7000 Sebelum Masehi, Aceh Sudah Berhubungan dengan Arab
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Aceh - Dalam beberapa hari ini, sejagat nusantara sedang dihebohkan atas kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia. Kunjungan tersebut bertujuan untuk mempererat hubungan antar kedua negara itu.
Namun siapa yang menyangka, meskipun Provinsi Aceh tergolong ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi telah memiliki hubungan khusus dengan Negara Timur Tengah itu, jauh sebelum Indonesia Merdeka.
Aceh telah menjalin hubungan dengan dunia Arab, telah terjalin hubungan 7000 tahun sebelum masehi. Hubungan emosional tersebut, terjalin dengan berbagai kerajaan-kerajaan yang berada di Aceh kala itu.
Ada beberapa hal yang bisa dibuktikan secara otentik, bahwasannya Kerajaan Aceh telah lebih duluan menjalin kerja sama dengan dunia Arab, yaitu pada zaman dulu orang-orang Arab mengambil kapur barus dari Aceh, begitu juga dengan adanya peninggalan kayu manis, minyak nilam dan ganja.
Presiden HB Corp Jakarta Dr. Hilmy Bakar menjelaskan, pada saat lahirnya kerajaan Islam Pertama di Nusantara, yang dikenal dengan Raja Jeumpa atau Sultan Jeumpa di kabupeten Bireuen, pada tahun 760-an masehi, dengan nama Aslinya Abdullah bin Hasan Mutsanna, merupakan sebagai cicit Nabi Muhammad.
Tidak lama kemudian maka lahirlah Kerajaan Perlak, maka selalu berhubungan dinamis dengan dunia Arab. Pada kala itu, hubungan kerajaan Perlak dengan Arab, merupakan hubungan politik yang kuat.
Pada saat itu, semua pusat-pusat politik islam disebut sebagai khalifah dan pusatnya berada di Damaskus, Suriah. Namun puasatnya yang pertama berada di Madinah pada zaman sahabat Rasulullah.
Setelah di Damaskus, kemudian pusat Khalifahnya berpindah ke Baghdad. Maka kala itu, ada 100 orang Khalifah yang berasal dari Baghdad dikirim ke Kerajaan Perlak, untuk memperkuat Syiar Islam di Nusamtara.
"Waktu itu Kerjaan Perlak merupakan sebagai bagian dari Khalifah di Baghdad, sehingga mereka mengirim orang-orangnya ke daerah itu, untuk memperkuat Syiar Islam di Nusantara ini," ujar Dr. Hilmy Bakar.
Khalifah yang dikirim ke Kerajaan Perlak tersebut, terdiri dari berbagai ahli, ada yang ahli Ilmu Pemerintahan, Politik, Perang, Pertanian, kelautan dan berbagai disiplin ilmu lainnya. 100 orang Khalifah itu, dikirim pada tahun 840 Masehi.
Kemudian hubungan dengan Dunia Arab, berlanjut kembali pada Zaman Samudera Pasai. ada hal yang perlu dicatat pada masa kerajaan ini, pada tahun 1858 Masehi Baghdad hancur akibat perang.
Maka Pusat Khalifah Islamiyah dipindahkan sementara ke Kerajaan Pasai, pada zaman Sulat Malikussaleh. Sehingga hubungan baik dengan Aceh, terus terjalin dalam setiap fase pimpinan kerajaan.
Sehingga pada saat lahirnya Kerajaan Aceh pada tahun 1507, bahkan pada saat pengangkatan raja-raja maka berhubungan terus dengan Mekkah, sampai pada zaman kejayaannya pada tahun 1630-an, kala itu Iskandar Muda selalu mengirim bantuan ke Mekkah, karena kondisinya masih miskin pada saat itu.
Setiap tahun, Kerajaan Iskandar Muda mengirimkan 200 kilogram emas ke Mekkah. Sehingga bantuan yang diberikan tersebut, terus temurun sampai kepada anak cucunya dan tidak pernah berhenti mengirimkan bantuan.
Bahkan pada tahun 1800 salah seorang warga Arab mewakafkan hartanya kepada Kerajaan Aceh, sehingga sekarang orang Aceh yang menunaikan Ibadah Haji, akan mendapatkan satu orang Rp 5 juta, atas harta yang telah diwakafkan oleh Habib Bugak.
Awalnya wakaf Habib Bugak berupa dari sebidang tanah, telah menjadi berbagai asset, diantaranya adalah Hotel Jiad dan Menara Jiad setinggi 28 tingkat yang mampu menampung 7000 orang. Dari biaya sewa itu, maka warga Aceh memperoleh hak disaat naik Haji.
"Bukan hanya itu saja, banyak tokoh-tokoh Aceh yang menjadi ulama di Saudi Arabia, seperti Abdul Rauf Al Singkili, Syeikh Hamzah Fansuri yang menjadi guru besar di Mekkah, Syamsudin al Sumatrani," tutur Dr. Hilmy Bakar.
Mengapa Aceh sampai dikatakan sebagai daerah Serambi Mekkah, karena segala fatwa yang ada di Nusantara maka boleh diputuskan di Aceh. Bahkan ada fatwa Ulama Aceh yang tidak berani dibantah oleh Dunia Arab, yaitu wanita boleh menjadi sultan, maka dalam sejarah Aceh pernah dimpin oleh Ratu.
Bahkan pada saat tsunami melanda Aceh pada taun 2004 lalu, maka Arab Saudi banyak sekali memberikan bantuan kepada Provinsi Aceh, baik pada sektor pendidikan, perumahan korban tsunami dan lainnya.
Untuk peembangunan Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh, rusak akibat tsunami. Maka Pemerintah Arab Saudi memberikan bantuan sebesar Rp 10 miliar, bantuan kepada kampus UIN AR Raniry sebesar Rp 350 miliar, pembangunan Rumah Sakit Universitas Syiah Kuala sebesar Rp 2 juta USD, pembangunan rumah tsunami dan seorang warga Arab memberikan bantuan cash sebesar Rp 100 miliar, usai satu minggu setelah tsunami.
"Bahkan yang terakhir ada yang gagal kerja sama Aceh dengan Arab Saudi, yaitu pembangunan Universitas islam di Aceh. dikarenakan beberapa hal, maka pembangunan kampus itu terhambat," katanya.
Arab Saudi Harus Berinvestasi di Aceh
Usai terjadinya tsunami di Aceh maka Arab Saudi merupakan salah satu negara yang paling banyak membantu Aceh, mulai melakukan rehabilitasi, sampai melakukan pengembangan sektor-sektor lain.
Akademisi Universitas Malikussaleh, Rizwan Haji Ali mengharapkan, agar Negara Arab Saudi bisa berinvestasi di Aceh, terutama di daerah kota Lhokseumawe yang sudah memiliki sektor-sektor pendukung.
Apabila hal tersebut bisa diarahkan ke Aceh, maka nantinya perkembangan Agama islam juga akan semakin maju pesat dan sektor perekonomian juga akan semakin lebih baik, Provinsi Aceh akan lebih maju.
"Harapan saya yang paling utama, agar kuota haji untuk Aceh bisa di prioritaskan apalagi saat ini jumlah waiting list atau daftar tunggu sudah semakin banyak. Apabila kuotanya diperlebar, maka proses untuk beribadah haji semakin mudah," tutur Rizwan Haji Ali. (agm)