Penetapan PJ Kepala Daerah Dalam Transisi Kepemiluan di Indonesia
Font: Ukuran: - +
Aryos Nivada. [Foto: Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jika merujuk fakta yang tersaji, paska ditiadakan pelaksanaan Pilkada serentak 2022 dan 2023, akan ada 272 daerah dari 548 daerah akan dipimpin oleh Pj Kepala Daerah. Masa jabatan Pj Kepala Daerah cukup lama.
Bila pada Pilkada 2020 petahana harus cuti selama 71 hari. Kini, kekosongan pemimpin lokal definitif cukup lama. Tergantung masa akhir jabatannya. Bahkan ada bisa mencapai sekitar 20 bulan. Selain itu, jumlah Pj Kepala Daerah yang harus diangkat Kemendagri cukup banyak.
Pernyataan itu disampaikan oleh Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala (USK), Aryos Nivada kepada Dialeksis.com, Senin (18/10/2021).
Hal ini mengingat di Pilkada 2022 diikuti 101 daerah yakni 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Sementara Pilkada 2023 diikuti 171 daerah ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115. Ini artinya, untuk Pj Gubernur, Pemerintah Pusat harus menyiapkan 24 orang dan ratusan lainnya untuk Pj Walikota dan Pj Bupati.
Mencermati hal itu, Aryos Nivada yang merupakan Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif menarik untuk menelaah secara kerangka hukum, ditinjau kriteria, konsep model penetapan PJ kepala daerah, pertimbangan penetapan di daerah hostpot konflik/daerah paska konflik, maupun memahami irisan kepentingannya.
Semua itu akan diulas secara mendalam dalam prespektif politik rational berbasis analisis, sehingga menawarkan hal baru dalam isi tulisan ini.
Dasar Hukum PJ Kepala Daerah
Dilihat pada keberadaan Pasal 1 angka 115 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, antara lain ditentukan bahwa Pasal 201 ayat (8) dan ayat (9) berubah menjadi berbunyi:
Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/walikota, diangkat penjabat Bupati/walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Alternatif lainnya selain kalangan PNS, ternyata TNI dan Polri dapat menduduki jabatan PJ kepala daerah sebagaimana ketentuan dalam pasal 20 ayat (2) UU ASN : “Jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia”
Sesuai dengan penjelasan Undang- undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dimaksud dengan Pimpinan Tinggi Madya meliputi: “Sekertaris Jenderal Kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non struktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara”.
Penegasan lainya tertera dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan PP Nomor 15 Tahun 2001 mengenai pengalihan status TNI/Polri menjadi PNS juga diatur mengenai istilah Penjabat Gubernur. Pada Pasal 9 tersebut terdapat beberapa jabaran padan Kementerian/Lembaga, dimana TNI/Polri tidak perlu alih status menjadi PNS. Aturan tersebut bersifat pengecualian.
Terkait batas usia pensiun JPT Madya, pada Pasal 239 ayat (2) huruf b PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang manajemen Pegawai Negeri Sipil disebutkan batas usia pensiun JPT Madya adalah 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya.
Dalam regulasi tidak disebutkan pejabat pimpinan tinggi madya yang ditunjuk menjadi gubernur, maka jabatan sebelumnya terhapus. Melainkan posisi jabatan di instansinya digantikan sementara oleh orang lain yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.
Dalam kacamata politik hukum keberadaan kalangan pejabat eselon 1 di lingkungan institusi vertikal patut dipertimbangkan dalam penempatan PJ gubernur, Walaupun nilai entitas keberadaan ASN sangat tepat untuk ditempatkan sebagai pejabat PJ kepala daerah di seluruh provinsi Indonesia sebagai bagian transisi pengelolaan pemerintahan pada pelaksanaan Pemilu serentak.
Muncul pertanyaan kritisnya adalah apakah politik hukum sudah sangat ideal secara sesuai harapan masyarakat dalam melibatkan TNI dan Polri pada posisi sebagai PJ Kepala daerah? Tentunya pro kontra akan terlihat, terpenting pelibatan mereka berbenturan dengan aturan sekaligus akankah menghilangkan nilai esensi reformasi sektor keamanan.
Kriteria PJ Kepala Daerah
Setelah memahami duduk logika hukum dalam penempatan PJ Gubernur ke depannya, maka perlu memahami kriteria ideal menduduki posisi tersebut.
Dari sumber informasi dan diskusi berbagai pihak, kriteria ideal PJ Gubernur meliputi; Independen/non partisan, kemampuan komunikasi antar lintas, memahami resolusi konflik dan dinamika politik lokal, berpengalaman mengelola birokrasi.
Berintegritas dan kredibilitas teruji melalui penelusuran track record (rekam jejak), memiliki jejaring luas baik pusat maupun lokal. Selain harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan, penjabat kepala daerah juga harus memiliki pemahaman politik yang mumpuni.
Dari sekian kriteria tersebut, kriteria yang paling penting adalah independen/bebas dari kepentingan politik lokal serta memahami resolusi konflik dan dinamika politik lokal. Dua kecakapan tersebut mutlak harus dimiliki terutama untuk wilayah yang memiliki kekhususan atau wilayah post konflik sehingga perlu treatment/perlakuan khusus.
Penentuan kriteria sangat dinamis bisa diikat pada aturan formal maupun non formal sehingga benar-benar sesuai harapan masyarakat Indonesia. Terpenting hendaknya tidak sembarangan dalam menempatkan seseorang menjadi seorang PJ kepala daerah nantinya.
Model Penetapan PJ Kepala Daerah
1. Fit and Proper test
Untuk dapat menjadi pejabat negara selama ini dikenal adanya istilah fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Dengan pengujian secara terbuka, transparan dan akuntabel lebih sulit untuk ditutupi jika ditemukan kelemahan-kelemahan yang nyata dari si calon pejabat.
Bisa dilihat track record dan berbagai aspek lain yang dipandang penting sehubungan dengan jabatan yang mungkin akan didudukinya nanti. Hal ini berbeda jika seorang pejabat diangkat hanya karena loyalitas politik ataupun kedekatan tertentu saja.
Walaupun secara teoritis tidak ada yang salah dengan aspek politik ataupun kekerabatan sejauh yang bersangkutan tetap memiliki kompetensi dan moralitas untuk menduduki jabatan strategis. Untuk itulah fit and proper test akan dapat menyaring dengan ketat seorang calon pejabat kompeten ataukah tidak.
Meski tidak ada jaminan bila seseorang diseleksi dan memperoleh penilaian baik dalam seleksi tersebut akan mampu melaksanakan tugas dan fungsi dengan prima. Setidaknya mengurangi ketidakpastian sejak awal, bahwa orang yang dalam suatu pengujian mampu menyelesaikannya dengan baik, dapat diduga kuat saat melaksanakan tugas akan berhasil baik pula.
2. Job Fit
Pemerintah melakukan pendalaman terhadap kandidat potensial melalui uji kesesuaian jabatan alias job fit. Prosesnya harus dipastikan sesuai ketentuan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Yakni, setiap jabatan pimpinan tinggi ditetapkan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan.
3. Brain wash
Pemerintah memilih kandidat tertentu yang dinilai potensial untuk menduduki jabatan PJ Kepala daerah untuk ditempatkan di provinsi tertentu. Namun sebelumnya melakukan penanaman nilai nilai (brainwash) akan kepentingan pusat di tingkat lokal. Poin paling utama kepentingan pusat dapat selaras dengan dinamika politik lokal dengan adanya PJ tersebut.
Penempatan PJ Kepala Daerah Daerah Hotspot Konflik
Berdasarkan regulasi pengangkatan Pj Kepala Daerah cukup kuat. Tetapi secara legitimasi politik dapat saja tidak kuat ekses Pj Kepala Daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan diangkat oleh pemerintah pusat.
Lemahnya legitimasi politik dari rakyat dan DPRD terhadap Pj Kepala Daerah dapat menjadi kendala serius bagi Pj Kepala Daerah saat melaksanakan fungsi komunikasi dan koordinasi dengan DPRD maupun berbagai institusi politik dan sosial di daerah. sebagai dampak cukup lamanya Pj Kepala Daerah memangku masa jabatan.
Pj Kepala Daerah diperkirakan akan menghadapi berbagai dinamika, masalah dan tantangan baru. Yang memaksanya harus mengambil keputusan dan kebijakan baru dan berpotensi berbeda dengan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh kepala daerah sebelumnya.
Masalahnya, jika mengacu surat kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26- 30/V.100-2/99 tanggal 19 Oktober 2015, Pj atau Pjs Kepala Daerah banyak larangan atau pembatasannya. Hal ini bisa menjadi problem serius bagi Pj Kepala Daerah.
"Oleh karena itu perlu mendapat perhatian khusus dalam hal penetapan PJ kepala daerah terkhusus wilayah dinamika politiknya sangat dinamis seperti Aceh, Papua, DKI Jakarta, dan lain-lain," sebut Pengamat Politik dan Keamanan itu.
PJ kepala daerah di wilayah zona merah selain memenuhi persyaratan formal secara regulasi, juga paling penting wajib memiliki sejumlah kecakapan dikarenakan posisi wilayah zona merah berbeda dengan wilayah lain non zona merah di Indonesia, sehingga penetapan PJ harus mempertimbangkan aspek asimetris wilayah.
PJ Kepala daerah wilayah zona merah wajib memahami dinamika politik lokal, kecerdasan dan intervensi yang kuat, mampu membangun komunikasi dengan elit dan lintas stakeholder di tingkat lokal serta setidaknya mendapat dukungan setengah dari total kursi DPRD setempat serta tokoh ulama setempat.
Irisan Kepentingan
Jika membicarakan irisan kepentingan pusat, PJ kepala daerah seperti daerah khusus wilayah Aceh wajib menjamin terlaksananya kebijakan strategis pusat di Aceh, termasuk keberlangsungan proyek strategis nasional. PJ wajib menjamin setiap kebijakan pusat terhadap Aceh dapat diterima secara lokal dan mendapat dukungan kuat dari parlemen lokal dan stakeholder. Meredam serta memetakan potensi gerakan dan perlawanan terhadap pusat. Termasuk kandidat kepala daerah yang potensial dapat memicu pergolakan antara Aceh-Jakarta.
Selain itu seorang PJ kepala daerah nantinya wajib menjalankan agenda nasional meliputi recovery dalam kondisi pandemik covid-19, memastikan stabilitas keamanan dan pembangunan dapat berjalan sesuai grand desain daerah tertuang dalam visi dan misi maupun desain secara nasional bersifat sentralistik.
Sedangkan jika mencermati irisan kepentingan lokal dapat difahami PJ kepala daerah khusus Aceh wajib putra daerah setempat. Idealnya memiliki relasi baik dengan eks kombatan atau setidaknya bukan musuh dari kalangan kombatan. Harus dapat diterima sebagian besar elite dan stakeholder, khususnya dua elemen yaitu mantan kombatan dan ulama. Yang paling penting PJ harus memahami UUPA dan Mou Helsinki. Mampu melakukan diplomasi baik sehingga dapat membangun jembatan dalam hal akomodasi kepentingan Aceh-Jakarta.
Terpenting penutup tulisan ini, kebijakan hukum dalam memastikan standar penempatan PJ kepala daerah yang dikeluarkan tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu untuk mengabdi pada kepentingannya sendiri, kelompok, maupun perkauman.
Sejalan dengan pemikiran Bernard L menegaskan dalam perspektif politik hukum, hukum tidak boleh dimanfaatkan untuk sembarang tujuan di luar tujuannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, politik hukum digunakan sebagai pisau analisis untuk melihat sejauh mana proses transparansi dan partisipasi penyusunan kriteria maupun model dalam penempatan PJ kepala daerah. Sekali lagi, transparansi dan partisipasi tidak hanya dilihat pada prosesnya, namun juga pada substansi materi pengaturan penempatan PJ Kepala Daerah.
Indonesia sejatinya tidak kekurangan sumber daya manusia yang memenuhi persyaratan untuk ditempatkan sebagai Pj Kepala Daerah. Namun tentu hanya sosok pilihanlah yang akan dipilih untuk memimpin negeri ini selama belum adanya kepala Daerah yang defenitif.
Tentunya mereka bukan hanya sekedar ditempatkan, namun punya tugas khusus melanjutkan roda pemerintahan hingga terpilihnya pemimpin yang defenitif. Daerah-daerah di Indonesia punya manusia yang bisa diandalkan untuk ini.