DIALEKSIS.COM Banda Aceh - Provinsi ini terletak pada bagian ujung utara Pulau Sumatra yakni Aceh merupakan provinsi dengan garis pantai mencapai 2.666 km, sehingga secara potensi seharusnya mampu memenuhi kebutuhan garamnya sendiri. Namun, data menunjukkan produksi garam lokal Aceh masih fluktuatif dan jauh di bawah kebutuhan.
Monitoring redaksi Dialeksis terhadap data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Aceh mengungkap tren produksi garam 2020-2024, profil para produsen garam skala kecil, serta upaya pengembangan sentra-sentra garam baru di Aceh untuk mengejar ketertinggalan produksi.
Tren Produksi Garam Aceh (2020-2024)
Produksi garam Aceh cenderung naik-turun selama periode 2020 hingga 2024. Berikut data produksi garam rakyat Aceh per tahun menurut DKP Aceh:
1. 2020: Sekitar 9.659 ton garam diproduksi. Kapasitas produksi awal ini menjadi baseline sebelum ada peningkatan signifikan.
2. 2021: Produksi melonjak mencapai 13.495 ton, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Peningkatan ini diduga hasil ekstensifikasi lahan tambak dan kondisi cuaca yang mendukung.
3. 2022: Produksi sedikit menurun ke 12.013 ton. Meski turun dari 2021, angka ini masih lebih tinggi dibanding 2020.
4. 2023: Produksi anjlok menjadi 9.389 ton, terendah selama lima tahun. Faktor cuaca diduga berpengaruh musim penghujan lebih panjang sehingga waktu produksi garam berkurang.
5. 2024: Produksi melonjak kembali hingga 12.518 ton (sekitar 117% dari target 10.700 ton). Pencapaian ini didukung musim kemarau yang lebih panjang dan penerapan teknologi pergaraman yang lebih baik.
Tren di atas menunjukkan fluktuasi: sempat mencapai puncak pada 2021, turun drastis di 2023, lalu naik lagi pada 2024. DKP Aceh menjelaskan kenaikan 2024 terjadi karena cuaca yang mendukung (panas lebih panjang) dan program ekstensifikasi lahan serta inovasi teknologi yang meningkatkan produktivitas garam. Sebaliknya, tahun 2023 yang basah menyebabkan produksi tidak optimal.
Kesenjangan Kebutuhan dan Produksi
Kebutuhan garam di Aceh jauh melebihi produksi lokal. DKP Aceh menyebut kebutuhan garam Provinsi Aceh mencapai 46 ribu ton per tahun terdiri dari 36 ribu ton untuk kebutuhan industri dan 10 ribu ton untuk konsumsi rumah tangga. Dengan produksi tahunan lokal yang hanya sekitar 9“13 ribu ton, Aceh baru mampu memenuhi ~20“25% dari total kebutuhan garamnya. Sisanya terpaksa dipasok dari luar daerah.
Bahkan, data BPS mencatat Aceh masih mengimpor garam dan komoditas terkait. Contohnya pada Mei 2020, Aceh mengimpor garam (bersama belerang dan kapur) senilai US$ 244 ribu dari Thailand mencapai 99,36% dari total impor non-migas Aceh bulan itu. Hal ini menegaskan bahwa produksi garam lokal belum mampu menutupi kebutuhan, terutama untuk industri.
Pemerintah Aceh menyadari ketimpangan ini. Target produksi pun dinaikkan setiap tahun, misalnya 10.700 ton pada 2025. Hingga Agustus 2025, realisasi produksi sudah 9,44 juta kg (9.440 ton) atau sekitar 88% dari target. Meski optimis akan mendekati target, gap antara produksi (~10 ribu ton) dan kebutuhan (46 ribu ton) tetap lebar.
Profil Produsen Garam: Didominasi Skala Kecil
Hingga kini, produsen garam Aceh mayoritas adalah usaha rumahan dan petani garam tradisional. Produksi garam Aceh selama ini pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lokal, belum skala industri. Para produsen mengolah garam secara tradisional, baik dengan metode garam rebus (air laut diuapkan dengan direbus) maupun garam jemur (mengeringkan air laut di lahan tambak).
Faktanya masih ada petani garam tradisional Aceh sedang merebus air laut untuk menghasilkan garam. Produksi garam Aceh umumnya masih menggunakan cara rebus tradisional dengan bahan bakar kayu, sehingga kapasitas terbatas dan biaya tinggi.
Contoh produsen skala kecil ialah Kelompok Petani Garam Lam Ujong di Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Kelompok ini beranggotakan 35 orang petani garam, masing-masing mengelola dapur garam sendiri. Setiap dapur mampu menghasilkan sekitar 150 kg garam per hari, sehingga total produksi kelompok bisa mencapai 3 ton per hari dalam kondisi optimal. Metode yang dipakai adalah garam rebus menggunakan tungku kayu bakar, metode yang umum di Aceh Besar dan sekitarnya.
Di kabupaten Pidie dan Bireuen, sebagian petani juga menggunakan metode garam jemur (kristalisasi di ladang tambak) terutama saat musim kemarau panjang. Namun, porsi garam jemur masih kecil dibanding garam rebus. Pada 2024, dari total produksi 12.380 ton garam Aceh, sekitar 11.614 ton (94%) dihasilkan dengan cara direbus, sedangkan hanya 765 ton (6%) yang diproduksi dengan cara dijemur. Ini menunjukkan dominannya teknik tradisional rebus, yang umumnya skala kecil dan tidak kontinu produksinya.
Hingga akhir 2025, Aceh belum memiliki industri garam skala besar. “Produsen garam (di Aceh) masih dalam bentuk usaha rumahan atau skala kecil, belum menjadi industri. Kalau usaha rumahan, produksi tidak kontinu,” ujar Kepala DKP Aceh, Aliman saat menjabat.
Untuk itu, pemerintah Aceh mendorong masuknya investor membangun pabrik garam berstandar SNI di Aceh. Tujuannya agar kebutuhan garam industri (36 ribu ton per tahun) bisa dipenuhi tanpa tergantung pasokan luar. Langkah ini diharapkan sekaligus meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam lokal secara berkelanjutan.
Sentra Produksi Garam dan Potensi Daerah Baru
Saat ini terdapat 8 kabupaten di Aceh yang menjadi sentra produksi garam rakyat. Kedelapan daerah pesisir tersebut yaitu: Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat Daya (Abdya), dan Aceh Selatan. Wilayah-wilayah ini memiliki lahan tambak garam tradisional dan komunitas petani garam aktif sejak lama. Kontribusi produksinya bervariasi, dengan Kabupaten Pidie menonjol sebagai penghasil garam terbesar di Aceh. Pada tahun 2024, Pidie menghasilkan lebih dari 5.000 ton garam (tertinggi di Aceh).
Disusul Bireuen sekitar 2.446 ton, Pidie Jaya ~1.775 ton, serta Aceh Besar dan Aceh Utara masing-masing di atas 1.200 ton. Adapun Aceh Timur, Abdya, dan Aceh Selatan produksinya relatif kecil (ratusan ton per tahun). Distribusi ini sejalan dengan luas lahan garam dan jumlah petani aktif di tiap daerah.
Melihat potensi wilayah lain, pemerintah Aceh kini mengembangkan tiga daerah baru sebagai sentra garam unggulan, yakni Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Jaya, dan Simeulue.
Ketiga wilayah pesisir ini sebelumnya belum tergarap maksimal, padahal memiliki kandungan garam air laut tinggi (salinitas >95%) yang sangat mendukung usaha tambak garam. Gubernur Aceh telah menetapkan ketiga kabupaten tersebut sebagai kawasan pengembangan pergaraman baru. Dengan penambahan ini, nantinya akan ada 11 kabupaten produsen garam di Aceh (dari 23 kabupaten/kota yang ada).
Upaya ekspansi sentra garam tersebut diharapkan dapat mendongkrak produksi garam Aceh dalam beberapa tahun ke depan. Jika semua 11 daerah pesisir tersebut berproduksi optimal, kapasitas produksi berpotensi mendekati kebutuhan lokal. Sebagai gambaran, pada 2024 delapan daerah lama mampu menghasilkan total 12.380 ton garam.
Dengan tambahan tiga sentra baru dan dukungan teknologi (misal geomembran untuk garam jemur, atau pabrik garam terintegrasi), Aceh menargetkan swasembada garam konsumsi dan mengurangi ketergantungan impor secara bertahap menuju 2025“2027[5].
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun tren produksi menunjukkan perbaikan di 2024, tantangan pengembangan garam Aceh masih besar. Produksi sangat bergantung cuaca (musim kemarau/penghujan), teknik produksi banyak yang masih tradisional, dan alih fungsi lahan di beberapa daerah pesisir mengancam area tambak garam. Selain itu, harga garam lokal yang kurang stabil membuat sebagian petani enggan berproduksi maksimal karena risiko kerugian tinggi.
Namun, harapan tetap ada seiring perhatian pemerintah dan berbagai inisiatif. Program nasional Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGaR) telah berjalan untuk memberdayakan petambak garam dan mendorong swasembada garam. Pelatihan-pelatihan kualitas (seperti sosialisasi garam higienis berstandar SNI di Aceh Besar) juga digalakkan agar garam Aceh berdaya saing.
Dengan penambahan sentra baru dan kemungkinan berdirinya pabrik garam industri di Aceh, produksi garam Aceh diharapkan terus meningkat. Apabila kapasitas lokal bisa mendekati kebutuhan 46 ribu ton/tahun, Aceh tidak hanya dapat memenuhi konsumsi sendiri tapi juga berkontribusi mengurangi impor garam nasional.
Potensi wilayah pesisir Aceh yang luas dan kaya akan “emas putih” ini diharapkan dapat tergarap optimal, sehingga ke depan Aceh bisa swasembada garam dan meningkatkan kesejahteraan para petani garam lokal.[arn]