Triliunan Uang Pajak yang Menguap
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kisah paling baru praktik under invoicing atau penurunan nilai transaksi terungkap di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe-B Batam, pertengahan tahun lalu. Kasusnya menyangkut impor tekstil, selama periode 2018 – 2020. Kejaksaan Agung menaksir nilai under invoicing itu mencapai Rp1,6 triliun.
Dalam kasus tersebut, nilai impor dicatat lebih kecil dari semestinya. Kualitas barang juga diturunkan, sehingga bea masuk yang diterima negara lebih kecil dari yang seharusnya.
Gara-gara kasus itu, sejumlah pejabat di kantor Bea dan Cukai Batam serta importir tekstil dijadikan tersangka. Mereka diduga terlibat dalam aksi kongkalikong. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara berjanji tidak memberikan toleransi terhadap praktik tersebut.
Dalam perdagangan internasional, under invoicing merupakan bagian dari illicit money atau uang haram yang peredarannya melampaui batas-batas negara. Mengacu pada catatan UN Comtrade, Indonesia sudah menjadi arena lalu lintas pergerakan uang panas ini sejak 30 tahun silam. Selain under invoicing, pergerakan uang haram dalam catatan ekspor juga dilakukan melalui over invoicing atau penggelembungan data.
Negara mitra dagang dan komoditas dalam praktik under dan over invoicing sangat beragam. Pada 2019 misalnya, lima komoditas yang mencatat under invoicing terbesar berturut-turut adalah batu bara, minyak kelapa sawit, lignit (batu bara coklat yang terbentuk dari gambut), karet alam mentah dan baja lembaran.
Batu bara mencatat selisih perhitungan Indonesia sebagai eksportir dengan negara importir atau penerima barang mencapai angka AS$2,6 miliar. Secara kumulatif, nilai transaksi yang menguap dari lima komoditas itu, pada 2019 saja, mencapai AS$5,9 miliar.
Bagaimana nilai under invoicing ini dapat diurai? Lokadata melacaknya melalui data-data perdagangan. Pertama, dipilih 10 komoditas utama dengan nilai ekspor terbesar selama 2019. Pembatasan tahun ini penting agar dapat di-cross-check dengan data antarnegara yang diterbitkan oleh UN Comtrade, lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa yang mencatat transaksi perdagangan dunia.
Nilai aliran uang gelap atau uang siluman (Illicit Financial Flows) yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada teknik perhitungan yang dikembangkan oleh Global Financial Integrity (GFI).
GFI merupakan lembaga think-tank asal Amerika Serikat yang fokus pada kajian terkait aliran keuangan gelap, korupsi, perdagangan gelap, serta pencucian uang. Lembaga tersebut pertama kali menerbitkan tulisan terkait konsep dan metode perhitungan Illicit Financial Flows pada 2008 yang bertajuk: “Illicit Financial Flows from Developing Countries: 2002-2006”.
Dalam laporan itu dijelaskan, salah satu metode paling tepat dan banyak digunakan untuk mengukur aliran dana gelap adalah pendekatan Trade Misinvoicing Model. Pendekatan ini mengurai praktik suatu negara dengan sengaja mencatat nilai yang “tidak sebenarnya” dari nilai dan atau volume ekspor atau impor barang yang dilakukan.
Dalam tulisan ini, nilai trade misinvoicing hanya dilakukan terhadap barang ekspor. Untuk nilai dana gelap (illicit money), tulisan ini menetapkan angka (koefisien) penyesuaian 20 persen. Jika selisih pencatatannya di bawah 20 persen dari nilai transaksi, data tersebut diabaikan alias dianggap nol.
Asumsinya, selisih yang hanya 20 persen itu, boleh jadi berasal dari perhitungan asuransi serta biaya-biaya lain selama barang berpindah dari Indonesia ke negara tujuan, atau perbedaan pencatatan harga antara komoditas di darat dengan di atas kapal siap meluncur atau free on board (fob).
“Catatan data ekspor Indonesia,” kata petugas pemeriksa pada kantor Bea dan Cukai, Ragil Yudy Prasetyo, “menggunakan data harga fob, begitu juga yang dicatat BPS.”
Selisih pencatatan yang sudah disesuaikan itu mengacu pada istilah yang digunakan oleh GFI, merupakan “dana gelap”. Sebagai contoh, Indonesia mencatat nilai ekspor minyak kelapa sawit ke India pada 2019 senilai AS$4,8 miliar. Berdasarkan data UN Comtrade, India sebagai negara pengimpor mencatat AS$6,9 miliar, jadi ada selisih AS$2,1 miliar.
Nilai perbedaan (yang kemudian dikoreksi oleh faktor penyesuaian) itulah yang dikenal sebagai dana gelap yang terbit dari penyusutan laporan transaksi perdagangan atau under invoicing.
Menurut catatan GFI, Indonesia termasuk dalam 10 kelompok negara dengan perbedaan pencatatan perdagangan terbesar di dunia. Catatan ini mencakup penyusutan pencatatan (under invoicing) dan penggelembungan pencatatan (over invoicing), yang biasanya digunakan untuk menyiasati pajak termurah.
Dalam daftar GFI itu, nilai rata-rata perbedaan catatan perdagangan Indonesia untuk kurun waktu 2008-2017 mencapai AS$22 miliar per tahun. Peringkat pertama ditempati Cina dengan nilai rata-rata sebesar AS$323,8 miliar per tahun.[Lokadata]