DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Semarak lomba lari FKIJK Aceh Run 2025 yang digelar di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, pada 11 Mei 2025, ternyata menyisakan polemik terkait kepatuhan nilai syariat Islam.
Acara yang dihelat Forum Komunikasi Institusi Jasa Keuangan (FKIJK) Aceh bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh ini sukses menarik ratusan peserta untuk menempuh rute 5 km dan 10 km.
Meski demikian, sorotan justru mengarah pada pakaian sejumlah pelari yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan syariah.
Dengan rute yang melewati objek wisata alam, situs sejarah tsunami, dan garis pantai memukau, panitia penyelenggara yang diamanahkan kepada FT Runner Consultant berharap acara ini bisa menjadi ajang mempromosikan potensi Aceh.
Namun, antusiasme peserta justru dikritik oleh sejumlah kalangan karena banyak pelari khususnya pria yang mengenakan celana pendek di atas lutut, dianggap melanggar ketentuan menutup aurat sesuai syariat Islam.
Tgk. H. Umar Rafsanjani, Lc., M.A., pimpinan Dayah Mini Banda Aceh, menyatakan kekecewaannya melalui keterangan resmi kepada Dialeksis.
“Aceh sebagai daerah yang menjunjung syariat Islam seharusnya menjadi contoh dalam menjaga adab berpakaian, bahkan di ruang publik sekalipun. Melihat peserta yang tidak menutup aurat dalam acara semacam ini sangat disayangkan,” tegasnya.
Rafsanjani menegaskan, pemerintah dan panitia penyelenggara harus lebih tegas merancang aturan berpakaian untuk acara publik.
“Ini bukan sekadar urusan budaya, tapi tanggung jawab menjaga marwah syariat. Pemimpin punya otoritas untuk menegakkan aturan ini. Jangan sampai saat kampanye berkoar tentang komitmen syariat, tapi di lapangan malah diam melihat pelanggaran,” ujarnya dengan nada prihatin.
Ia juga mengingatkan bahwa Aceh, yang dijuluki Serambi Mekkah, memiliki kewajiban moral untuk memastikan setiap aktivitas masyarakat selaras dengan nilai Islam.
“Apakah kita takut dikritik? Justru ketegasan inilah yang dijanjikan pemimpin saat mereka meminta dukungan rakyat,” tambahnya.
Kritik dari Tgk. Umar Rafsanjani ini memantik diskusi publik tentang pentingnya kolaborasi antara event olahraga dan norma agama. Masyarakat berharap ke depan, acara serupa bisa lebih memperhatikan aspek syariat tanpa mengurangi semangat inklusivitas olahraga.
“Kami tidak anti-kemajuan, tapi jangan sampai melupakan identitas Aceh sebagai daerah syariat,” pungkas Rafsanjani.
Sebagai penutup, ia berpesan agar kesadaran masyarakat dan ketegasan pemerintah harus berjalan beriringan. “Mari jadikan Aceh contoh bahwa olahraga dan syariat bisa bersinergi, bukan bertentangan,” tandasnya Ketua Komisi C bidang dakwah dan penyiaran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh.