Maraknya Sengketa Lahan, Ahli Agraria: BPN Harus Perjelas Status Tanah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Belum tuntas pengusutan insiden kasus kerumunan di Petamburan, nama Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab kembali menjadi sorotan.
Kali ini terkait lahan Pondok Pesantren (Ponpes) Alam Agrokultural Markaz Syariah di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII melayangkan surat somasi kepada Pesantren itu untuk dikosongkan, karena telah memakai lahan Hak Guna-Usaha (HGU) milik PTPN untuk pembangunan Pesantren tanpa izin dan persetujuan perusahaan BUMN itu.
Dalam surat itu dijelaskan bahwa lahan yang dibangun Pesantren oleh Habib Rizieq Shihan di Megamendung itu merupakan aset milik PTPN VIII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.
"Tindakan saudara tersebut merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tak bergerak, larangan pemakaian tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau pemindahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu Nomor 51 Tahun 1960 dan pasal 480 KUHP," tulis isi surat tersebut.
Adapun dari pihak Ponpes itu, Habib Rizieq mengakui pendirian Ponpes Markaz Syariah itu di atas lahan PTPN VIII, namun ia berdalih pada Undang-Undang Agraria yaitu UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Kata Habib Rizieq, sertifikat HGU tidak bisa diperpanjang atau akan dibatalkan jika lahan itu ditelantarkan oleh pemilik HGU atau pemilik HGU tidak menguasai secara fisik lahan tersebut. Ia menilai PTPN VIII selama 30 tahun lebih sudah menelantarkan lahan tersebut.
"Maka dari itu seharusnya HGU tersebut batal. Jika sudah batal maka HGU-nya menjadi milik masyarakat," ujar Habib Rizieq.
Dalam UU Agraria, tim Dialeksis.com telah membedah dan menelaah isinya, dan benar saja dalam pasal 34 UU Agraria disebutkan Hak Guna-Usaha (HGU) akan terhapus jika tanah HGU itu diterlantarkan. Namun, sampai saat ini, kalimat "diterlantarkan" masih bias makna karena dalam UU tersebut tidak dijelaskan secara rinci kriteria dari penelantaran lahan.
Tim Dialeksis.com kemudian menghubungi salah satu peneliti dan ahli agraria sekaligus Direktur Sekolah Riset SATUKATA, Dr Amin Tohari untuk dimintai keterangan terkait kriteria penelantaran lahan.
Amin Tohari mengatakan bahwa perkara ini merupakan polemik yang sangat rumit, apalagi kriteria makna "ditelantarkan" dalam setiap Undang-Undang itu berbeda.
"Saya tidak bisa mengabarkan persoalan sifat terlantar itu A, B, C, D dan G. Tapi memang ada ketentuan-ketentuan seperti itu dalam peraturan yang lain. Karena, dalam Undang-Undang Perkebunan (UU 39 Tahun 2014) ada namanya klausul (ayat) yang dimaksud dengan sifat terlantar itu bagaimana," jelas Tohari kepada Dialeksis.com, Kamis (24/12/2020).
Ia berujar, sengketa lahan itu sebenarnya tidak hanya terjadi di Megamendung saja tetapi terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Menurutnya, sengketa yang terjadi antara PTPN VIII dan Ponpes Markaz Syariah itu adalah perang klaim hak tanah antara masyarakat dan perusahaan.
Amin Tohari menyampaikan pandangannya terhadap penelantaran lahan HGU. Menurutnya lahan HGU bisa dikatakan terlantar jika sebuah perusahaan tidak menggarap fisik lahan tersebut sekitar 3-5 tahun.
Namun, pihak perusahaan punya argumen bahwa tanah itu tidak benar-benar diterlantarkan. Pertama, perusahaan punya alasan bahwa tanah itu sedang dibiarkan supaya subur.
Kedua, perusahaan itu bisa beralasan bahwa tanah itu belum sempat digarap karena mereka sedang menggarap tanah yang lain.
"Misalnya, ada hamparan tanah sekian ribu hektar. Nah, perusahaan ini cara ngurus tanahnya itu satu-satu. Jadi tidak langsung semuanya sekedar ditanamin atau segera dimanfaatkan, biasanya di area tertentu dulu, baru kemudian diperlebar lagi ke yang area lain," jelas Tohari.
Kemudian, Tohari menyampaikan, pada umumnya problematika sengketa lahan itu bisa terjadi saat masa jeda tidak ada pengurusan penggarapan tanah oleh pihak perusahaan.
Karena, masyarakat sekitar memanfaatkan lahan kosong untuk sementara waktu, misalnya berkebun atau dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Kemudian, karena jeda waktu yang begitu lama akhirnya masyarakat memanfaatkan lahan kosong itu secara maksimal dan mengklaim lahan itu sebagai lahan pribadi.
"Letak persoalannya ada disitu. Kalau persoalannya seperti ini, biasanya mereka akan dibawa ke ranah hukum. Nanti di pengadilan itu tinggal kuat-kuatan klaimnya, mana yang benar dan mana yang salah," kata Tohari.
Di sisi lain, pihak masyarakat harus mampu menjelaskan kepada perusahaan di pengadilan bahwa yang mereka lakukan itu bukan penyerobotan lahan.
"Akan jadi agak repot kalau mereka di bawa ke kasus penyerobotan tanah," tambahnya.
Dalam ketentuan Perundang-undangan, ketika sebuah tanah ini diterlantarkan, perusahaan diwajibkan untuk melaporkan itu atau memperbaharui kontraknya.
Jadi, Amin Tohari menyimpulkan bahwa kasus persengkataan tanah antara Pesantren Habib Rizieq dan Perusahaan PT Perkebunan Nusantara VIII merupakan kejadian umum dan lumrah terjadi.
Ia mengamati bahwa persengketaan lahan itu terjadi karena lemahnya Birokrasi Keagrariaan untuk mengadministrasi tanah di seluruh wilayah Indonesia. Menurutnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus bisa menjelaskan status-status tanah yang ada di Indonesia.
"Sejauh ini, Birokrasi Agraria kita ini tidak punya dokumentasi satu peta satu data. Jika ada, bisa dilihat status tanah ini begini atau status tanah itu begitu," jelasnya.
Ahli agraria itu mengatakan, sejarah panjang pengadilan persengketaan tanah di Indonesia, biasanya selalu dimenangkan oleh pihak perusahaan.
"Jika melihat kasus-kasus di Sumatera yang banyak menang tentunya perusahaan. Karena mereka punya kekuatan hukum, punya uang, mereka punya dokumentasi izin pembukaan lahan dan lain-lain," ujarnya.
Maka, dalam persengketaan kasus Habib Rizieq dan PTPN itu, Amin Tohari berharap ada kontribusi dari pihak Birokrasi Agraria untuk memperjelas status tanah tempat berdirinya Pesantren Markaz Syariah.
Ia juga mengimbau BPN untuk memberitahukan di mana status-status aset tanah milik negara di wilayah Indonesia, karena saat ini masyarakat tidak tahu dengan perbatasan aset tanah milik negara itu dimana saja akibat luasnya aset tanah milik negara.
Kemudian, ia mengatakan, di beberapa lokasi, seseorang bisa mengklaim tanah garapan perusahaan atau aset milik negara menjadi lahan pribadi dengan tiga syarat.
Pertama, masyarakat bisa mengklaim tanah itu karena dulu tanah itu pernah dikerjakan oleh orang tua mereka.
Kedua, sejarah jaman dulu ada tanah yang pernah diserobot oleh pihak BPN. Tapi mereka harus membuktikannya dengan dokumen bukti sejarah.
Ketiga, masyarakat bisa memanfaatkan reformal kebijakan agraria dari pemerintah untuk memberikan distribusi tanah kepada orang sekitar.
Amin Tohari berpesan kepada BPN untuk memperjelas status-status tanah di wilayah Indonesia, sehingga diharapkan meminimalisir terjadinya persengketaan tanah.