DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Harvard University kembali menjadi sorotan dunia akademik atas keteguhannya mempertahankan prinsip kebebasan akademik, meski dihadapkan pada tekanan politik dari mantan Presiden AS Donald Trump. Komitmen ini diapresiasi oleh Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, yang menilai Harvard sebagai contoh ideal kampus yang "tidak ciut oleh kekuasaan".
Dalam pernyataannya kepada Dialeksis, Fasya menekankan bahwa Harvard konsisten menyuarakan kritik, termasuk dalam isu kemanusiaan di Gaza. "Ketika krisis Gaza memuncak, Harvard tidak diam. Mereka menyerang kebijakan Israel secara tajam, meski berisiko kehilangan dukungan politik," ujarnya.
Hal ini selaras dengan laporan Wikipedia tentang konflik Gaza - Israel yang telah menewaskan lebih dari 53.000 warga Palestina sejak 2023.
Harvard juga menolak tunduk pada tekanan Trump yang mencabut izin mahasiswa internasional pada 2025. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk "retaliasi" akibat penolakan Harvard mematuhi agenda politik pemerintahan Trump, termasuk permintaan audit ideologi dosen dan mahasiswa. Meski 27% populasi mahasiswanya terancam, Harvard menggugat pemerintah melalui pengadilan federal dan menang sebuah langkah yang oleh Fasya disebut sebagai "bukti keteguhan intelektual".
Fasya juga menyoroti peran Noam Chomsky, profesor MIT dan kritikus Zionisme keturunan Yahudi, sebagai contoh akademisi yang berani "melawan arus". Chomsky dikenal sebagai pengkritik kebijakan luar negeri AS dan Israel, bahkan menyebut blokade Gaza sebagai "kampanye pemusnahan" yang lebih kejam daripada apartheid Afrika Selatan. Meski sering di"blacklist" media arus utama AS, Chomsky tetap vokal sebuah sikap yang dianggap Fasya sebagai cerminan budaya akademik Harvard.
Dalam komparasi tajam, Fasya mengkritik lemahnya suara kampus Indonesia, khususnya PTN, dalam menyikapi isu sensitif. "Kampus di Indonesia lebih memilih menjadi 'abdi dalem' kekuasaan. Mereka limbung oleh kritik dan takut kehilangan legitimasi," tegasnya.
Padahal, menurutnya, universitas harus menjadi garda terdepan dalam mengadvokasi kebenaran, sebagaimana Harvard yang "tidak besar kepala oleh pujian".
Konflik Harvard - Trump bukan sekadar perseteruan politik, tetapi ujian bagi masa depan pendidikan tinggi global. Pembekuan dana federal senilai $2,65 miliar dan ancaman pencabutan status nirlaba Harvard oleh Trump menjadi tantangan finansial serius. Namun, seperti dikatakan Presiden Harvard Alan Garber: "Kami akan terus membela hak akademik, karena itu jantung dari misi kami".
Fasya menutup dengan pesan bagi akademisi Indonesia,"Kampus harus menjadi mercusuar, bukan pengikut. Lihatlah Harvard mereka teguh karena kebenaran lebih berharga daripada kekuasaan,” tandasnya.