DIALEKSIS.COM | Aceh - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Aceh mengonfirmasi sembilan produk pangan olahan di wilayah ibu kota provinsi terdeteksi mengandung unsur babi (porcine), termasuk beberapa yang telah bersertifikat halal. Temuan ini memantik reaksi keras dari Yayasan Perlindungan Konsumen Aceh (YaPKA), yang mendesak pemerintah menindak tegas produsen dan penampung produk tersebut.
Menurut Ketua Tim Komunikasi, Informasi, dan Edukasi BBPOM Aceh, Desi Ariyanti Ningsih, pihaknya telah menindaklanjuti instruksi BPOM RI dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) melalui Siaran Pers Nomor 242/KB.HALAL/HM.1/04/2025 tertanggal 21 April 2025.
“Terdapat sembilan produk positif mengandung DNA dan/atau peptida spesifik babi. Tujuh di antaranya memiliki sertifikat halal, sementara dua lainnya tidak bersertifikat namun mengklaim bebas unsur haram,” jelas Desi dalam konferensi pers di Banda Aceh, Jumat (25/4/2025).
Ia menegaskan, produsen dengan sertifikat halal akan dikenai sanksi administrasi dan wajib menarik produk dari pasar. Adapun dua produsen tanpa sertifikat dijerat sanksi karena melakukan pelanggaran registrasi dengan menyembunyikan informasi kandungan babi.
Merespons temuan ini,Ketua YaPKA, Fahmiwati SE, M.Si, menyatakan kekecewaannya atas insiden berulangnya produk haram beredar di Aceh.
“Ini pelanggaran serius terhadap UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Qanun Aceh No. 8 Tahun 2016. Keberadaan produk haram di Aceh seharusnya zero tolerance,” tegas Fahmiwati saat dihubungi Dialeksis.
YaPKA mengajukan enam tuntutan konkret kepada pemerintah dan otoritas terkait:
Temuan ini kembali memantik keresahan di tengah masyarakat Aceh yang menganggap jaminan halal sebagai hak fundamental. “Bagaimana mungkin produk bersertifikat halal justru mengandung babi? Ini membuktikan sistem pengawasan kita masih rapuh,” ujar Irmaya Wahyuni, salah seorang warga Lamdingin Banda Aceh.
Fahmiwati menekankan, pelaku usaha yang mengelabui sertifikasi halal harus dijerat sanksi maksimal, termasuk pidana. “Sertifikat halal bukan sekadar label, tapi amanah. Jika ada yang bermain-main, hukum harus ditegakkan tanpa kompromi,” tegasnya.
BBPOM Aceh mengaku akan memperkuat koordinasi dengan BPJPH, Kementerian Agama, dan Dinas Perindustrian setempat untuk mengawal penarikan produk serta audit ulang sertifikasi halal. Namun, YaPKA mendesak langkah ini tidak berhenti di tingkat teknis, melainkan diikuti dengan pertanggungjawaban hukum yang transparan.
"Sebagai provinsi dengan penerapan syariat Islam, Aceh diharapkan menjadi contoh dalam penegakan jaminan produk halal. Sayangnya, kasus ini justru menggoreskan catatan kelam dalam sistem pengawasan yang semestinya menjadi benteng terakhir konsumen," tandas Fahmiwati.