DIALEKSIS.COM | Aceh - Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan[1]. Artinya, BPS menentukan Garis Kemiskinan (GK) sebagai ambang batas pengeluaran minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok (makanan dan non-makanan) yang layak.
GK ini dihitung berdasarkan nilai rupiah minimum untuk kebutuhan makanan setara 2.100 kilokalori per kapita per hari (misalnya dari sekitar 52 komoditas pangan dasar seperti beras, telur, tahu/tempe, minyak goreng, sayur, dll), ditambah kebutuhan non-makanan minimum (perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, transport, dll, yang diwakili sekitar 47 - 51 komoditas umum). Dengan kata lain, GK merupakan “garis batas” pengeluaran per kapita per bulan yang membedakan mana penduduk yang tergolong miskin dan tidak.
BPS menetapkan GK secara spesifik per wilayah dengan mempertimbangkan perbedaan harga dan pola konsumsi antar daerah. Data utama yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang digelar BPS dua kali setahun, mencakup ratusan ribu rumah tangga di seluruh Indonesia. GK dihitung terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan di setiap provinsi/kabupaten, karena harga kebutuhan pokok berbeda antara kota dan desa. Akibatnya, nilai GK berbeda di tiap daerah sesuai kondisi setempat.
Sebagai ilustrasi, pada September 2024 GK nasional Indonesia sekitar Rp595 ribu per kapita per bulan, tetapi GK per kapita di DKI Jakarta mencapai sekitar Rp846 ribu per bulan, lebih tinggi dibanding GK di provinsi seperti Nusa Tenggara Timur atau Lampung. Perbedaan ini mencerminkan variasi tingkat harga dan biaya hidup; daerah perkotaan maju cenderung memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi dibanding daerah perdesaan karena kebutuhan minimum di sana lebih mahal.
Setelah nilai GK daerah ditentukan, BPS mengidentifikasi penduduk miskin sebagai penduduk yang rata-rata pengeluaran per kapita per bulannya berada di bawah GK wilayahnya. Pengeluaran yang dimaksud adalah total belanja konsumsi rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga, sehingga mencerminkan pengeluaran per orang.
Dengan pendekatan ini, BPS tidak mengukur pendapatan melainkan pengeluaran riil untuk kebutuhan dasar. Siapapun dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok minimum dan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Indikator Kemiskinan Makro: P0, P1, dan P2
Dalam laporan resmi, BPS menyajikan tiga indikator kemiskinan makro untuk menggambarkan tingkat kemiskinan suatu daerah. Indikator-indikator tersebut yakni:
• Persentase Penduduk Miskin (P0) sering disebut Head Count Index. Indikator ini menunjukkan proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (dalam persen). Cara menghitungnya sederhana: jumlah penduduk miskin dibagi total penduduk di wilayah tersebut, dikalikan 100%. Inilah angka kemiskinan yang paling populer digunakan untuk membandingkan kemiskinan antar daerah atau waktu. Contohnya, jika suatu kabupaten memiliki P0 = 10%, artinya 10% penduduk di sana tergolong miskin menurut kriteria BPS.
• Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) disebut juga Poverty Gap Index. P1 mengukur rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks ini mencerminkan seberapa jauh, secara rata-rata, tingkat pengeluaran orang-orang miskin berada di bawah GK. Semakin tinggi nilai P1, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan, yang berarti semakin dalam tingkat kemiskinannya. Sebagai ilustrasi, P1 = 4% bisa diartikan bahwa secara rata-rata penduduk miskin kekurangan 4% dari nilai GK untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
• Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) dikenal sebagai Poverty Severity Index. P2 memberikan informasi mengenai penyebaran (pemerataan) tingkat pengeluaran di antara penduduk miskin. Indeks ini memperhitungkan tingkat ketimpangan di kalangan orang miskin dengan menimbang kesenjangan pengeluaran (dengan kuadrat, sehingga memberi bobot lebih besar pada yang paling miskin). Semakin tinggi nilai P2, semakin parah dan timpang kondisi kemiskinan di wilayah tersebut. Indeks P2 yang tinggi berarti di samping banyaknya orang miskin, kondisi sebagian penduduk miskin di sana jauh lebih buruk daripada yang lain (banyak yang sangat miskin).
Ketiga indikator di atas saling melengkapi untuk memberikan gambaran utuh. P0 menunjukkan berapa banyak penduduk miskin, sedangkan P1 menunjukkan seberapa dalam kemiskinan dialami, dan P2 menunjukkan seberapa parah/timpang tingkat kemiskinan di kelompok tersebut. Sebagai contoh, dua wilayah bisa saja memiliki P0 yang sama (misal sama-sama 10% penduduknya miskin), tetapi jika Wilayah A memiliki P1 dan P2 lebih tinggi dibanding Wilayah B, maka kemiskinan di Wilayah A secara rata - rata lebih dalam dan lebih parah daripada di Wilayah B.
Hal ini memungkinkan analisis yang lebih mendalam: tidak cukup melihat persentasenya saja, tetapi juga kondisi rata-rata dan kesenjangan di antara penduduk miskin. Bagi pembuat kebijakan, indikator P1 dan P2 membantu mengidentifikasi apakah perlu intervensi lebih untuk mengurangi gap dan membantu kelompok termiskin di suatu daerah, terutama bila kemiskinannya sangat dalam.
Menentukan dan Melabelkan “Daerah Termiskin”
Dalam konteks statistik BPS, daerah termiskin umumnya merujuk pada wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan (P0) tertinggi dibanding wilayah lain. Karena P0 merupakan ukuran headline yang paling mudah dipahami, perbandingan antar daerah sering difokuskan pada persentase penduduk miskin ini. BPS secara rutin merilis data P0 setiap tahun (bahkan per semester) untuk tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Data inilah yang menjadi dasar penentuan peringkat kemiskinan suatu daerah. Wilayah dengan P0 tertinggi akan menempati posisi teratas sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan paling tinggi, yang dalam istilah awam disebut “termiskin”. Sebaliknya, wilayah dengan P0 terendah dianggap paling sedikit kemiskinannya.
Gambar: Daftar 10 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi (persentase penduduk miskin) di Indonesia pada Maret 2025 menurut data BPS. Terlihat Provinsi Papua Pegunungan menempati peringkat pertama dengan sekitar 30,03% penduduk di bawah garis kemiskinan, diikuti Papua Tengah 28,9%, Papua Barat 20,66%, Papua Selatan 19,71%, Papua (induk) 19,16%, dan seterusnya hingga Aceh 12,33%. Wilayah-wilayah di Pulau Papua dan Nusa Tenggara cenderung menempati posisi teratas kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir.[16][17]
Sebagai contoh dari grafik di atas, Provinsi Papua Pegunungan dapat dikatakan provinsi termiskin pada awal 2025 karena sekitar 30% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan “ tertinggi secara nasional. Demikian pula, provinsi - provinsi lain di Papua dan sekitarnya menempati urutan atas dalam tingkat kemiskinan. Sementara itu, provinsi dengan persentase kemiskinan terendah (misalnya Bali atau DKI Jakarta, yang angkanya di bawah 5%) dianggap lebih sejahtera secara relatif.
Label “termiskin” di sini sifatnya relatif berdasarkan peringkat P0; BPS tidak memiliki kategori resmi seperti “kabupaten miskin” atau “provinsi miskin” secara absolut, melainkan menyajikan angka - angka kemiskinan yang kemudian dibandingkan. Media dan publik sering menyederhanakan hal ini dengan menyebut daerah P0 tertinggi sebagai daerah termiskin. Penting dipahami bahwa istilah tersebut muncul dari hasil perbandingan statistik, bukan penetapan kebijakan tertentu.
Perlu juga ditekankan bahwa data kemiskinan BPS bersifat makro agregat. BPS tidak menunjuk secara spesifik siapa atau rumah tangga mana yang miskin (data mikro by name by address bukan ranah BPS, melainkan ranah Kementerian Sosial untuk penyaluran bantuan). Metodologi BPS menghasilkan perkiraan jumlah dan persentase penduduk miskin di suatu wilayah tanpa menyebut identitas individu.
Jadi, label “daerah termiskin” hanya berarti secara statistik wilayah tersebut memiliki proporsi penduduk miskin paling besar, bukan berarti setiap orang di wilayah itu miskin. Di dalam wilayah yang “termiskin” sekalipun, masih ada penduduk yang tidak miskin; demikian pula di wilayah yang relatif makmur tetap ada kantong-kantong penduduk miskin. BPS memberikan gambaran makro ini sebagai landasan pembuat kebijakan untuk mengarahkan program penanggulangan kemiskinan ke daerah yang paling membutuhkan.
Kondisi 5 Tahun Terakhir dan Rencana Penyempurnaan Metodologi
Dalam lima tahun terakhir (sekitar 2018 - 2023), metodologi pengukuran kemiskinan BPS seperti dipaparkan di atas secara umum tetap konsisten digunakan. BPS telah memakai konsep basic needs dengan garis kemiskinan berbasis 2.100 kkal dan komoditas dasar ini sejak akhir 90-an (tahun 1998) tanpa perubahan besar.
Hasilnya, tren kemiskinan Indonesia menunjukkan penurunan perlahan: misalnya persentase penduduk miskin nasional turun dari sekitar dua digit pada awal dekade menjadi sekitar 9 - 10% dan bahkan 8,5% pada 2024. Meski begitu, tantangan kemiskinan masih terkonsentrasi di daerah-daerah timur Indonesia seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara yang secara konsisten mencatat angka kemiskinan tertinggi setiap tahunnya.
Pemerintah dan BPS menyadari bahwa seiring perubahan pola konsumsi dan standar hidup, komponen garis kemiskinan perlu diperbarui agar lebih mencerminkan kondisi terkini. Mulai 2023 - 2024, BPS bersama kementerian terkait tengah mengkaji penyempurnaan metodologi kemiskinan nasional yang telah digunakan sejak 1998 tersebut.
Rencananya, kriteria dan komponen GK akan disesuaikan dengan perkembangan zaman misalnya mempertimbangkan pola konsumsi dan garis kemiskinan baru yang lebih tinggi sesuai status Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah. Perubahan ini diharapkan membuat data kemiskinan lebih realistis dan relevan dengan kondisi tahun terkini, sekaligus menjaga kredibilitas statistik publik. Meskipun demikian, hingga periode lima tahun ke belakang data resmi BPS tetap menggunakan metodologi lama. Semua perbandingan “daerah termiskin” yang disajikan kepada publik didasarkan pada metodologi tersebut, sehingga komparabilitas antar waktu dan antar daerah terjaga.
Apabila metodologi baru diterapkan di masa mendatang, BPS kemungkinan akan melakukan penyesuaian data historis atau memberikan catatan footnote agar interpretasi “daerah termiskin” tetap konsisten dan dapat dibandingkan secara adil.
Kesimpulannya, BPS melabelkan atau menyimpulkan suatu daerah sebagai “termiskin” berdasarkan indikator statistik terutama persentase penduduk miskin (P0) yang dihitung melalui metodologi kemampuan kebutuhan dasar. Metodologi ini mencakup penentuan garis kemiskinan dari kebutuhan pokok minimal dan pendataan pengeluaran rumah tangga melalui survei.
Dengan indikator P0, P1, dan P2, BPS memberikan gambaran tidak hanya berapa banyak penduduk miskin di suatu daerah, tetapi juga kedalaman dan keparahan kemiskinannya. Hal ini sangat informatif bagi publik dan pemerintah untuk memahami kondisi kemiskinan secara obyektif dan terukur, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat diarahkan ke daerah yang tepat dan sesuai tingkat permasalahannya. Semua informasi di atas merupakan cara BPS menjelaskan kemiskinan ke publik secara benar dan berdasarkan data, sehingga label “daerah termiskin” dipahami dalam konteks angka dan metodologi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.