Transaksi di Bursa RI Seret, Lari ke Kripto
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan mulai mengkhawatirkan investor ritel yang beralih dari investasi di pasar modal ke Bitcoin. Sebabnya, sepanjang periode April ini, nilai transaksi bursa saham domestik, rerata turun menjadi hanya Rp 9 triliun dari Januari lalu yang sempat di kisaran Rp 20 triliun perharinya.
Menurut Direktur Perdagangan dan Anggota Bursa, Laksono Widodo, meskipun saat ini, Bitcoin belum dianggap sebagai instrumen finansial yang diakui oleh Bank Indonesia untuk dapat digunakan sebagai alat pembayaran atau sarana transaksi, BEI melihat perkembangan Bitcoin yang naik cukup pesat, menjadi kekhawatiran tersendiri.
"Secara pribadi, ada sedikit kekhawatiran dari saya terkait hal ini. Walau saya belum tahu secara pasti seberapa besar penetrasi bitcoin di Indonesia," kata Laksono kepada awak media.
Riset CNBC Indonesia mencatat, salah satu kemungkinan beralihnya dana investor ritel adalah ke aset cryptocurrency. Hal ini dinilai wajar, mengingat di saat IHSG ambruk pada bulan terakhir kuartal pertama tahun 2021, mata uang kripto malah terapresiasi kencang. Simak kinerja mata uang kripto terbesar yakni Bitcoin dan kedua terbesar yakni Ethereum.
Tercatat Bitcoin sebagai mata uang kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar berhasil terbang kencang dimana pada bulan pertama, kedua, dan ketiga tahun 2021 ini Bitcoin berhasil terapresiasi masing-masing 14,54%, 36,69%. Dan 29,79%.
Selanjutnya mata uang kripto Ethereum dengan kapitalisasi pasar kedua terbesar di pasar juga melesat kencang sebesar 78,43%, 8,02%, dan 35,26%, selama bulan pertama kedua dan ketiga.
Terakhir mata uang kripto yang sempat viral karena dicuit miliarder dunia sekaligus pendiri Tesla dan SpaceX, Elon Musk yakni Doge Coin melesat lebih gila lagi. Tercatat pada Januari 2021 Doge coin sempat loncat 687,68%. Tidak berhenti sampai disana pada Februari dan Maret 2021 Doge Coin lanjut reli 30,83% dan 11,71%.
IHSG melanjutkan koreksi yang terjadi berberapa pekan terakhir. Tercatat dalam lima pekan terakhir, IHSG hanya mampu menguat satu pekan. Bahkan IHSG sudah terkoreksi parah dari level 6.350 hingga saat ini ambruk ke bawah 5.950 atau koreksi sebesar 400 indeks poin.
Menariknya selain IHSG yang terus terkoreksi, nilai transaksi di bursa lokal juga terus menyusut hingga ke rata-rata Rp 8-9 triliun per hari. Simak rata-rata transaksi di pasar modal sejak November 2020 hingga awal April 2021.
Transaksi di bursa lokal menanjak sejak November 2020 hingga mencapai titik puncaknya di bulan Januari 2021 dimana saat itu transaksi di bursa bisa mencapai Rp 20,5 triliun per hari.
Pada periode tersebut memang IHSG sedang gencar-gencarnya naik sehingga investor ritel sangat aktif bertransaksi di bursa. Tercatat pada bulan 10,11, dan 12 IHSG mencatatkan apresiasi masing-masing 5,30%, 9,44%, dan 6,53% yang berhasil melesatkan IHSG dari level 5.238 ke angka 5.979.
Kenaikan berlanjut hingga pertengahan bulan Januari dimana IHSG sempat melesat 8,80% ke level 6.500 sebelum akhirnya IHSG ambruk dimana selain saham-saham bluechip yang terkoreksi parah ada pula saham-saham farmasi yang tumbang menyentuh level ARB selama berhari-hari.
Tumbangnya saham-saham farmasi tersebut menyebabkan banyak korban investor ritel terutama investor ritel angkatan corona yang terpaksa merugi parah karena melakukan pembelian saham farmasi di harga atas dan tentu banyak investor yang 'kapok' sehingga melarikan dananya dari pasar modal.
Sejak saat itu nilai transaksi IHSG tak lagi sama, secara perlahan nilai transaksi saham menyusut di bulan Februari 2021 dan Maret 2021 dengan nilai transaksi masing-masing Rp 15,5 triliun dan Rp 11,9 triliun hingga ke level saat ini dimana per awal April 2021 transaksi di pasar modal tidak lebih dari Rp 10 triliun per hari tepatnya di angka Rp 9,5 triliun.
Tentunya yang menjadi pertanyaan, kemana larinya dana para investor ritel tersebut? Well, salah satu kemungkinanya adalah para ritel 'coronials' melarikan uang mereka ke aset cryptocurrency.
Hal ini wajar mengingat di saat IHSG ambruk pada bulan terakhir kuartal pertama tahun 2021, mata uang kripto malah terapresiasi kencang. Simak kinerja mata uang kripto terbesar yakni Bitcoin dan kedua terbesar yakni Ethereum.
Pada periode tersebut memang IHSG sedang gencar-gencarnya naik sehingga investor ritel sangat aktif bertransaksi di bursa. Tercatat pada bulan 10,11, dan 12 IHSG mencatatkan apresiasi masing-masing 5,30%, 9,44%, dan 6,53% yang berhasil melesatkan IHSG dari level 5.238 ke angka 5.979.
Kenaikan berlanjut hingga pertengahan bulan Januari dimana IHSG sempat melesat 8,80% ke level 6.500 sebelum akhirnya IHSG ambruk dimana selain saham-saham bluechip yang terkoreksi parah ada pula saham-saham farmasi yang tumbang menyentuh level ARB selama berhari-hari.
Tumbangnya saham-saham farmasi tersebut menyebabkan banyak korban investor ritel terutama investor ritel angkatan corona yang terpaksa merugi parah karena melakukan pembelian saham farmasi di harga atas dan tentu banyak investor yang 'kapok' sehingga melarikan dananya dari pasar modal.
Sejak saat itu nilai transaksi IHSG tak lagi sama, secara perlahan nilai transaksi saham menyusut di bulan Februari 2021 dan Maret 2021 dengan nilai transaksi masing-masing Rp 15,5 triliun dan Rp 11,9 triliun hingga ke level saat ini dimana per awal April 2021 transaksi di pasar modal tidak lebih dari Rp 10 triliun per hari tepatnya di angka Rp 9,5 triliun.
Tentunya yang menjadi pertanyaan, kemana larinya dana para investor ritel tersebut? Well, salah satu kemungkinanya adalah para ritel 'coronials' melarikan uang mereka ke aset cryptocurrency.
Hal ini wajar mengingat di saat IHSG ambruk pada bulan terakhir kuartal pertama tahun 2021, mata uang kripto malah terapresiasi kencang. Simak kinerja mata uang kripto terbesar yakni Bitcoin dan kedua terbesar yakni Ethereum.[CNBC Indonesia]