kip lhok
Beranda / Data / Samudra Pasai: Kejayaan Perdagangan Islam di Tepi Selat Malaka

Samudra Pasai: Kejayaan Perdagangan Islam di Tepi Selat Malaka

Selasa, 15 Oktober 2024 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi kerajaan samudra pasai. Foto: net


DIALEKSIS.COM | Nasional - Di ujung utara Sumatra, sebuah kerajaan Islam menyemai bibit peradaban baru. Samudra Pasai, yang berdiri kokoh di tahun 1267, tidak hanya menjadi pionir Islam di Nusantara, tetapi juga membuka lembaran baru dalam sejarah perdagangan maritim Indonesia.

Meurah Silu, sang pendiri, memilih lokasi strategis di muara Sungai Peusangan, Aceh. Keputusan yang kelak mengantarkan Samudra Pasai ke panggung perdagangan internasional. Silu, yang kemudian bergelar Sultan Malik Al-Saleh, memadukan dua kerajaan: Pase dan Perlak. Langkah cerdas ini meletakkan fondasi kokoh bagi imperium dagang yang akan mendunia.

Mengapa Samudra Pasai begitu memikat para saudagar? Jawabannya terletak pada tiga pilar: geografi, politik, dan ekonomi.

Sentuhan Alam yang Menguntungkan

"Letak adalah takdir," begitu kira-kira Muhammad Gade Ismail menulis dalam bukunya "Pasai dalam Perjalanan Sejarah" (1997). Samudra Pasai seolah ditakdirkan menjadi emporium. Terhampar di antara dua sungai besar, Pasai dan Peusangan, kerajaan ini menghadap langsung ke Selat Malaka—jalur sutra maritim yang menghubungkan Timur dan Barat.

Aroma rempah dan deru kapal layar menjadi pemandangan sehari-hari di pelabuhan Samudra Pasai. Para pedagang dari Tiongkok, India, Siam, Arab, hingga Persia silih berganti memadati dermaga, menukar barang dagangan dan berbagi cerita dari negeri jauh.

Diplomasi Rempah yang Lihai

Namun, letak strategis saja tidak cukup. Para penguasa Samudra Pasai memainkan kartu politik dengan cerdik. Mereka menjalin aliansi dengan kekuatan-kekuatan besar pada masanya. Catatan sejarah mengabadikan misi diplomatik ke Kekaisaran Tiongkok pada tahun 1282, di mana dua utusan, Sulaiman dan Samsuddin, menghadap kaisar Mongol.

Tidak hanya itu, Samudra Pasai juga menjadi mercusuar Islam di kawasan. Para pedagang Muslim dari berbagai penjuru dunia menemukan 'rumah' di sini. Bahkan, putri Samudra Pasai dipersunting oleh Raja Malaka—sebuah aliansi politik yang brilian.

Runtuhnya Sriwijaya di abad ke-13 membuka peluang emas bagi Samudra Pasai. Dengan cepat, mereka mengambil alih kendali perdagangan di Selat Malaka, mengukuhkan posisi sebagai pelabuhan utama di kawasan.

Komoditas Emas yang Mendunia

Lada, sutra, kapur barus, dan emas. Empat komoditas ini menjadi magnet yang menarik para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Samudra Pasai tidak hanya menjual, tetapi juga menjadi hub transit barang-barang eksotis dari berbagai negeri.

Kemakmuran Samudra Pasai tercermin dari penggunaan mata uang emas, Deureuham atau dirham. Setiap kapal asing yang berlabuh dikenai pajak 6%—bukti sistem ekonomi yang telah maju pada masanya.

Samudra Pasai adalah bukti bahwa Indonesia telah lama menjadi pemain kunci dalam perdagangan global. Kerajaan ini tidak hanya menulis sejarah Islam di Nusantara, tetapi juga mengukir nama Indonesia dalam peta perdagangan dunia. Kejayaan Samudra Pasai menjadi pengingat akan potensi maritim Indonesia yang tak terbatas—sebuah warisan yang patut direnungkan di era modern ini.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda