Kisah Soesalit: Putra R.A. Kartini yang Menolak Mengandalkan Nama Besar Ibunya
Font: Ukuran: - +
RM Soesalit Djojoadhiningrat, putra tunggal Raden Ajeng Kartini dengan Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat. Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Nasional - Belakangan ini, kita sering menyaksikan fenomena anak pejabat tinggi negara yang meraih kesuksesan, baik dalam mencari pekerjaan maupun kekuasaan, dengan mengandalkan nama besar orang tua mereka. Mereka seringkali "menjual" nama orang tua untuk mendapatkan simpati dan hormat dari orang lain.
Namun, ada kisah berbeda dari seorang putra tokoh besar Indonesia. Meski namanya tidak setenar sang ibu, R.A. Kartini, Soesalit justru sengaja memilih untuk tidak memanfaatkan kebesaran nama ibunya dalam meniti karier.
Soesalit lahir dalam keluarga terpandang. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Djojadiningrat, adalah Bupati Rembang, sementara ibunya, Kartini, dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita dengan pemikiran yang jauh melampaui zamannya.
Meski memiliki kesempatan untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai bupati, Soesalit dengan tegas menolak tawaran tersebut. Seperti dituturkan Wardiman Djojonegoro dalam buku "Kartini" (2024), meskipun berulang kali diminta oleh keluarganya, Soesalit tetap pada pendiriannya.
Sebagai gantinya, ia memilih bergabung dengan tentara pada tahun 1943. Setelah menjalani pelatihan oleh tentara Jepang, ia bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Pasca kemerdekaan Indonesia, Soesalit menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia, di mana kariernya mulai menanjak.
Sitisoemandari Soeroto dalam "Kartini: Sebuah Biografi" (1979) mencatat bahwa keterlibatan Soesalit dalam berbagai pertempuran melawan Belanda membuatnya cepat naik pangkat dan semakin dikenal. Puncak kariernya terjadi pada 1946 ketika diangkat menjadi Panglima Divisi II Diponegoro, memimpin pasukan yang bertugas menjaga ibukota negara di Yogyakarta.
Selain berkarier di militer, Soesalit juga pernah menjabat posisi sipil, salah satunya sebagai penasihat Menteri Pertahanan di Kabinet Ali Sastroamidjojo pada 1953.
Yang menarik, selama hidupnya, Soesalit tidak pernah menggunakan nama besar Kartini untuk kepentingan pribadi. Padahal, kisah perjuangan ibunya terus menginspirasi banyak generasi, bahkan diabadikan dalam lagu "Ibu Kita Kartini" karya W.R. Soepratman.
Jenderal Nasution, atasan Soesalit, bersaksi bahwa setelah pensiun, Soesalit memilih hidup sederhana sebagai veteran tanpa mengklaim hak-haknya. Padahal, menurut Nasution, Soesalit bisa saja hidup berkecukupan dengan mengaku sebagai putra tunggal Kartini.
Namun, hingga akhir hayatnya pada 17 Maret 1962, Soesalit tetap berpegang pada prinsipnya untuk tidak memanfaatkan nama besar ibunya. Keputusan ini membuatnya hidup sederhana sampai akhir hidupnya, namun meninggalkan teladan tentang integritas dan kemandirian.