tersebut mendesak agar status bencana nasional segera ditetapkan sesuai amanat UU Penanggulangan Bencana, karena itu krusial untuk membuka akses bantuan internasional, mempercepat pemulihan, dan mencegah penderitaan lebih luas. Para ahli ini pada dasarnya menegaskan: dalam situasi darurat besar, menerima bantuan global bukan tanda kelemahan negara, melainkan kewajiban moral dan legal demi melindungi rakyat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faksi putih mendefinisikan kepentingan nasional secara lebih luas dan inklusif. Stabilitas yang mereka cari adalah stabilitas sosial dan keselamatan manusia, yang diyakini akan diperoleh lebih cepat bila semua pihak termasuk komunitas internasional dilibatkan. Mereka juga percaya kerja sama global akan memperkuat posisi Indonesia di dunia, menunjukkan bahwa Indonesia menjunjung nilai kemanusiaan dan tidak segan bekerja sama demi kebaikan rakyat. Secara politik, keterbukaan semacam ini justru bisa meningkatkan legitimasi pemerintah di mata rakyat sendiri maupun komunitas global.
Peta Aktor dan Kepentingannya
Untuk memahami lebih jelas pertarungan kedua faksi, berikut peta aktor kunci beserta posisi serta kepentingan mereka:
Faksi Merah (Penolak Status Bencana Nasional & Bantuan Asing):
1. Presiden Prabowo Subianto - Kepala Pemerintahan. Menegaskan semua terkendali dan Indonesia mampu tangani sendiri tanpa deklarasi bencana nasional. Kepentingannya menjaga wibawa pemerintah, melindungi agenda visi-misi serta menghindari sorotan negatif (isu lingkungan/HAM) yang bisa mengganggu posisi politiknya.
2. Pejabat Tinggi Pemerintah Pusat - Misalnya Mendagri Tito Karnavian dan Mensesneg/Setkab. Mereka mengecilkan peran bantuan luar; Tito menyebut bantuan Malaysia Rp1 miliar “tak signifikan” dan menerimanya bisa mencoreng citra seolah negara tak berbuat cukup. Fokus mereka pada stabilitas pemerintahan, memastikan publik percaya negara hadir sejak detik pertama (narasi “Negara tidak absen”).
3. Aparat Keamanan (TNI/Polri) & BNPB - Menjadi ujung tombak penanganan domestik. Kepentingan institusional: menunjukkan kapabilitas mereka dalam tanggap darurat sehingga tidak perlu bantuan asing. Panglima TNI, Kapolri, Kepala BNPB cenderung mendukung garis Presiden dengan mengerahkan personel secara besar (20 ribu personel gabungan dikerahkan sejak awal) agar operasi dianggap cukup berskala nasional tanpa deklarasi formal.
4. Elite Politik dan Ekonomi Nasionalis - Termasuk pejabat atau pengusaha dengan kepentingan lahan dan sumber daya. Mereka di “belakang layar” mendukung sikap tertutup untuk menghindari audit luar terhadap aktivitas bisnis yang mungkin berkontribusi pada bencana (misal: perusahaan tambang, HTI, sawit yang merusak hutan). Kepentingan mereka adalah mempertahankan status quo penguasaan lahan dan kebijakan ekonomi tanpa intervensi atau tekanan reformasi dari komunitas internasional.
5. Partai Koalisi Pendukung Pemerintah - Sebagian pimpinan partai pendukung pemerintah cenderung sejalan dengan narasi resmi (meski tidak vokal di publik). Mereka ingin menjaga soliditas pemerintah dan menghindari isu ini dimanfaatkan oposisi. Kepentingannya menjaga stabilitas politik jangka pendek, memastikan citra pemerintahan Prabowo tetap kuat dan mandiri di mata rakyat.
Faksi Putih (Pendukung Status Bencana Nasional & Keterlibatan Asing):
1. Pemerintah Daerah Aceh & Sumatra Terdampak - Contohnya Wagub Aceh (Pj Gubernur) Muzakir Manaf dan para Bupati di Aceh, juga beberapa kepala daerah di Sumut/Sumbar. Mereka umumnya angkat bendera putih mengakui kapasitas daerah terbatas (APBD menipis di akhir tahun, PAD kecil, infrastruktur rusak berat). Gubernur Aceh terang - terangan tidak akan menghambat bantuan internasional. Mereka berkepentingan pada percepatan bantuan dan rehab rekon, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan rakyat yang menderita. Juga, beberapa di antara mereka melihat keterbukaan bantuan luar sebagai hal positif bagi pembangunan kembali daerah.
2. Legislator dan Politisi Nasional Pro-Kemanusiaan - Misalnya Lasarus (Ketua Komisi V DPR, dari PDIP), atau anggota DPR lain seperti Syafiuddin (PKB). Meskipun beda partai, mereka bersuara senada meminta pemerintah jangan malu menerima uluran tangan asing demi rakyat. Kepentingan mereka dua arah terlihat yang tulus kemanusiaan (karena memang situasi genting) sekaligus sebagian merupakan oposisi politik yang ingin pemerintah responsif agar tidak kehilangan legitimasi. Ini juga selaras dengan fungsi DPR dalam pengawasan mereka menekan eksekutif agar mengutamakan kepentingan rakyat di atas gengsi politik.
3. Tokoh dan Organisasi Masyarakat Sipil - Contoh nyatanya Koalisi Masyarakat Aceh (113 organisasi NGO nasional dan lokal), WALHI, LBH Aceh, Amnesty International, akademisi UGM dsb. Mereka melakukan berbagai aksi seperti demonstrasi di DPRA menuntut pemenuhan hak - hak korban dan penetapan bencana nasional, somasi dan gugatan hukum terhadap pemerintah karena dianggap lalai, hingga kampanye media menyoroti isu ekologi dan HAM. Kepentingan mereka adalah membela hak asasi dan keselamatan warga; dalam hal ini mereka melihat pemerintah pusat lambat dan perlu tekanan. Ada pula dorongan ideologis dalam perspektif memperbaiki tata kelola lingkungan jangka panjang pascabencana (misal WALHI mendesak pencabutan izin perusahaan perusak hutan). Bagi kelompok ini, membuka akses bantuan internasional juga berarti membuka akses akuntabilitas internasional agar isu lingkungan dan HAM mendapat perhatian global dan mendorong perubahan kebijakan pemerintah yang lebih pro-rakyat ke depannya.
4. Warga Korban dan Tokoh Masyarakat Aceh - Termasuk tokoh lokal seperti Rusyidi “Ceulangiek” Mukhtar (Wakil Ketua DPRA), ulama Aceh, dan tentu ribuan warga terdampak yang suaranya tersalurkan lewat aksi bendera putih. Mereka mendesak “negara harus hadir sepenuhnya” tanpa ragu menggandeng siapa pun. Kepentingan paling mendasar kelompok ini adalah bertahan hidup dan segera pulih. Para ulama Aceh, misalnya, kompak meminta Presiden menetapkan bencana nasional dan tidak melihat mudarat dalam bantuan asing demi kemaslahatan umat. Bahkan seruan “Luka Sumatera adalah luka dunia” terdengar dalam aksi massa di Banda Aceh mengisyaratkan bahwa penderitaan mereka adalah tanggung jawab kemanusiaan global.
Dari peta aktor di atas tampak jelas garis pemisahnya, dimana faksi merah didominasi aktor negara di pusat dengan agenda nasionalistis, sedangkan faksi putih dihuni aktor lokal dan sipil dengan agenda humaniter serta dukungan dari beberapa elemen oposisi nasional. Masing-masing membawa bias kepentingan sendiri, yang memengaruhi cara mereka memandang solusi bencana di Aceh.
Implikasi Terhadap Stabilitas Politik dan Keamanan
Perseteruan faksi merah vs putih dalam isu status bencana Aceh ini pada hakikatnya menyangkut definisi stabilitas politik - keamanan yang berbeda. Faksi merah menekankan stabilitas dalam arti kontrol terpusat dan kemandirian negara, sementara faksi putih menekankan stabilitas sebagai pemulihan cepat kondisi sosial-ekonomi rakyat dan terpenuhinya rasa keadilan. Keduanya sama - sama mengatasnamakan “kepentingan nasional”, namun caknaannya berbeda.
Dari sudut pandang tradisional (realis), langkah faksi merah mungkin dimaksudkan menjaga stabilitas rezim dan keamanan nasional jangka pendek. Dengan menolak intervensi asing, mereka berupaya menghindari potensi risiko intelijen, penyusupan, atau pengaruh asing yang tidak diinginkan. Pemerintah juga tampak ingin menghindari preseden internasionalisasi isu domestik belajar dari kasus tsunami 2004, di mana Aceh dibanjiri LSM dan media asing (meski kala itu hasilnya positif bagi perdamaian, ada kekhawatiran soal eksposur konflik separatis dan pelanggaran HAM masa lalu).
Faksi merah barangkali takut, jika sekarang Aceh terlalu banyak sorotan global, isu-isu lama (seperti pelanggaran HAM era konflik, atau tuntutan referendum Aceh) bisa muncul lagi dibawa oleh aktor luar yang “tak suka Indonesia kuat”. Dari segi keamanan dalam negeri, kekhawatiran ini beralasan mengingat Aceh punya sejarah pemberontakan. Maka, bagi kubu merah, mencegah keterlibatan asing adalah bagian dari preventive security untuk memastikan tidak ada momentum bagi gerakan separatis atau campur tangan asing yang mengganggu integritas NKRI.
Namun, pertanyaannya: apakah dengan menutup diri, stabilitas benar-benar terjamin? Tanda-tanda menunjukkan sebaliknya. Resistensi pemerintah pusat justru memicu ketidakpuasan di daerah dan di akar rumput, yang berpotensi menggoyahkan stabilitas politik nasional. Ketika tokoh Aceh sampai mengancam “berdiri sendiri” jika diabaikan, itu alarm serius bahwa pendekatan ala faksi merah bisa blunder. Stabilitas yang dicari malah terancam oleh munculnya rasa grievance (dendam/kecewa) daerah kepada pusat. Rakyat Aceh merasa martabat mereka diabaikan padahal Aceh dikenal kental nasionalismenya pasca damai. Jika dibiarkan, bukan mustahil timbul gejolak politik lokal, protes meluas, atau ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Hal ini justru membahayakan keutuhan nasional dan keamanan jangka panjang. Seorang pengunjuk rasa di Banda Aceh membawa poster bertuliskan “Luka Sumatera luka dunia”, menandakan mereka siap mencari simpati internasional jika pemerintah sendiri cuek. Ini ironi yang menyayat hati ingin dihindari faksi merah (internasionalisasi isu) bisa terjadi secara ad hoc karena rakyat merasa terpaksa “mengadu” ke dunia luar.
Dari perspektif human security (keamanan manusia) yang lebih modern, justru faksi putih lah yang mendorong stabilitas sesungguhnya. Ketika kebutuhan dasar korban terpenuhi cepat dan adil, masyarakat akan lebih tenang dan percaya pada pemerintah. Dengan menerima bantuan internasional misalnya, pemerintah menunjukkan fleksibilitas dan fokus pada penyelamatan nyawa, sehingga meredam kritik. Sebaliknya jika mempertahankan keras kepala menolak bantuan, tiap hari rakyat kelaparan atau sakit di tenda pengungsian akan menggerus legitimasi pemerintah.
Apalagi informasi sekarang cepat menyebar media asing seperti CNA, Reuters, hingga Amnesty telah menyoroti lambannya respons dan aksi bendera putih di Aceh. Image Indonesia di mata global berpotensi negatif sebagai negara yang lebih mementingkan gengsi politik ketimbang empati. Ini bisa berdampak pada hubungan luar negeri jangka panjang, misalnya keengganan investor atau donatur di masa depan karena melihat pemerintah “mengabaikan krisis kemanusiaan”.
Di sisi lain, membuka diri terhadap bantuan global dapat membawa manfaat strategis pula. Misalnya, bantuan militer asing (seperti kapal angkatan laut asing membawa logistik) dapat menjadi ajang diplomasi militer dan tukar pengalaman. Bantuan pembangunan dari negara sahabat bisa mempererat hubungan bilateral. Bagi Indonesia sendiri, biaya pemulihan Rp68 triliun tentu berat ditanggung APBN sendiri; bantuan luar bisa meringankan beban fiskal. Jadi secara ekonomi keamanan, kolaborasi global justru menguntungkan dan menstabilkan kondisi makro pascabencana.
Hal penting lain adalah akuntabilitas dan pembenahan tata kelola. Faksi merah cenderung ingin menutup rapat masalah, tapi itu berbahaya karena akar masalah (kerusakan lingkungan) bisa terulang jika tidak dibenahi. Faksi putih yang terbuka justru memungkinkan spotlight internasional membantu penekanan reformasi. Contohnya, setelah tekanan publik dan media, Presiden Prabowo akhirnya menyatakan akan menertibkan pembalakan liar pascabencana Sumatra.
Walau mungkin terlambat, ini indikasi positif bahwa sorotan luas bisa memaksa pemerintah mengambil langkah yang mendukung keamanan ekologis jangka panjang (demi mencegah bencana ulang). Stabilitas politik tidak bisa langgeng jika tiap tahun bencana ekologis menghantam rakyat akibat eksploitasi tak terkendali. Dalam hal ini, faksi putih sejajar dengan kepentingan nasional jangka panjang: menyelamatkan lingkungan dan nyawa sebagai prasyarat stabilitas.
Secara teori politik, konflik faksi merah-putih ini mencerminkan tensi klasik antara prinsip realisme vs liberalisme. Realisme (diwakili merah) menekankan kemandirian negara, kecurigaan terhadap intervensi, dan keamanan negara sebagai prioritas absolut. Liberalisme (putih) menekankan interdependence dan nilai-nilai universal, dengan asumsi kerja sama internasional justru meningkatkan keamanan bersama. Kasus Aceh 2025 menunjukkan batas realisme tergambarkan secara fakta di era globalisasi, krisis kemanusiaan sukar disembunyikan dari sorotan dunia, dan menolak kerja sama bisa berbalik merugikan stabilitas itu sendiri. Teori disaster diplomacy menyebutkan bahwa bencana dapat menjadi ajang mempererat hubungan antarnegara melalui bantuan, atau sebaliknya memperburuk citra jika ditangani buruk. Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki modal sosial global tinggi (dunia teringat solidaritas saat tsunami 2004), sehingga menghalangi bantuan justru aneh dan kontra-produktif.
Pada akhirnya, pertarungan kedua faksi ini perlu disikapi dengan kepala dingin dan objektivitas. Rasionalitas menuntut suatu titik temu yakni menjaga kedaulatan penting, namun kedaulatan sejati tidak akan tercederai oleh uluran tangan kemanusiaan. Justru, kedaulatan mendapat makna ketika negara mampu melindungi rakyatnya dengan segala cara yang diperlukan. Sebagaimana pasal 28A UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, negara wajib melakukan apapun demi hak hidup itu termasuk bila perlu menerima bantuan internasional yang tulus. Selama bantuan asing datang atas permintaan kita dan dalam koordinasi pemerintah, tidak ada kedaulatan yang hilang. Indonesia pun sering memberi bantuan ke negara lain saat mereka dilanda musibah; menerima bantuan balik saat perlu adalah hal lumrah dalam pergaulan dunia.
Kesimpulan: Mencari Jalan Tengah yang Objektif
Berdasarkan analisis di atas, tampak bahwa kedua faksi memiliki argumen berlandaskan kepentingan nasional, namun dengan penekanan berbeda. Faksi merah lebih condong pada kepentingan politik jangka pendek dan prinsip kedaulatan nasional: mereka khawatir instabilitas internal dan campur tangan asing jika status bencana nasional dibuka. Sementara faksi putih menitikberatkan kepentingan nasional dari sisi kemanusiaan dan pemulihan menyeluruh: mereka melihat keterlibatan penuh (termasuk asing) sebagai kunci percepatan normalisasi kehidupan rakyat, yang pada gilirannya menjamin stabilitas sosial.
Secara obyektif, kepentingan nasional Indonesia idealnya mencakup kedua aspek tersebut secara berimbang. Artinya, pemerintah harus memastikan keamanan dan kedaulatan, tetapi sekaligus tidak mengorbankan keselamatan warga dan hubungan baik dengan komunitas global. Sikap tegas menolak bantuan asing demi gengsi semata terbukti menimbulkan reaksi negatif publik dan risiko instabilitas di Aceh. Di sisi lain, menerima bantuan luar pun bukan tanpa tantangan perlu koordinasi ketat agar sejalan dengan prioritas nasional dan tidak disertai agenda tersembunyi. Namun, hal itu dapat diatasi dengan mekanisme kerjasama yang transparan.
Pertimbangan rasional dan logis mengarah pada solusi win - win: Misalnya, pemerintah pusat bisa menetapkan bencana nasional terbatas dengan syarat - syarat tertentu. Semua sumber daya nasional dikerahkan (sebagaimana sudah dilakukan), dan bantuan asing difokuskan pada area yang betul-betul membutuhkan (seperti transportasi udara, pasokan medis, dll) sesuai gap yang ada.
Dengan demikian, pemerintah tetap memegang kendali (stabilitas terjaga), tetapi rakyat pun merasakan kehadiran bantuan nyata dari manapun sumbernya. Pendekatan kolaboratif ini akan meredakan kemarahan lokal rakyat Aceh merasa didengar sekaligus memperbaiki citra pemerintah di mata dunia sebagai responsif dan tidak egois. Toh, sebagaimana dikatakan seorang anggota DPR, “untuk kebaikan rakyat yang menderita, kenapa kita harus malu?”.
Pada akhirnya, stabilitas politik dan keamanan Indonesia pascabencana Aceh akan sangat ditentukan oleh kepekaan pemerintah membaca situasi. Apakah ancaman terbesar datang dari asing, atau justru dari dalam (penderitaan rakyat sendiri)? Fakta - fakta menunjukkan ancaman instabilitas lebih nyata dari dalam negeri jika penanganan dianggap gagal.
Oleh karena itu, kepentingan nasional akan lebih terlindungi bila pemerintah mengakomodasi tuntutan faksi putih secukupnya, tanpa sepenuhnya meninggalkan kehati-hatian faksi merah. Langkah konkret seperti deklarasi bencana nasional dengan pengawasan ketat, menerima bantuan beberapa negara sahabat untuk sektor vital, sambil mempercepat reformasi lingkungan, dapat menjawab kebutuhan mendesak sekaligus menjaga marwah negara.
Sebagai penutup, tragedi banjir bandang Aceh 2025 ini memberikan pelajaran penting, bahwa stabilitas politik bukan semata soal menunjukkan kekuatan dan kemandirian, tapi juga soal merawat kepercayaan rakyat dan komunitas global. Ketika pemerintah sigap melindungi rakyatnya dengan segala cara di situlah kedaulatan dan keamanan nasional justru makin kokoh. Sebaliknya, jika rakyat merasa diabaikan, maka ancaman terhadap keutuhan bangsa bisa muncul dari ketidakpuasan internal. ‘
Dalam konteks Aceh, publik bisa memahami sensitivitas politik nasional, tetapi mereka juga berharap pemerintah memahami kepedihan lokal. Jalan tengah yang objektif dan humanis perlu ditempuh, agar baik faksi merah maupun putih dapat bersatu pada tujuan akhir satu visi yakni memulihkan Aceh dari bencana dengan cepat, adil, dan bermartabat, demi Indonesia yang lebih aman dan berkeadilan di mata nasional maupun global.
Penulis: Aryos Nivada, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Lingkar Sindikasi Grub
