Parpol Lolos Parliamentary Threshold Tak Perlu Verifikasi Faktual
Font: Ukuran: - +
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pembacaan putusan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara daring, Selasa (04/05) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dalam Sidang Pengucapan Putusan MK, Selasa (4/5/2021). Perkara ini dimohonkan oleh Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana (Ketua Umum DPP Partai Garuda) dan Abdullah Mansuri (Sekretaris Jenderal DPP Partai Garuda). Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Pemohon, penerapan verifikasi ulang terhadap Partai Politik yang telah mengikuti Pemilu adalah bertentangan dengan asas legalitas dan mencederai kepastian hukum yang adil.
“Menyatakan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru,” ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan Amar Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020.
Lebih jelas Hakim Konstitusi Aswanto dalam pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu merupakan bagian yang penting dan strategis. Karena partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat dalam menyalurkan aspirasi. Akan tetapi, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta karena hanya yang memenuhi syarat saja yang dapat menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi beberapa persyaratan yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu harus merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional, kecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh.
“Oleh karena itu, struktur kepengurusan partai politik harus berada di seluruh provinsi, memiliki kepengurusan pada 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya,” sampai Aswanto dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Tidak Adil
Aswanto melanjutkan, setelah menjadi peserta pada Pemilu 2019, terdapat beberapa varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik. Pertama bagi partai politik yang lolos parliamentary threshold (PT) dapat saja memiliki wakil di DPR. Kedua, ada partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold dan tidak memiliki wakil di DPR namun dapat memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Ketiga, ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakil, baik di tingkat DPR maupun DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu ini, Mahkamah melihat bahwa dalam perspektif keadilan hal ini tidak dapat dikatakan adil. Sebab, adil berarti memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda.
“Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual,” terang Aswanto.
Adapun partai politik yang tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, tetap harus melalui verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual yang berlaku sama terhadap partai politik baru. “Dengan demikian, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Aswanto dalam sidang yang dihadiri para pihak secara virtual dari kediaman masing-masing. Sembilan hakim konstitusi tidak bulat dalam pengambilan putusan ini. Tiga hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Sebagai informasi, Pemohon mendalilkan penerapan verifikasi ulang terhadap partai politik yang telah mengikuti pemilu adalah bertentangan dengan asas legalitas dan menciderai kepastian hukum yang adil dan hak kemudahan serta perlakuan khusus guna memperoleh kesempatan dan manfaat dari hasil verifikasi yang telah dilakukan sebelumnya. Sejatinya, Pemohon telah mengikuti pemilu dengan memenuhi semua persyaratan sebagaimana dalam Pasal 173 Ayat (2) UUD 1945. Persyaratan untuk menjadi peserta pemilu telah dilakukan oleh Pemohon dengan mengeluarkan biaya yang besar serta proses yang panjang dan melelahkan.
Menurut Pemohon, adanya verifikasi pada tiap penyelenggaraan pemilu bertentangan dengan kebiasaan administratif yang diterapkan di Indonesia. Selain itu, standar politik hukum dalam wacana penyederhanaan partai politik melalui verifikasi ulang sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945 dan berseberangan dengan pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pemilu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Partai Garuda dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya.”(RLS)
- Tim Rimueng Polresta Banda Aceh Ringkus Penjarah Rumah Kosong Saat Bulan Puasa
- Ditreskrimum Polda Aceh Digugat Praperadilan, Nourman: Kami Ingin Tegakkan Keadilan
- Terkait Dugaan Korupsi PT PLN UIP Medan, Karyawan Kantor Pusat Diperiksa Kejagung
- Setelah 2,5 Tahun, Nelayan Asal Idi yang Ditangkap di Myanmar Bebas