DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Monitoring jejak digital terhadap rilis Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren pengangguran di Aceh yang masih bergerak fluktuatif sepanjang 2022-2025. Kendati sempat menunjukkan perbaikan, angka pengangguran Aceh belum benar-benar stabil dan masih sangat bergantung pada dinamika sektor informal serta kinerja makro ekonomi.
Data BPS menunjukkan bahwa pada Agustus 2022, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh berada di angka 6,17 persen, atau sekitar 158 ribu orang. Setahun kemudian, tepatnya Februari 2023, angka tersebut turun menjadi 5,75 persen dan jumlah pengangguran diperkirakan di kisaran 149 ribu orang.
Perbaikan kembali terjadi pada Februari 2024, ketika TPT Aceh turun ke posisi 5,56 persen. Estimasi jumlah pengangguran periode ini mencapai 145 ribu orang, angka terendah dalam empat tahun terakhir. BPS menilai penurunan ini dipengaruhi meningkatnya serapan tenaga kerja pascapandemi, terutama pada sektor perdagangan dan jasa informal yang kembali menggeliat.
Namun, tren tersebut tidak bertahan lama. Pada Agustus 2024, jumlah pengangguran kembali naik menjadi 153 ribu orang, atau setara dengan TPT 5,75 persen. Lonjakan ini kembali mengonfirmasi masih terbatasnya daya serap pasar kerja akibat rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah. Kenaikan jumlah angkatan kerja tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja baru yang salah satunya akibat minimnya investasi swasta.
Memasuki Februari 2025, BPS merilis angka terbaru yang menunjukkan TPT 5,50 persen dengan jumlah pengangguran sekitar 149 ribu orang. Meski terlihat menurun dibandingkan Agustus 2024, angka tersebut belum menandai stabilitas pasar tenaga kerja. Tren fluktuatif tetap terasa, dan kondisi struktural pasar kerja Aceh masih menghadapi tekanan.
Seorang pejabat BPS Aceh yang dikonfirmasi Dialeksis menyebut bahwa dinamika pengangguran Aceh tidak bisa dilepaskan dari dua faktor utama: pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan minimnya ekspansi lapangan kerja formal.
“Setiap tahun angkatan kerja bertambah, tapi penyerapan di sektor formal tidak tumbuh sebesar kenaikannya. Inilah yang membuat angka pengangguran tampak naik-turun dan belum stabil,” ujar Analis Statistik BPS Aceh, yang meminta namanya tidak dipublikasikan dalam laporan ini.
Ia menambahkan bahwa sektor dominan Aceh seperti pertanian, perikanan, perdagangan mikro, dan jasa informal bersifat sangat musiman. “Begitu ada tekanan di komoditas atau cuaca, pola serapan tenaga kerja langsung berubah,” jelasnya.
Dari sisi ahli ekonomi, Dr. Rustam Effendi, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK), menilai persoalan pengangguran Aceh merupakan isu struktural yang membutuhkan terobosan kebijakan, bukan hanya intervensi jangka pendek.
“Sejak lama kita bergantung pada sektor primer dan informal. Sementara itu, Aceh belum berhasil membangun industri pengolahan yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Selama tidak ada transformasi struktural, dalam artian tidak memperkuat sektor sekundernya, tren pengangguran Aceh ini akan terus fluktuatif,” jelasnya kepada Dialeksis, 22 November 2025.
Dr. Rustam menambahkan bahwa masalah utama Aceh bukan semata kecilnya pertumbuhan lapangan kerja, tetapi juga ketidaktepatan orientasi pembangunan. Selama ini, kata dia, kebijakan ekonomi Aceh cenderung berfokus pada aktivitas konsumtif, bukan produktif.
“Kita masih sibuk menggelar program seremonial, bantuan sosial, atau proyek-proyek jangka pendek. Padahal, yang dibutuhkan adalah pembangunan basis industri (manufaktur), peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan keberanian pemerintah mengambil langkah reformasi ekonomi yang lebih strategis,” tegasnya.
Menurut Dr. Rustam, setidaknya ada tiga langkah yang mendesak dilakukan pemerintah Aceh:
1. Hilirisasi komoditas unggulan seperti kopi, sawit, dan perikanan untuk membuka lapangan kerja industri baru.
2. Penguatan UMKM berbasis teknologi dan digitalisasi agar mampu naik kelas dan tidak stagnan di sektor perdagangan tradisional.
3. Revitalisasi pendidikan vokasi yang benar-benar selaras dengan kebutuhan pasar kerja, bukan sekadar formalitas pelatihan.
Ia menilai, selama pemerintah hanya mengandalkan program padat karya dan infrastruktur tanpa mendorong industrialisasi dan investasi jangka panjang, maka angka pengangguran tidak akan berubah signifikan.
“Tidak ada negara yang sukses menekan pengangguran tanpa industri yang kuat dengan memadukan teknologi. Ini prinsip dasar ekonomi pembangunan. Aceh harus berani masuk ke fase transformasi struktural,” ujarnya menegaskan.
Melihat data tiga tahun terakhir, terlihat jelas bahwa Aceh mengalami pola yang hampir sama setiap tahunnya:
• Turun pada awal tahun (Februari) saat sektor perdagangan dan jasa meningkat.
• Naik pada pertengahan tahun (Agustus) ketika sektor pertanian dan kelautan terdampak musim serta ketidakpastian komoditas.
Pola ini menggambarkan betapa Aceh masih sangat bergantung pada sektor-sektor musiman yang rentan guncangan. Tanpa diversifikasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan, tren ini diperkirakan terus berulang.
Tabulasi Tren Pengangguran Aceh 2022-2025
Tahun/Periode TPT (%) Estimasi Pengangguran
Agustus 2022 6,17% ±158.000 orang
Februari 2023 5,75% ±149.000 orang
Februari 2024 5,56% ±145.000 orang
Agustus 2024 5,75% ±153.000 orang
Februari 2025 5,50% ±149.000 orang
Berdasarkan seluruh data dan analisis, terlihat bahwa Aceh masih menghadapi tantangan serius dalam menjaga stabilitas pasar kerja. Fluktuasi yang terus berulang menunjukkan bahwa penciptaan lapangan kerja belum sejalan dengan pertumbuhan angkatan kerja.
“Transformasi struktural mulai dari hilirisasi komoditas, mendorong industri baru, hingga memperkuat ekosistem investasi dan digitalisasi adalah kunci untuk menurunkan pengangguran secara berkelanjutan. Tanpa langkah ini, kita hanya akan berputar pada pola yang sama setiap tahun,” tutup Dr. Rustam kepada Dialeksis.