Saleh Sjafei; Soal APBA Masyarakat Jangan Diam
Font: Ukuran: - +
Reporter : osi
Saleh Sjafei
DIALEKSIS.COM. Banda Aceh - Perihal APBA seakan persoalan personal para anggota DPRA dan personal gubernur dan wakil Gubernur. Sementara, masyarakat luas, praktis tidak bersuara, menurut pandangan Dr Saleh Sjafei SH, boleh jadi karena takut sehingga diam atau sengaja diam karena mendapatkan keuntungan dari satu persengkolan.
"Mungkin karena mereka lebih tertarik pada peukateun para pemimpin (eksekutif-legislatif) daripada agenda pembangunan, yang merupakan substansi dari APBA itu sendiri," papar sosiolog Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ketika bincang-bincang dengan dialeksis.com, Jumat (26/1).
Menjadi aneh, karena masyarakat cenderung apatis, tidak perduli, meskipun sebenarnya hal itu menyangkut nasib kesejahteraannya. "Padahal APBA itu satu-satunya sumber proyek kehidupan bansha Aceh," tegas Saleh Safei yang juga dosen pada Fakultas Hukum Unsyiah itu.
Ironinya kelas menengah yang selama ini menjadi "agensi" tidak bersuara. "Ada dua kemungkinan diamnya mereka itu, memang diam atau mereka main diam-diam...untuk dirinya sendiri, " kata Saleh.
Saleh Safei menduga, tidak ada kepedulian masyarakat terhadap perihal APBA yang sampai saat ini belum jelas nasibnya, dapat dimaknai sebaga "diam makan dalam" atau diam karena bersekongkol pada kepentingan ekonomi yang tak lepas dari relasi kuasa patroen-klien dengan pengambil kebijakan di Aceh.
Saatnya masyarakat diajak untuk bersuara. Karena APBA merupakan satu-satunya sumber proyek kehidupan rakyat Aceh, terutama masyarakat menengah. Seharusnya harus dikawal bersama. "Maka wajar kalau yang diam itu mendapat safaat," ketus Saleh.
Secara sosial, jelas Saleh Sjafei, saat ini masyarakat Aceh dalam beberapa hal cenderung tidak memperlihatkan perlapisannya secara jelas. Utamanya lapisan menengah jika asumsi stratifikasinya "atas (power), menengah (economic), dan bawah (social status).
Kekaburan klasifikasi masyarakat Aceh secara vertikal itu, antara lain, ketika dikaitkan dengan pertanyaan "mengapa warga masyarakat Aceh seperti tidak perduli pada masalah APBA.
"Jika masyarakat lapis bawah dipandang bahwa mereka tidak cukup paham dan berkepentingan dengan APBA, bagaimana juga dengan para warga (lapisan) kelas menengah yang dalam banyak hal kemungkinan proyek kehidupan masa kini dan masa depan aktivitas pencarian mereka banyak ditentukan oleh APBA itu," paparnya.
Dalam beberapa derajat, tambah akademisi Unsyiah itu, dapat ditelusuri bahwa kondisi "apatis" dan "fasif: diam" mereka boleh jadi berkaitan dengan "keterlibatan dan persekongkolan" mereka pada kepentingan ekonomi (desakan kebutuhan syafaat) dan relasi-kuasa (patron-klien) pengambil kebijakan dan keputusan di jajaran eksekutif dan legislatif Aceh (osi)