Jakarta Terancam Tiga Sumber Gempa Besar
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi - Seismograf, alat pencatat getaran akibat gempa bumi. Foto: Shutterstock
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Jakarta, ibu kota Indonesia, saat ini menghadapi ancaman serius dari tiga sumber gempa yang berpotensi menimbulkan guncangan hebat. Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang dibagikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, ketiga ancaman tersebut adalah:
- Zona Megathrust Jawa Barat
- Zona Megathrust Selat Sunda
- Sesar aktif di daratan (Sesar Baribis, Sesar Lembang, dan Sesar Cimandiri)
Meskipun Jakarta tidak berada tepat di atas zona megathrust, lokasinya yang relatif dekat dengan patahan selatan Jawa membuat kota ini tetap rentan terhadap guncangan dari gempa besar di zona tersebut.
Potensi megathrust yang mengapit Jakarta, kedua zona megathrust yang mengapit Jakarta masing-masing berpotensi menghasilkan gempa dengan magnitudo mencapai 8,7. Megathrust Jawa Barat, dengan panjang 320 km dan lebar 200 km, telah dua kali melepaskan energi besar: pada tahun 1903 (M 8,1) dan 2006 (M 7,8).
Sementara itu, Megathrust Selat Sunda memiliki dimensi panjang 280 km dan lebar 200 km, dengan pergeseran 4 cm per tahun. Gempa besar terakhir di Selat Sunda tercatat pada tahun 1757, menjadikan usia seismic gap-nya 267 tahun.
Ancaman sesar aktif di daratan diinfokan terbagi menjadi tiga sesar aktif di daratan juga menjadi ancaman serius bagi Jakarta:
- Sesar Baribis: Sesar utama di utara Jawa Barat yang pernah menghasilkan gempa signifikan di Karawang pada tahun 1862.
- Sesar Cimandiri: Sesar tertua yang membentang dari Teluk Pelabuhan Ratu hingga ke arah timur laut menuju Subang.
- Sesar Lembang: Terletak di utara Bandung, membentang sekitar 30 kilometer dengan arah barat-timur. Gempa akibat sesar ini pernah terjadi pada 2011, 2017, dan terakhir pada 13 Desember 2021.
Berbicara dampak potensial terhadap Jakarta, Yohan, Kepala Pusat Data dan Informasi BPBD DKI Jakarta, menekankan bahwa gempa dari patahan megathrust dapat mencapai magnitudo 8 hingga 9. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat kepadatan penduduk dan infrastruktur Jakarta.
"Jika terjadi gempa besar dari zona megathrust, Jakarta bisa merasakan guncangan kuat yang mengancam infrastruktur bangunan, khususnya yang tidak memenuhi standar tahan gempa," ujar Yohan.
Kondisi tanah Jakarta yang sebagian besar terdiri dari tanah aluvial dan bekas lahan rawa juga berpotensi memperparah dampak guncangan. Subardjo, mantan Ketua Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA), menambahkan bahwa tanah lunak ini lebih rentan terhadap likuifaksi atau pencairan tanah akibat getaran.
Peringatan dari para ahli datang dari Sri Widiyantoro, ahli Seismolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB), juga menyoroti potensi bahaya dari Megathrust Jawa Tengah bagian barat. Meskipun jaraknya ke Jakarta sekitar 200-300 km, hal ini masih tergolong dekat jika dibandingkan dengan gempa Tohoku 2011 yang berdampak signifikan terhadap Tokyo yang berjarak 400 km dari pusat gempa.
Dengan berbagai ancaman gempa yang mengintai, Jakarta perlu meningkatkan kesiapsiagaan dan memperkuat infrastruktur untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Langkah-langkah mitigasi dan edukasi masyarakat menjadi kunci dalam mengurangi potensi dampak bencana di masa mendatang.