Kamis, 28 Agustus 2025
Beranda / Data / Terungkap, Kapan Aceh Mulai Menyandang Predikat Provinsi Termiskin

Terungkap, Kapan Aceh Mulai Menyandang Predikat Provinsi Termiskin

Kamis, 28 Agustus 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Prof. Dr. Herman Fithra, S.T., M.T., IPM., ASEAN.Eng Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal). Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Provinsi Aceh yang kaya sumber daya alam justru sering menjadi sorotan karena tingkat kemiskinannya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Aceh menyandang predikat sebagai provinsi termiskin di Sumatra sejak tahun 2002. Pada tahun tersebut di tengah konflik separatis yang berkecamuk persentase penduduk miskin Aceh melonjak hingga 29,83%, tertinggi dibanding provinsi Sumatra lainnya. Kondisi ini sangat kontras mengingat Aceh juga menerima dana otonomi khusus yang besar pasca damai. Lantas, bagaimana perjalanan kemiskinan Aceh dari masa konflik hingga kini, dan faktor apa saja yang menjadi penyebabnya?

Potret kehidupan warga di Aceh. Meskipun kaya sumber daya dan mendapat dana otonomi khusus, Aceh selama bertahun-tahun dicap sebagai daerah termiskin di Sumatra.

Lonjakan kemiskinan Aceh awal 2000-an tak lepas dari situasi konflik yang berkepanjangan. BPS mencatat tahun 1999 penduduk miskin Aceh masih 14,75%, namun angka ini hampir dua kali lipat menjadi 29,83% pada 2002. Peningkatan drastis tersebut dikaitkan dengan memburuknya kondisi keamanan akibat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada periode itu. Kekacauan dan instabilitas ekonomi semasa darurat militer membuat Aceh menempati urutan pertama tingkat kemiskinan di Sumatra mulai 2002. Dengan kata lain, sejak masa konflik Aceh sudah menyandang label provinsi termiskin se-Sumatra dan bahkan peringkat keenam termiskin secara nasional.

Momentum perdamaian pada Agustus 2005 (MoU Helsinki) membawa harapan perbaikan ekonomi Aceh. Namun, bencana alam gempa dan tsunami 2004 turut menghantam kondisi sosial-ekonomi. Pascatsunami, tingkat kemiskinan Aceh tercatat 28,69% pada tahun 2005 masih hampir setara puncak masa konflik. Artinya, masa konflik dan bencana alam besar meninggalkan Aceh dalam kondisi kemiskinan parah di awal periode damai.

Selepas konflik, Aceh mendapat kucuran Dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2008 yang bertujuan mempercepat pemulihan ekonomi. Bertahap, angka kemiskinan Aceh menurun dari level ~20% lebih pada akhir 2000-an menjadi 18,05% (Maret 2014). Tren penurunan terus berlanjut hingga mencapai 15,01% pada September 2019. Penurunan rata-rata ~0,87 poin persen per tahun selama 2002“2019 menjadikan Aceh salah satu provinsi dengan laju penurunan kemiskinan tercepat di Sumatra. BPS bahkan memproyeksikan jika tren ini konsisten, kemiskinan Aceh bisa mencapai satu digit (% di bawah 10) dalam beberapa tahun ke depan.

Awal 2020 menjadi titik penting: BPS melaporkan penduduk miskin Aceh Maret 2020 turun tipis ke 14,99%, sehingga untuk pertama kalinya Aceh bukan lagi yang termiskin di Sumatra. Predikat tersebut saat itu beralih ke Provinsi Bengkulu dengan kemiskinan 15,03%. Namun pencapaian ini tak bertahan lama. Pandemi COVID-19 yang melanda segera berdampak pada ekonomi rakyat; pada September 2020, kemiskinan Aceh naik lagi menjadi 15,43%. Alhasil, Aceh kembali menempati posisi puncak termiskin di Sumatra saat itu.

Memasuki 2021 - 2022, kondisi berangsur membaik seiring pemulihan ekonomi. Tingkat kemiskinan Aceh berhasil turun konsisten, hingga mencapai 14,75% di September 2022 angka yang secara simbolis sama dengan kondisi pra konflik 1999. Tren penurunan berlanjut dan makin cepat BPS Aceh mencatat kemiskinan Aceh susut menjadi 12,64% pada September 2024. Ini merupakan level terendah Aceh dalam dua dekade, turun lebih dari 50% dari puncaknya di masa konflik.

Per Maret 2025, persentase penduduk miskin Aceh turun lagi ke sekitar 12,3%, setara 704 ribu jiwa (berkurang 14 ribu orang dari akhir 2024). Meskipun demikian, angka tersebut masih tertinggi di Pulau Sumatra menunjukkan Aceh belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang predikat termiskin.

Dari diskusi Dialeksis.com bersama Prof. Dr. Herman Fithra, S.T., M.T., IPM., ASEAN.Eng Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) menemukan beberapa penyebab disampaikan sang rektor terkenal humble (rendah hati).

Menurutnya karena dampak konflik berkepanjangan & Bencana, puluhan tahun konflik (1976 - 2005) menghancurkan infrastruktur dan aktivitas ekonomi, terbukti saat puncak konflik kemiskinan melonjak drastis tahun 2002.

“Belum pulih dari konflik, Aceh dihantam tsunami 2004 yang memperparah kemiskinan (mencapai ~28,7% pada 2005). Trauma konflik dan bencana menyisakan tantangan besar bagi pemulihan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Hal mirisnya disampaikan Prof Herman faktor penyebab angka kemiskinan tinggi di Aceh, salah urus dan maraknya korupsi anggaran pasca damai.

“Aceh menerima dana Otsus triliunan rupiah setiap tahun. Ironisnya, alokasi anggaran besar ini dinilai belum dikelola dengan baik dan cenderung salah urus. Triliunan rupiah dana Otsus serta sumber anggaran lainnya selama ini hanya dinikmati segelintir orang dan kurang menyentuh rakyat miskin,” jelasnya.

Bahkan para pakar menilai mismanajemen ini menjadi alasan kenapa kemiskinan tak kunjung lepas dari Aceh meski dana melimpah. Indikasi korupsi dan inefisiensi program pemerintah daerah turut menghambat penurunan kemiskinan.

Faktor lain penyebab kemiskinan di Aceh, menurut sang rektor Unimal, yakni minimnya ketersediaan lapangan kerja & ketergantungan sektor primer.

“Struktur ekonomi Aceh masih didominasi sektor pertanian tradisional. BPS mencatat lebih dari 54% penduduk miskin Aceh bekerja di sektor pertanian umumnya petani skala kecil. Sektor industri dan jasa berkembang lambat, sehingga peluang kerja formal non-pertanian sangat terbatas,” ungkapnya.

“Meskipun anggaran besar telah dikucurkan, hal itu belum mampu membuka banyak lapangan kerja baru di Aceh. Tingginya angka pengangguran terbuka di Aceh beberapa tahun terakhir turut mengindikasikan terbatasnya kesempatan kerja produktif bagi angkatan muda,” rincinya lagi.

Dari sisi rendahnya Kualitas SDM manusianya di Aceh menurutnya menjadi faktor berpengaruh angka kemiskinan masih tinggi di Aceh. “Tingkat pendidikan masyarakat miskin relatif rendah banyak penduduk miskin berpendidikan SD/SMP. Rata - rata lama sekolah (RLS) di Aceh masih di bawah beberapa provinsi lain, yang berkolerasi dengan tingkat kemiskinan,” ujarnya.

Berbagai penelitian menunjukkan rendahnya pendidikan memiliki hubungan signifikan dengan tingginya kemiskinan di Aceh. Keterampilan dan produktivitas yang rendah membuat penduduk rentan terjebak dalam pekerjaan berupah rendah, sehingga sulit keluar dari kemiskinan.

Lantas ketika ditanyakan Dialeksis solusi mengatasinya, Prof Herman selaku Rektor Unimal menyampaikan upaya penanggulangan kemiskinan di Aceh, melalui perbaikan tata kelola dana Otsus, penguatan sektor UMKM, hingga peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasional terus diupayakan. Hingga perkuat industrisasi pertanian agar menghasil nilai tambah lebih secara ekonomi.

“Jika itu semua dilakukan saya yakin Aceh bisa terlepas dari status daerah miskin dan meraih kesejahteraan untuk masyarakatnya . Namun demikian, tren penurunan angka kemiskinan dalam dua dekade terakhir memberi sinyal bahwa perubahan bukanlah hal mustahil. Dengan perbaikan tata kelola, keberanian memberantas praktik korupsi, serta konsistensi membangun sektor produktif dan meningkatkan mutu pendidikan, Aceh berpeluang keluar dari stigma provinsi termiskin di Sumatra,” rincinya.

“Harapan itu kini berada di tangan para pemimpin daerah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat Aceh sendiri. Sebab pada akhirnya, perjuangan menghapus kemiskinan bukan semata soal angka statistik, melainkan tentang mewujudkan harkat dan martabat rakyat Aceh agar berdiri sejajar dengan provinsi lain di Indonesia,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
17 Augustus - depot
sekwan - polda
damai -esdm
bpka