Polemik Pilkada Serentak 2024 dan Pro Kontra RUU Pemilu
Font: Ukuran: - +
[Dok. twitter @DPR RI]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Draf Revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada menuai pro dan kontra di tengah masyarakat dan elite partai politik, termasuk pula pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 yang diatur dalam draf tersebut.
Draf RUU Pemilu dan Pilkada tersebut kini telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) DPR 2021.
Banyak elit partai politik yang saling silang pendapat terkait beberapa poin yang terkandung dalam substansi draf RUU Pemilu. Salah satu yang dipersoalkan adalah aturan baru terkait pelaksanaan pilkada serentak yang dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau 2023.
Aturan tersebut tidak ada dalam UU Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada 2024.
Beberapa fraksi menegaskan penolakannya terhadap usulan gelaran pilkada digelar pada 2022 dan 2023. PDIP dan PPP menyatakan menolak pilkada digelar pada 2022 dan 2023 sesuai draf RUU Pemilu. Mereka sepakat pilkada tetap digelar serentak pada 2024.
"Saya pikir di draf RUU Pemilu belum tentu dibahas dan kami Fraksi PPP berpendapat bahwa RUU [Pemilu] belum relevan untuk diubah," kata politikus PPP Nurhayati Monoarfa kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).
Begitu pula Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Syaiful Hidayat yang menyatakan pilkada tak perlu digelar pada 2022 atau 2023. Menurutnya, pilkada serentak tetap harus dilaksanakan pada 2024 bersamaan dengan gelaran pemilihan legislatif dan presiden.
"Sebaiknya pilkada serentak tetap diadakan pada 2024. Hal ini sesuai dengan desain konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah," ujar Djarot.
Meski demikian, banyak fraksi di parlemen yang mendukung usulan agar pilkada tetap digelar di tahun 2022 dan 2023 berdasarkan draf RUU Pemilu. Fraksi yang mendukung di antaranya Nasdem, Golkar hingga Demokrat.
Bahkan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria berharap gelaran pemilihan pilkada dilaksanakan pada 2022.
"Tetapi kalau kita lihat periodisasinya, itu harusnya di tahun 2020 kemarin dan 2019 sudah ada pilkada, idealnya nanti gelombang kedua di tahun 2022," kata Riza.
Tak hanya soal jadwal pilkada, salah satu poin dalam draf RUU Pemilu yakni pelarangan eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk mencalonkan diri menjadi peserta pemilihan pemilu nasional dan daerah juga menjadi polemik. Beberapa pihak mendukung dan sebaliknya justru menolak keras.
Anggota Komisi II DPR RI dari PDIP, Junimart Girsang mengaku tidak setuju dengan usulan tersebut. Menurutnya, setiap orang berhak maju menjadi peserta pemilu sepanjang pengadilan tidak mencabut hak politiknya.
"Sepanjang pengadilan tidak memutuskan siapapun setiap orang yang tidak dicabut hak politiknya di pengadilan maka dia berhak untuk maju," kata Junimart.
Pendapat yang berlawanan turut disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Luqman Hakim. Luqman menilai HTI patut disetarakan dengan eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang selama ini sudah dilarang dalam UU Pemilu.
"Tujuan politik HTI sama persis dengan komunisme, yakni menciptakan kekuasaan politik internasional yang akan merobohkan bangunan negara-bangsa," kata Luqman, Rabu (27/1).
Selain itu, poin lain yang menuai polemik terkait draf RUU Pemilu yakni soal ambang batas presiden. RUU Pemilu tetap mencantumkan ambang batas presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen. Angka ini tak berubah dari ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Angka itu lantas ditolak dan didukung oleh beberapa pihak. Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra menjadi salah satu pihak yang menolak usulan tersebut. Putra mengusulkan ambang batas pencalonan presiden turun menjadi 0 persen.
Ia menerangkan, penurunan presidential threshold menjadi 0 persen akan membuat masyarakat memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin.
"Demokrat [mengusulkan] presidential threshold 0 persen," kata Herzaky dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).
Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengaku tak mempersoalkan bila ambang batas pemilu menjadi 20 persen atau berapapun. Dasco mengatakan Gerindra menerima dan ikut ambang batas presiden yang diputuskan.
"Kalau presidential threshold juga kita sedang komunikasikan. Prinsipnya mau 20 persen, 25 persen kami (Gerindra) ikut saja," ujar Dasco. (CNN Indonesia)