Kip aceh utara
Beranda / Berita / Resensi Buku Politik Sawit: Akses, Identitas dan Perubahan

Resensi Buku Politik Sawit: Akses, Identitas dan Perubahan

Selasa, 27 Juli 2021 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Agam K

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Buku yang ditulis Amin Tohari ini adalah hasil penelitian yang cukup panjang tentang sawit di Sumatera dan Kalimantan. Didasarkan pada teori politik kontemporer, lima tulisan dalam buku ini menceritakan strategi-strategi bagaimana ekspansi sawit lewat perkebunan skala besar.

Terus berusaha meyakinkan masyarakat luas bahwa, ia identik dengan kesejahteraan, energi hijau, pemanfaatan lahan kosong, lapangan kerja dan pemberdayaan warga lokal.

Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Universitas Muhammadiyah Sinjai, Muhammad Lutfi, S.IP., M.A mengatakan, upaya memetonimikan sawit dengan perkebunan swasta skala besar ini tidak berhasil sepenuhnya, karena ia terus didestabilisasi, dihambat atau dilawan oleh gerak politik lain yang berusaha mengindentikkan sawit dengan perkebunan rakyat, hak-hak buruh, menghentikan deforestasi, reforma agraria, kedaulatan pangan, hak-hak masyarakat adat dan sebagainya.

“Sawit lalu bukan lagi sekedar tanaman dalam artinya yang denotatif, melainkan medan bagi antagonisme-antagonisme. Dalam kerangka transformasi, antagonisme ini yang justru penting diungkap,” ujar Muhammad Lutfi.

Muhammad Lutfi menambahkan, Seperti digambarkan oleh buku tersebut, sebetulnya tidak ada penolakan yang total terhadap tanaman ini. Apa yang digugat adalah upaya negara dan oligarki dalam mengidentikkannya dengan perkebunan skala besar yang di-drive oleh oligarki perusahaan.

Gugatan itu muncul karena sekali upaya identifikasi itu dipermanenkan dia otomatis mengeksklusi upaya identifikasi lain terhadapnya. Selama proses-proses pencungkilan identitas petani ini terus berlangsung, makna sawit sebagai pertumbuhan ekonomi yang didrive oleh modal dan oligarki sedang menggali krisisnya sendiri.

“Terhadap sawit, dari pada tunduk pada skema “masuk dan sengsara”, menegosiasikan skema “masuk dan beruntung” lebih menjajikan perbaikan. Situasi inilah yang membuat perpolitikan sawit tidak berwajah sama, ia berlain-lainan dari satu tempat ke tempat lain,” tutur Muhammad Lutfi.

Tambahnya, walaupun sawit mampu menyerap berbagai pihak ke dalam pusarannya tetapi ini tidak menandakan kekalahan, ketertundukan dan ketidakberdayaan. Alih-alih masing-masing subyek atau aktor yang terbentuk oleh posisinya terhadap sawit ini justru mengembangkan strategi yang beragam dalam memodifikasi sawit agar sesuai dengan kepentingannya.

Dalam konteks ini sawit mengalami proses redefinisi terus menerus dengan menolak pendefinisian sawit sebagai mesin pertumbuhan dan karpet merah investasi. Skema-skema dalam tata kelola sawit seperti KKPA muncul dari pertarungan ini.

Namun meskipun skema-skema tersebut berusaha mengakomodir tuntutan-tuntutan atas sawit tetapi tetap tidak dapat menghentikan antagonismenya karena tanpa ini sulit dibayangkan terjadi perubahan yang lebih baik di masa depan.

Sebagian pihak melihat sawit sebagai realitas deforestasi lalu memperjuangkan moratorium dan tata kelola yang lebih berkelanjutan, yang lain berusaha mendudukan sawit dalam kerangka kesejahteraan rakyat lalu mendesakkan perbaikan skema kredit dan kerja sama termasuk perbaikan harga TBS dan upah buruh.

Sementara yang mendefinisikan sawit sebagai soal pengakuan identitas primordial menuntut pengakuan hak- atas warga lokal dan masyarakat adat. Posisi-posisi aktor yang berbeda-beda ini disatukan oleh satu hal yaitu menolak atau melawan sawit yang ditata dalam kerangka investasi, pertumbuhan ekonomi dan menguntungkan oligarki. Inilah artinya sawit menciptakan pertarungan politik.

Bukan lagi sekadar tanaman, hal yang mungkin tak terduga, buku ini mengungkap bagaimana sawit berhubungan dengan perguruan silat, aksi-aksi koboi jalanan, karir politik seseorang, retorikan kampanye presiden, negosiasi politik luar negeri, juga pemilihan kepala desa.

Sawit kemudian berurusan dengan politik negara, konstestasi kepala daerah, perdagangan internasional, kebijakan tata ruang, pembangunan jalan tol dan sebagainya. Tanpa artikulasi politik ini sulit dibayangkan sawit mampu mengubah lanskap, menggerakkan kapital internasional, menghabiskan hutan, dan menduduki imajinasi kemakmuran bagi masa depan.

Singkatnya, ini adalah satu karya yang menampilkan analisa politik kontemporer yang mencerahkan, yang menjelaskan ledakan kelapa sawit seperti yang telah dialami - dalam semua kompleksitas dan nuansanya - oleh masyarakat di seluruh Indonesia.

Melampaui narasi konflik tanah dan perusakan lingkungan yang sering melingkupi studi kelapa sawit selama ini, di mana masyarakat lokal digambarkan hanya sebagai penentang pencaplokan oleh perusahaan dan negara atas tanah mereka.

Yang pasti, bentuk konflik lahan ini cukup banyak disinggung, namun bagaimana kelapa sawit memunculkan bentuk-bentuk keterlibatan baru masyarakat lokal dengan pasar, dan bagaimana masyarakat lokal sendiri menjadi peserta aktif di dalam perluasan kelapa sawit, diuraikan lebih gamblang.

“Dengan membaca buku ini kita akan diantar pada memahami sawit secara berbeda. Dengan menguraikannya sebagai perpolitikan kita bisa keluar dari melihat sawit dalam kerangka oposisi biner yang fix, yang menempatkan petani selalu sebagai yang tak berdaya,” kata Muhammad Lutfi.


Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda