Sekilas Sejarah PKI di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Seorang penulis dan pemerhati sejarah, mengungkapkan tentang keberadaan PKI di Aceh. Tulisannya menarik untuk disimak. Murizal Hamzah menulis tentang PKI di Aceh yang ditayangkan media Gema Baiturahman.
Wartawan yang gemar menggali sejarah Aceh ini mengurai kata. Setiap mendengar bulan September, paling tidak kita teringat pada lagu September Ceria oleh Vina Panduwinata. Dan pada akhir bulan, selalu putar kaset ulang perihal kebiadaban Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengubah roda sejarah RI.
Murizal Hamzah menyebutkan, pada awalnya, PKI adalah partai politik yang memiliki banyak kursi di DPR RI. Di level Aceh, PKI memiliki 2 kursi pada 1961. Sebelum PKI menjadi ilegal, partai ini mendapat tempat di hati rakyat.
“Masa itu, menjadi anggota PKI bukan berarti tidak percaya kepada Allah. Mereka tetap beribadah seperti biasa. Komunis berbeda dengan atheis,” sebut Murizal.
Bahkan, jelasnya, tokoh utama Ketua Central Committee PKI seperti Dipa Nusantara (DN) Aidit, dibesarkan dalam keluarga Muslim yang taat. Achmad - nama Aidit di masa kecil - adalah bilal, karena suaranya keras dan lafalnya jelas. Kelak Aidit meminta kepada Soekarno untuk membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Bagaimana PKI di Aceh, menurut tulisan Murizal, PKI pertama bersemi di Samalanga pada 1927. Jika ditanya mengapa rakyat Aceh menjadi anggota PKI kala itu? Jawabannya karena itu partai politik yang legal.
“Di era 1950-an, PKI masuk 5 besar yang menguasai kursi di DPR RI. Menelaah buku yang yang dituliskan oleh Thaib Adamy Wakil Sekretaris I di Committee PKI Aceh pada era 1960-an berjudul Atjeh Mendakwa menceritakan pledoinya di Pengadilan Negeri Sigli pada 12 September 1963,” sebut Murizal.
Dijelaskan, Thaib disidangkan karena keterlibatannya dalam kegiatan revolusioner. Buku itu dituliskan oleh Thaib Adamy yang dibukukan pada 1964 oleh Komite PKI Atjeh. Ketika disidangkan, membludak warga memberikan dukungan moril.
“Thaib juga mengadakan demo, meminta pemerintah menurunkan harga beras. Ketika memasuki waktu sembahyang dhuhur, Thaib meminta kepada hakim untuk dihentikan pengadilan”.
Thaib dalam persidangan itu menyebutkan, musuh rakyat miskin adalah sistem kapitalisme di Indonesia dan Aceh. Thaib adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) Aceh dari fraksi PKI, memberikan orasi politik dalam rapat umum PKI pada 3 Maret 1963 di Sigli.
“Pengadilan Negeri Sigli menyatakan Thaib melakukan provokasi dan propaganda yang menyebabkan terjadi kerusuhan. Pada 16 September 1963, hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Thaib,” jelasnya.
Kemudian Murizal menuliskan, dua bulan setelah G30S atau pada 16 Desember 1965, para ulama mengadakan musyawarah di Banda Aceh dengan fatwa mengharamkan ajaran komunis di Aceh.
Mereka yang berstatus sebagai penggerak, pelopor dan pelaksana G30S adalah kafir harbi yang wajib dibasmi. Karena PKI gagal melaksanakan kudeta, sebagai orang kalah dalam dunia politik, anggota dan simpatisannya diadili atau dibunuh, jelasnya.
Di Jawa, anggota PKI dan koleganya dibuang ke Pulau Buru dan lain-lain, ditahan, dan dibunuh. Sedangkan di Aceh yang masuk bagian dari PKI pada umumnya dihabisi, tidak diasingkan ke tempat untuk dibina seperti di Jawa.
Mayoritas di setiap daerah di Bumi Seulanga ini, ada tempat pembuangan mayat anggota PKI atau yang dituduh PKI. Seperti Mon Benggali Indrapuri dan kawasan Ie Seum Krueng Raya. Di Aceh Barat ada di Rantau kepala Gajah, Kuala Trang. Di Pidie ada di Guha Tujoh Laweueng. Lokasinya di Cot Panglima d Aceh Tengah, Cot Geuleungku di Aceh Utara dan lain-lain, papar Murizal.
Penulis mempertanyakan berapa penduduk yang dibunuh tanpa pengadilan di Aceh. Lalu Murizal menjelaskanya, berdasarkan penelitian Jess Melvin dari Australia, Murizal mengutipnya, dimana Jees Melvin menemukan dokumen dari militer, tertera angka 1.941 yang dibunuh.
Murizal menyebutkan, pembunuhan masif terhadap warga yang dituduh PKI di Indonesia yang pertama terjadi di Aceh bukan di Jawa. Akan menjadi penyesalan besar kemanusiaan jika yang dibunuh itu adalah warga yang tidak bersalah seperti di masa DOM Aceh, demikian tulisan Murizal yang dimuat di Gema Baiturahman. (Baga)