Tuai Polemik Wajib Jilbab di Padang, Perda Intoleran Didesak Cabut
Font: Ukuran: - +
[Dok. Sindonews]
DIALEKSIS.COM | Padang - Polemik wajib jilbab di SMKN 2 Padang bagi non-muslim disebut tak lepas dari peraturan daerah (perda) yang intoleran. Pemerintah Pusat disebut berkontribusi karena membiarkannya sejak lama.
Aktivis dari Komunitas Pembela HAM Sumbar Wendra Rona Putra mengatakan bahwa masalah itu tak lepas dari Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-III/2005.
Instruksi itu, katanya, bermasalah jika diterapkan kepada siswi non-muslim karena tak sesuai syariat agama dan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan hak beragama bagi setiap orang.
"Permasalahan timbul ketika sekolah menerapkan kebijakan tersebut dan mengabaikan prinsip-prinsip agama, konstitusi, dan hak asasi manusia yang menjamin kemerdekaan setiap orang dalam menjalankan nilai-nilai agama yang diyakininya," ucapnya dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Rabu (27/1).
Komunitas Pembela HAM Sumbar di antaranya terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat, Aliansi Jurnalistik Independen Padang, Gusdurian Padang, dkk.
Dikutip dari penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, ketentuan soal wajib jilbab itu ada pada poin 10, dari total 12 poin, dalam Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-III/2005.
"Bagi murid/siswa SD/MI,SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MAN se Kota Padang diwajibkan berpakaian Muslim/Muslimah yang beragama Islam dan bagi non-Muslim dianjurkan menyesuaikan pakaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang bagi laki-laki)," demikian dikutip dari ELSAM.
Instruksi yang ditandatangani Wali Kota Padang saat itu, Fauzi Bahar, ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang, Kepala Kantor Departemen Agama Kota Padang, Ketua DMI Kota Padang, Camat serta Lurah sekota Padang.
Dalam laporan yang sama, Kepala Biro Hukum Pemkot Padang saat itu, Zabendri, mengatakan kebijakan wali kota itu merupakan prestasi yang telah berhasil mengembalikan Padang kepada adat basandi syara', syara' basandi kitabullah.
Atas dasar itu, Wendra Rona meminta pemerintah daerah untuk meninjau ulang dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang berpotensi melahirkan praktik diskriminatif.
"Kami mendorong pemerintah mengambil peran penuh dan progresif dalam menyemai bibit-bibit toleransi di Padang sehingga kejadian serupa tak terulang," tuturnya.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan untuk Pendidik dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menyebut ada peran Pusat dalam terlaksananya Instruksi Wali Kota Padang itu.
"Artinya ada peran pemerintah pusat, seperti Kemendagri dan Kemendikbud yang mendiamkan dan melakukan pembiaran terhadap adanya regulasi daerah bermuatan intoleransi di sekolah selama ini," kata dia, dikutip dari Antara.
Senada, Peneliti dari Imparsial Amalia Suri menyatakan peristiwa ini bisa dijadikan momentum untuk menjadikan sekolah sebagai zona toleransi.
"Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu mengevaluasi sistem dan peraturan diskriminatif di lingkungan sekolah, mengingat peristiwa pemaksaan simbol, atribut, dan ritual agama tertentu kepada siswa yang berbeda agama terjadi di sejumlah daerah," kata dia, dalam keterangan tertulis, Rabu (27/1).
Terkait dengan maraknya peristiwa pemaksaan simbol, atribut, dan ritual agama, Amalia menyatakan hal itu menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia yang belum mengadopsi prinsip-prinsip penghargaan terhadap keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat.
"Tidak hanya dalam peraturan terkait seragam sekolah, namun dalam kurikulum atau konten bahan ajar, serta kegiatan rutinitas sekolah juga perlu mengedepankan prinsip-prinsip tersebut," kata dia.
Sebelumnya, seorang siswi kelas X SMKN 2 Padang Jeni Cahyani menolak menggunakan jilbab sesuai peraturan sekolah. Hal itu berujung pemanggilan wali murid Jeni ke sekolah.
Adapun kejadian itu pertama kali menguak lewat sebuah video yang merekam pertemuan diduga pihak sekolah dengan wali murid Jeni. Video itu diunggah oleh akun Facebook Elianu Hia yang diduga sebagai wali murid yang dipanggil pihak sekolah.
Kepala SMK Negeri 2 Padang, Rusmadi lalu menyampaikan permintaan maaf terkait peristiwa itu.
"Dalam menangani dan memfasilitasi keinginan dari ananda Jeni Cahyani kelas X untuk berseragam sekolah yang disebutkan dalam surat pernyataan, saya menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan dari jajaran serta Bidang Kesiswaan dan Bimbingan Konseling dalam penetapan aturan dan tata cara berpakaian siswi," kata Rusmadi.
Gaya Komunikasi Nadiem
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pun mengancam akan memecat pihak yang menerapkan kewajiban jilbab bagi non-muslim itu.
"Saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat. Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan agar permasalahan ini jadi pembelajaran kita bersama ke depan," tuturnya, Minggu (24/1).
Fatur Rahman, seorang guru dan kepala sekolah di Nusa Tenggara Barat (NTB), meminta Nadiem melihat dulu akar masalahnya.
"Menginstruksikan kepala sekolah dipecat. Tanpa menyelidiki dulu secara mendalam dan menyeluruh. Apa betul itu peraturan sekolah? Atau aturan pemda? Apa betul ada pemaksaan?," kata dia melalui akun Facebook yang telah dikonfirmasi oleh CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).
Pemerhati pendidikan dari Vox Populi Indonesia Indra Charismiadji menilai respons Nadiem terkait kasus ini mencerminkan gaya komunikasinya yang searah dan tidak bijak.
"Kasus di SMKN 2 Padang membuktikan kalau tidak ada keinginan dari Mendikbud untuk berdialog, menyelidiki dulu secara mendalam, tapi memilih untuk menjadi hakim," pungkasnya.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsari mengatakan Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat akan mengevaluasi dan merevisi aturan kewajiban berjilbab paling lambat pada 2 Februari. (CNN Indonesia)