Abdi Negara Berbaju Koruptor
Font: Ukuran: - +
Abdi negara secara harfiahnya orang/personal yang bekerja pada pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Begitulah kira-kira pemahaman dasar abdi negara, tapi bagi sebagian orang memahami abdi negara mereka yang diberikan kepercayaan melayani masyarakat yang melekat secara tupoksinya. Penyebutan abdi negara diartikan juga sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), begitulah sebutan popular dan kekinian. Selanjutnya A.W. Widjaja dalam bukunya berjudul"Administrasi Kepegawaian" hal. 113, mengatakan bahwa, "Pegawai adalah orang-orang yang dikerjakan dalam suatu badan tertentu, baik di lembaga-lembaga pemerintah maupun dalam badan-badan usaha" .
Esensi tugas dan fungsi abdi negara melekat pada Undang-Undang Nomo 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam regulasi itu menjelaskan, bahwa ASN memiliki tugas melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mirisnya berbanding terbalik dari harapan masyarakat, data Badan Kepegawaian Negara (BKN), sebanyak 2.357 pegawai negeri sipil (PNS) yang sudah berstatus koruptor masih digaji negara. Itulah ironi tingkat tinggi, amat sulit dicerna akal sehat, ketika pelayan rakyat bukannya memberikan pelayanan yang optimal selaku abdi negara, malahan menjadi aktor penyedot uang rakyat melalui tindakan korupsi.
Di cermati secara lokalistik, khususnya di Aceh hasil monitoring peradilan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) memperlihatkan bahwa oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Aceh paling banyak terlibat dalam kasus korupsi sepanjang 5 tahun terakhir. Hasil analisa putusan pengadilan yang dilakukan MaTA, sebanyak 157 dari 293 terdakwa PNS terlibat kasus korupsi di sidang di Pengadilan Tipikor Banda Aceh sejak 2013-2017. Pada tahun 2017 ada 39 PNS yang sudah memperoleh putusan tetap dari pengadilan, dan itu memberikan gambaran bahwa besarnya jumlah PNS yang terlibat korupsi, selama 4 tahun rata-rata 39 orang.
Berangkat dari data MaTA menuai respon sosiolog M. Saleh Sjafei, Pusat Riset Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Syiah Kuala. Bagi dirinya fenomena maraknya abdi negara melakukan korupsi, jika dikaji dalam perspektif sosiobiologis kecurangan dalam diri manusia dimiliki setiap individu, tergantung mengontrolnya sikap dan emosional. Tetapi korupsi abdi negara bukanlah sifat manusia yang dominan di dalam diri setiap orang.
Ideologi bernegara dan berbangsa lebih tampak untuk tipu-daya dan eksploitasi sumberdaya institusional yang menguntungkan diri biologis dan organisme sosialnya. Keseluruhan adalah konsekuensi yang tak terelakkan dari pembiaran kehendak bebas individu dalam suatu kelompok kerja.
Memperkuat pemikiran sosiolog Saleh Sjafei, salah satu psikolog Aceh Dr. Marty Mawarpury, M.Psi mengatakan perilaku korupsi yang dilakukan oleh banyak PNS di Aceh karena motif individual berupa ingin mendapatkan materi berlimpah untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup. Menariknya lagi menurut Tgk. Faisal Ali Pimpinan Dayah Mahyal 'Ulum Al Aziziyah Sibreh, sekaligus menjabat Wakil Ketua Majelis Pemusyarawatan Ulama (MPU) Aceh. Dirinya mengatakan abdi negara melakukan korupsi karena sifat ketamakan dan hilangnya perasaan kemanusian di dalam dirinya sendiri.
Selanjutnya, apa yang dapat disimpulkan dari para pemikir di atas. Kelemahan tidak serius mempraktekan sistem punishment, sehingga tidak memiliki efek jerah bagi abdi negara serta kurangnya penghargaan (reward ) terhadap kinerja mereka. Tak heran jika kapasitas ada tapi membuat mereka bertindak diluar jalur. Perilaku korupsi abdi negara tidak hanya di Aceh namun secara nasional juga disebabkan lemahnya pondasi agama. Nilai-nilai dalam keislaman tidak membentuk karakter diri yang kuat. Disisi lain tuntutan kehidupan yang berlebihan membuat mereka cenderung gelap mata. Berujung mereka melakukan korupsi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut. Akarnya karena ada kesempatan dan kesepakatan antar pelaku dan mitranya.
Jadi abdi negara melakukan korupsi layaknya predator yang menggerus kelangsungan hidup negeri ini. Ujung akhirnya negara kita menjadi darurat korupsi, bahkan ibarat kanker yang menyerang tubuh yakni sistem negara (pemerintahan) itu sendiri. Skalanya tingkat kegawatannya sudah stadium empat. Ia ganas, amat ganas, dan telah menyebar ke mana-mana. Namun patut diapresiasi niat dan komitmen pemerintah membenahi sistem tata kelola pemerintahan, khususnya birokrasi agar perilaku abdi negara konsisten menjalankan sesuai tupoksi di UU dan peraturan yang melekat.
Anehnya tindakan korupsi abdi negara di Aceh sudah mengoyak mimpi masyarakat Aceh yang menginginkan perubahan tatakelola pemerintah di Aceh. Untuk bisa memenangi perang melawan korupsi, kita mesti menghadirkan neraka buat para pemangsa uang negara. Bukan malah sebaliknya, koruptor terus kita perlakukan bak di surga. Indonesia bukan surga korupsi.
Tidak habis pikir juga, di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum. Faktanya para koruptor kalangan abdi negara dapat mengakses fasilitas layaknya hotel bintang lima, itu pun dirasakan juga koruptor dari kalangan politikus.
Kalau mau buka-bukaan di Aceh publik menyakinkan banyak kasus korupsi yang dipetikan, bahkan dijadikan atm bagi mereka yang memiliki power of contol. Jangan heran pemberantasan korupsi di Aceh tidak begitu puas secara kinerja. Malahan ketika masyarakat di warung kopi memberikan nilai terhadap pemberantasan korupsi di Aceh yaitu "C".
Untuk itu dibutuhkan komitmen dari lintas stakeholder terkait untuk serius dan memiliki komitmen tidak dalam memberantas dan menuntaskan kasus-kasus korupsi, tidak hanya abdi negara termasuk elit politik yang menjadi pelakunya. Mari masyarakat Aceh bersama-sama peduli dan berpartisipasi melaporkan kasus korupsi. Apalagi pemerintah sangat komit dengan memberikan reward berupa uang 200 juta bagi yang melaporkan kasus korupsi. Kemajukan negara (pemerintahan) terletak pada kita semua, bukan hanya pada abdi negara saja.
Aryos Nivada
Peneliti Jaringan Survei Inisiatif