BRIN Sebut Bahasa Aceh Terancam Punah, Dosen USK Bereaksi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn

Herman RN, budayawan dan dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Foto: doc Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Aceh - Peneliti Bahasa, Sosial, dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iskandar Syahputera, mengungkapkan bahasa Aceh saat ini berada dalam status 'definitely endangered' atau terancam punah secara definitif berdasarkan skala UNESCO. “Dari skala 0-5 tingkat keterancaman bahasa, vitalitas bahasa Aceh berada di level 3. Artinya, bahasa ini masih digunakan oleh sebagian komunitas, tetapi mulai tergerus di ranah publik,” kata Iskandar dalam keterangannya di Banda Aceh, Rabu (19/6).
Temuan ini tercantum dalam penelitiannya berjudul “Tentang Vitalitas Bahasa Aceh Kaitannya dengan Perencanaan dan Kebijakan Bahasa Daerah” yang dipublikasikan awal 2024. Iskandar menegaskan, ancaman kepunahan dipicu minimnya regenerasi penutur dan dominasi bahasa Indonesia dalam ranah formal.
Untuk mengonfirmasi temuan BRIN, Dialeksis menghubungi Herman RN, budayawan dan dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Herman menyatakan, kepunahan bahasa daerah merupakan keniscayaan, tetapi percepatannya justru dipicu kelalaian negara.
“Apa yang diungkap BRIN bukan hal baru. Pertanyaannya: di mana peran negara? Selama ini, pemerintah tidak serius menjadikan bahasa Aceh sebagai muatan lokal wajib. Qanun Nomor 10 Tahun 2022 tentang Bahasa Aceh pun hanya simbolis. Coba lihat, ada berapa toko atau jalan di Aceh yang menggunakan nama dalam bahasa Aceh?” tegasnya.
Ia menambahkan, faktor pernikahan antarsuku, migrasi, dan dominasi media massa berbahasa Indonesia turut mempercepat kepunahan.
“Media lokal di Aceh hampir tak ada yang konsisten menggunakan bahasa Aceh. BRIN sendiri juga harus introspeksi. Jangan hanya meneliti untuk menyatakan ‘bahasa ini akan punah’, tapi apa solusi konkret mereka? BRIN punya pusat riset di setiap provinsi, tapi kerja mereka tidak terasa di lapangan,” kritik Herman.
Herman menyayangkan lemahnya upaya pendokumentasian dan revitalisasi bahasa daerah oleh BRIN.
“Jika khawatir bahasa Aceh punah, BRIN harus aktif merekam tutur tua, mengembangkan kamus digital, atau menggandeng sekolah untuk program bilingual. Jangan hanya jadi tukang prediksi kepunahan,” ujarnya.
Ia juga menyindir lemahnya political will pemerintah. “Negara sibuk dengan pembangunan infrastruktur, tapi abai membangun identitas budaya. Bahasa Aceh bisa bertahan 100 tahun lagi atau punah lebih cepat, tergantung keseriusan semua pihak. Tapi selama kebijakan hanya sekadar proyek pencitraan, jangan harap ada kemajuan,” tandasnya.
Jika tak ada intervensi mendesak, Herman memprediksikan bahasa Aceh berpotensi hilang dalam 2-3 generasi. Padahal, kepunahan bahasa bukan sekadar kehilangan kosakata, melainkan runtuhnya kearifan lokal, sejarah, dan identitas masyarakat Aceh.
“Tantangan BRIN dan pemerintah kini adalah mengubah alarm bahaya menjadi aksi nyata sebelum segalanya terlambat,” tutup pria bersahaja ini.
Berita Populer
.jpg)
