Srikandi Berjaga di Kaki Gunung Api
Font: Ukuran: - +
Anggota kelompok patroli hutan perempuan saat patroli hutan di Damaran Baru, Provinsi Aceh, Selasa, 7 Mei 2024. Foto: dok. AP Photo/Dita Alangkara.
DIALEKSIS.COM | Aceh - Di balik deretan pepohonan rindang di kaki Gunungapi Aceh, derap langkah tujuh perempuan penjaga hutan bergema di antara kicauan siamang. Setiap hari mereka berpatroli menelusuri jalan setapak yang melingkari kawasan konservasi itu dalam upaya memperlambat deforestasi. Dikutip AP News, Selasa 4 Juni 2024, srikandi berjubah hijau ini adalah bagian dari inisiatif lokal yang dipimpin perempuan demi mencegah penggundulan hutan lebih lanjut.
Setiap kali berpapasan dengan warga yang melintas kawasan hutan, para penjaga tak segan mengingatkan. "Ke mana kamu akan pergi? Ingat, dilarang menebang pohon di mana pun," ujar mereka pada seorang pria yang membawa peralatan bertani.
Upaya pelestarian ini terbukti ampuh. Setelah bertahun-tahun berpatroli, angka deforestasi di kawasan itu menurun drastis. Kini, para pejuang lingkungan ini berbagi pengalaman dengan kelompok serupa di seantero Nusantara dalam misi melindungi hutan hujan tropis Indonesia yang kaya keanekaragaman hayati.
Dalam beberapa dekade terakhir, luas hutan hujan tropis Tanah Air--yang kini menempati urutan ketiga terbesar di dunia--terus menyusut. Pengawasan Hutan Global mencatat lebih dari 285.715 mil persegi atau dua kali luas Jerman mengalami deforestasi sejak 1950 untuk perluasan lahan pertanian, industri, serta pertambangan.
Di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, sebagian warga bergantung hidup dari hutan. Lereng pegunungan yang memayungi desa itu menjadi ladang kopi warga sekaligus sumber mata air. Namun praktik budi daya yang tak berkelanjutan dan eksploitasi sumber daya hutan telah menimbulkan kerusakan parah. Pada 2015, penggundulan liar memicu banjir bandang yang mengungsikan ratusan warga.
Sumini, salah satu anggota patroli, menyaksikan langsung dampak deforestasi saat daerah aliran sungai dipenuhi batang-batang pohon tebangan. "Saya berpikir inilah penyebab tanah longsor dan bencana di desa kami," tutur Sumini. Pemikiran itu mendorongnya mengajak sesama perempuan desa membentuk patroli hutan.
Awalnya, gagasan tersebut mendapat tentangan dari pemerintah desa yang patriarkis dan diatur berdasarkan hukum Islam. Namun setelah mendapat restu dari para pemimpin dan suami anggota, Sumini berhasil merealisasikan rencana itu dengan dukungan Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh.
Lembaga itu memfasilitasi pembentukan kelompok dan melatih para anggota agar mampu menerjemahkan kearifan lokal ke dalam standar konservasi modern. "Kami mengajarkan cara membaca peta, menggunakan GPS, dan mengenali jejak satwa liar agar mereka bisa berbahasa sama dengan petugas kehutanan," jelas Farwiza Farhan, Ketua Yayasan tersebut.
Sejak Januari 2020, patroli hutan rutin dilaksanakan tiap bulan. Aktivitas mereka mencakup pemetaan, pemantauan tutupan vegetasi, pendataan flora endemik, hingga kerjasama dengan petani menanam kembali pohon yang ditebang. Untuk mencegah penebangan liar, mereka mengikat pita pada batang pohon agar tidak diganggu.
Pendekatan persuasif kerap kali dilakukan jika menemui warga yang berbuat sembrono di hutan. Cara ini dinilai lebih efektif ketimbang perlawanan fisik. Muhammad Saleh (50), yang kerap berburu dan menebang pohon demi menyambung hidup, akhirnya menghentikan kebiasaan itu setelah bertahun-tahun dinasihati istrinya, Rosita (44). Kini Saleh justru bergabung dalam patroli hutan.
"Hutan kami tidak lagi gundul. Satwa terjaga dan kami pun merasa aman," ujar Saleh. Manfaatnya tidak hanya dirasakan warga, tetapi seluruh dunia.
Kini, metode konservasi model Damaran Baru mulai diterapkan di daerah lain. Gerakan ini didukung sejumlah organisasi non-pemerintah dan lembaga internasional yang menyatukan kelompok-kelompok serupa di bawah kepemimpinan perempuan. [liputan6.com]