Baju Baru Tidak Lagi Diburu Akibat Pandemi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Bagi sebagian orang, lebaran dan baju baru itu sejoli yang tak bisa dipisahkan. Seperti sayur dengan garam, atau kumbang dengan kembang.
Seperti sudah jadi tradisi, menjelang lebaran toko-toko pakaian diburu pembeli. Tukang jahit pada pabrik-pabrik konveksi terpaksa kerja lembur, siang malam, berkejaran dengan pesanan yang datang bergelombang.
Pada hari-hari itu, Pasar Tanah Abang, salah satu pusat perbelanjaan pakaian di Jakarta, selalu penuh sesak. Jalanan macet bukan kepalang. Arus orang belanja, berkelindan dengan gerobak penjual minuman, atau kuli pikul yang hilir mudik mendorong trolly berisi bal-bal pakaian.
Truk-truk besar mengantre di pinggir jalan, siap membawa kiriman pakaian hingga ke ujung timur Pulau Jawa, bahkan sampai ke ujung barat Sumatera.
Gairah yang meletup di Tanah Abang itu juga tampak nyata dalam monitoring Google Trend yang merekam pencarian melalui internet. Indeks Google Trend mencatat, setidaknya dalam lima tahun terakhir, pencarian pakaian lebaran (dalam bentuk kaftan, baju koko, mukena, dan sarung) selalu melonjak di bulan Ramadan.
Hingga 2019, sarung dan mukena tampak paling banyak diburu, dengan indeks hampir mendekati puncak 100. Tahun lalu, 2020, pencarian pakaian tampak mulai mengendur. Di antara keempat barang itu, hanya sarung yang masih dicari meski pandemi mulai mengimpit.
Dan tahun ini, pencarian pakaian baru tampak terus melemah. Sarung yang biasanya selalu menjadi favorit tanpa kenal resesi, kini hanya mencapai indeks Google Trend di bawah 70. Mukena tak sampai 40 dan yang lain malah tak sampai 20.
“Di tengah pandemi, kemewahan ekonomi lebaran itu tentu surut. Keinginan beli baju terpaksa ditunda. Pasalnya, penghasilan masyarakat masih anjlok sehingga daya beli masih terbatas,” ujar Ekonom Institut Development for Economic Finance (INDEF), Enny Sri Hartati.[Lokadata.id]