DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Annas Maulana mempertanyakan penundaan publikasi data kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Ia mempertanyakan kredibilitas lembaga statistik negara itu. Menurutnya, langkah penundaan yang dilakukan BPS bukan hanya mengganggu kepercayaan publik, tapi juga berpotensi berdampak serius terhadap proses pengambilan kebijakan nasional.
“Penundaan publikasi data terbaru oleh BPS bukan hanya baru kali ini terjadi, tetapi sudah beberapa kali. Hal seperti ini menimbulkan pertanyaan, apakah BPS sudah tidak kompeten lagi atau memang benar data yang disajikan oleh BPS bisa ‘dipesan’?” ujar Annas kepada wartawan dialeksis.com, Minggu, 20 Juli 2025.
Sebelumnya, BPS menyampaikan secara resmi penundaan rilis data kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk yang seharusnya dijadwalkan pada 15 Juli 2025. Kepala BPS, Amalia Adininggar menyatakan bahwa penundaan dilakukan untuk memastikan kualitas dan keakuratan data yang akan disampaikan.
“Kami ingin memastikan kualitas dan keakuratan data. Jadi tidak ada alasan lain. Kami tidak pernah mendapatkan pesanan (data), kami ingin terus mengedepankan kualitas,” tegas Amalia dalam pernyataan resminya di Jakarta, Kamis (17/7).
Anas mengatakan bahwa penjelasan tersebut belum cukup menenangkan keresahan publik. Ia menilai bahwa transparansi BPS perlu ditingkatkan, terutama karena lembaga tersebut memegang peran sentral dalam penyediaan data statistik yang digunakan untuk perumusan kebijakan pemerintah.
“Banyak pihak yang bergantung pada data BPS. Semoga tidak ada upaya untuk memanipulasi data yang sebenarnya. Jika memang masih jauh dari kata sejahtera, paparkan saja seadanya, agar para pengambil kebijakan dapat melihat dan menyelesaikannya,” tambahnya.
Menurut Annas, penundaan data bisa menimbulkan dampak luas, terutama bagi instansi pemerintahan, lembaga riset, maupun pelaku ekonomi yang bergantung pada data resmi untuk mengambil langkah strategis. Ketidakhadiran data akurat di waktu yang tepat bisa berujung pada kebijakan yang tidak tepat sasaran.
“Ketika data ditunda tanpa alasan teknis yang meyakinkan, maka keraguan masyarakat akan berubah menjadi keyakinan bahwa ada yang sedang disembunyikan,” ujarnya.
Meski mengakui bahwa penyusunan data statistik adalah proses teknis yang kompleks dan membutuhkan kehati-hatian, Annas tetap mendesak agar BPS menyampaikan alasan penundaan secara lebih terbuka. Ia juga mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap pola kerja BPS.
“Saya berharap tidak ada permainan data, dan BPS sudah bisa mengevaluasi diri mengingat ini bukan kali pertama BPS menunda publikasi data,” tutupnya.