Banyak Caleg Napi Koruptor, ICW: KPU Berpihak pada Koruptor
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Temuan banyaknya narapidana koruptor yang mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif Pemilu 2024 membuat prihatin. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) lebih berpihak kepada koruptor.
ICW pun mempersoalkan PKPU 10/2023 dan 11/2023 yang dikeluarkan KPU pada April 2023. Regulasi yang mengatur syarat pencalonan anggota legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) dinilai telah bertentangan dengan Putusan MK terkait larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilu.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebut bahwa dalam 2 aturan terbaru KPU ternyata ada penyelundupan pasal yang berpihak pada koruptor.
Dalam Putusan MK, secara tegas terpidana korupsi harus melewati jeda waktu 5 tahun sebelum kembali mencalonkan diri. Namun, hal itu ditabrak oleh PKPU yang memberi pengecualian bagi koruptor yang mendapat hukuman tambahan pencabutan hak politik.
"PKPU yang dihasilkan oleh KPU berpihak pada koruptor. Karena justru memberi kesempatan, karpet merah kepada pelaku korupsi. Silakan gunakan hukuman tambahan pencabutan hak politik kemudian anda bisa langsung mendaftarkan diri sebagai caleg," ucapnya, Senin (22/5/2023).
Secara sederhana, dia mensimulasikan aturan tersebut. Jika seorang terpidana korupsi selesai menjalani masa pemenjaraan pada tanggal 1 Januari 2020, lalu dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama dua tahun, maka berdasarkan putusan MK ia baru bisa mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD, atau DPD pada tanggal 1 Januari 2025.
"Namun berbeda dengan PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023, mantan narapidana tersebut dapat mencalonkan diri pada tanggal 1 Januari 2022 atau setelah melewati pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama dua tahun, tanpa harus menunggu tiga tahun lagi," jelas Kurnia.
Aturan tersebut menunjukkan bahwa KPU sedang berusaha merusak nilai integritas pemilu. Pasalnya, MK sudah berusaha semaksimal mungkin memberi jedah waktu 5 tahun tapi ditabrak semena-mena oleh KPU sendiri.
Apalagi, dari perhitungan ICW, sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 55 terdakwa yang berasal dari klaster politik. Dari jumlah tersebut hanya 31 orang yang mendapat pencabutan hak politik.
"Ternyata rata-rata hukuman pencabutan hak politik hanya 3,5 tahun. Jadi semakin enak ke depan pelaku korupsi ketika dijatuhkan pidana pencabutan hak politik hanya 3 tahun tidak usah menunggu 2 tahun lagi," sambungnya.
Kurnia juga menilai bahwa KPU sedang berupaya melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan caleg yang berintegritas. Oleh karena itu penyelundupan pasal ini harus dibongkar, siapa yang mencantumkan pasal ini, apa argumentasinya harus dibuka.