DIALEKSIS.COM | Dialektika - Sekelompok purnawirawan TNI yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI melayangkan surat resmi kepada pimpinan DPR RI, MPR RI, dan DPD RI. Surat bertanggal 26 Mei 2025 itu berisi permintaan agar lembaga tinggi negara tersebut segera memproses usulan pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.
Empat jenderal purnawirawan menandatangani surat tersebut, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto. Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar membenarkan bahwa pihaknya telah menerima surat dari Forum Purnawirawan TNI tersebut dan telah meneruskannya kepada pimpinan DPR.
“Iya benar kami sudah terima surat tersebut, dan sekarang sudah kami teruskan ke pimpinan,” ujar Indra pada 3 Juni 2025.
Gerakan Pemakzulan
Menurut keterangan Sekretaris Forum Purnawirawan TNI Bimo Satrio, surat dikirim langsung ke DPR, MPR, dan DPD pada Senin, 2 Juni 2025, setelah mendapatkan persetujuan dari Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno selaku tokoh senior purnawirawan. Bimo menjelaskan bahwa meski ada delapan butir pernyataan sikap dari Forum Purnawirawan, saat ini mereka memfokuskan tuntutan pada poin pemakzulan Gibran terlebih dahulu.
“Sebenarnya kan kalau dari purnawirawan ada 8 poin, cuma yang kita majukan ke DPR RI kemarin ini untuk pemakzulan Gibran dulu, jadi poin nomor 8 dulu,” ungkap Bimo.
Usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran ini sejatinya telah mencuat sejak April 2025. Pada 17 April 2025, ratusan purnawirawan TNI (terdiri dari sedikitnya 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel) berkumpul dalam acara Silaturahmi Purnawirawan Prajurit TNI dengan Tokoh Masyarakat di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Dalam pertemuan tersebut, mereka mendeklarasikan Pernyataan Sikap yang memuat delapan poin tuntutan terhadap pemerintah. Dokumen pernyataan itu ditandatangani oleh sejumlah tokoh purnawirawan TNI, termasuk di antaranya mantan Wakil Presiden ke-6 Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Jenderal (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, dan Marsekal (Purn) Hanafie Asnan. Mayjen (Purn) TNI Sunarko membacakan delapan poin tuntutan itu di hadapan peserta pertemuan.
Delapan butir sikap purnawirawan TNI tersebut antara lain berisi desakan untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli sebagai konstitusi, dukungan terhadap program Kabinet Merah Putih (pemerintahan Presiden Prabowo) kecuali proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang diminta dihentikan, penolakan proyek strategis seperti Rempang dan PIK 2 yang dianggap merugikan rakyat, pembatasan tenaga kerja asing (khususnya dari Tiongkok) di Indonesia, penertiban tambang-tambang yang melanggar aturan, serta reshuffle kabinet terhadap menteri-menteri yang diduga korupsi dan masih terafiliasi dengan kepentingan Presiden RI ke-7 Joko Widodo.
Selain itu, mereka juga menuntut reformasi institusi Polri agar fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dikembalikan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dari semua poin tersebut, yang paling menyita perhatian publik adalah poin kedelapan, yakni usulan agar MPR RI melakukan pergantian Wakil Presiden.
Forum Purnawirawan TNI secara tegas mendesak pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui mekanisme MPR. Tuntutan ini didasarkan pada anggapan para purnawirawan bahwa proses naiknya Gibran ke kursi wapres dianggap bermasalah secara konstitusional maupun etika politik
Alasan di Balik Desakan Pemakzulan Gibran
Para purnawirawan TNI dalam suratnya menguraikan sejumlah alasan mengapa Gibran layak dimakzulkan. Pertama, mereka menyoroti keabsahan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi Gibran (saat itu Wali Kota Solo berusia 37 tahun) untuk maju sebagai cawapres pada Pilpres 2024.
Putusan MK tersebut dinilai cacat hukum dan melanggar prinsip imparsialitas, karena diputuskan oleh Ketua MK waktu itu Anwar Usman yang notabene adalah paman dari Gibran. Forum Purnawirawan menilai Anwar Usman seharusnya mundur dari majelis hakim dalam perkara tersebut untuk menghindari konflik kepentingan, namun hal itu tidak dilakukan. Bahkan, Majelis Kehormatan MK telah menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik dan memberhentikannya dari jabatan Ketua MK, namun hasil putusan terkait usia capres-cawapres itu belum pernah ditinjau ulang dengan susunan hakim berbeda sesuai ketentuan hukum.
Atas dasar inilah, purnawirawan TNI beranggapan legalitas Gibran sebagai Wakil Presiden patut dipertanyakan dan MPR didesak untuk mengambil tindakan korektif. Kedua, selain aspek hukum, Forum Purnawirawan TNI mempertanyakan kepatutan dan etika Gibran menjabat sebagai wapres.
Dalam surat tersebut mereka menuliskan bahwa kapasitas dan pengalaman Gibran yang minim hanya sekitar dua tahun menjabat Wali Kota Solo dianggap belum memadai untuk posisi Wakil Presiden. Latar belakang pendidikan Gibran yang disebut “diragukan” juga diangkat sebagai poin kritik. Mereka menilai "sangat naif bagi negara ini memiliki Wakil Presiden yang tidak patut dan tidak pantas,” tulis Forum Purnawirawan dalam isi suratnya.
Ketiga, terkait etika, para purnawirawan menyinggung kontroversi akun media sosial anonim “fufufafa” yang diduga milik Gibran. Akun tersebut sempat membuat heboh karena mengunggah konten bernada menghina tokoh publik serta berisi candaan tidak pantas berunsur seksual dan rasis. Dari kasus ini, Forum Purnawirawan menilai moral dan etika Gibran “sangat tidak pantas” untuk menduduki jabatan Wakil Presiden RI. Tak hanya itu, isu dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan Gibran dan adiknya, Kaesang Pangarep, kembali disorot dalam surat tersebut.
Belum lagi pernah mencuat kasus dugaan KKN ini pernah dilaporkan ke KPK pada 2022 oleh aktivis Ubedillah Badrun, terkait relasi bisnis keluarga Presiden Jokowi. Meskipun belum ada kelanjutan hukum yang signifikan dari laporan tersebut, Forum Purnawirawan TNI menjadikannya salah satu dasar argumen bahwa Gibran memiliki beban moral dan integritas yang diragukan.
Berdasarkan hal-hal di atas, Forum Purnawirawan TNI mendesak DPR RI segera memproses usulan pemakzulan Gibran sesuai ketentuan hukum dan konstitusi yang berlaku. Mereka menegaskan bahwa langkah ini merupakan wujud tanggung jawab sebagai warga negara untuk menjaga integritas konstitusi dan moralitas publik.
Respons Istana dan Perkembangan Terbaru
Wacana pemakzulan Wapres Gibran oleh purnawirawan TNI ini langsung menjadi polemik nasional sejak kemunculannya. Beberapa hari setelah deklarasi 17 April, Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto mengundang sejumlah pengurus Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) ke Istana Kepresidenan pada akhir April 2025. Pertemuan itu dikemas sebagai ajang silaturahmi dan halalbihalal pasca-Idulfitri, dan pihak Istana menyatakan tidak ada pembahasan khusus mengenai delapan tuntutan Forum Purnawirawan dalam pertemuan tersebut.
Meski demikian, Presiden Prabowo melalui Jenderal (Purn) Wiranto selaku Penasihat Khusus Presiden bidang Politik dan Keamanan, menyampaikan sikap kehati-hatiannya. Wiranto dalam keterangan pers 24 April 2025 menjelaskan bahwa Presiden menghormati dan memahami aspirasi para purnawirawan yang disampaikan secara terbuka tersebut.
Namun, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, Prabowo tak bisa serta-merta menanggapi apalagi mengintervensi usulan pemakzulan itu, mengingat wewenang untuk memberhentikan Wakil Presiden berada pada ranah legislatif (DPR/MPR) dan yudikatif (MK) sesuai mekanisme konstitusi.
“Masalah-masalah itu tidak ringan, fundamental, dan usulan itu bukan bidangnya Presiden,” ujar Wiranto kala itu, menegaskan prinsip pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sementara itu, pasca deklarasi sikap Forum Purnawirawan TNI di pertengahan April, muncul dinamika internal di tubuh TNI aktif. Tidak lama berselang, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto melakukan perombakan jabatan strategis. Salah satunya, Agus mencopot Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari posisi Pangkogabwilhan I, yang kebetulan diketahui menghadiri acara Silaturahmi Purnawirawan 17 April tersebut, dan menggantikannya dengan perwira lain.
Langkah pencopotan ini menimbulkan spekulasi adanya hubungan dengan kegaduhan isu pemakzulan Gibran, meskipun pihak TNI tidak memberikan pernyataan resmi bahwa hal itu berkaitan langsung. Hingga awal Juni 2025, surat usulan pemakzulan Gibran dari Forum Purnawirawan telah berada di meja pimpinan parlemen. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengonfirmasi bahwa surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 tersebut sudah sampai di meja Ketua MPR Ahmad Muzani.
Namun, mengingat saat ini parlemen tengah masa reses, pembahasan surat itu kemungkinan baru akan berlangsung setelah MPR/DPR aktif kembali dalam sidang mendatang. Sejumlah politisi dan tokoh memberikan tanggapan beragam atas wacana ini.
Pimpinan MPR dari Fraksi Gerindra menegaskan bahwa Gibran merupakan Wakil Presiden yang sah secara konstitusional, hasil Pilpres 2024 yang telah digelar sesuai aturan dan memenangkan pasangan Prabowo - Gibran dalam satu putaran. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah Presiden - Wapres yang legitimate, sehingga selama tidak ada pelanggaran hukum atau konstitusi yang dilakukan, keduanya berhak menjalankan amanah hingga akhir masa jabatan.
Presiden ke-7 RI Joko Widodo yang notabene ayah kandung Gibran turut dimintai komentarnya. Jokowi menilai kegaduhan soal usulan pemakzulan anaknya itu sebagai hal yang “biasa saja” dalam alam demokrasi. “Namanya demokrasi, orang menyampaikan pendapat ya biasa saja,” ujar Jokowi di Solo, seraya menambahkan bahwa posisi Gibran sebagai Wakil Presiden saat ini merupakan hasil keputusan politik yang telah sesuai prosedur.
Jokowi berpesan agar polemik ini tidak perlu dibesar-besarkan dan percaya Presiden Prabowo akan bijak menyikapinya. Di sisi lain, kalangan partai oposisi seperti PKS menyatakan menghormati aspirasi para purnawirawan tersebut sebagai bagian dari kritik konstruktif, meskipun proses pemakzulan diyakini akan sulit terwujud tanpa dasar pelanggaran yang kuat.
Pandangan Pengamat: Antara Etika Politik dan Stabilitas Konstitusi
Dua pengamat politik menilai fenomena desakan pemakzulan Wapres Gibran oleh purnawirawan TNI ini dari sudut pandang yang berbeda, namun saling melengkapi. Teuku Kemal Fasya, dosen FISIP Universitas Malikussaleh, melihat gerakan para purnawirawan jenderal ini sebagai refleksi dari kekecewaan terhadap proses politik Pilpres 2024 yang dianggap sarat nepotisme dan melanggar etika konstitusi.
Menurut Kemal kepada Dialeksis, munculnya usulan pemakzulan ini tak lepas dari kontroversi putusan MK yang mendadak melonggarkan syarat usia cawapres dan membuka jalan bagi Gibran putra Presiden saat itu untuk maju dalam kontestasi.
“Lolosnya Gibran lewat putusan MK yang dipimpin pamannya sendiri menimbulkan persoalan etik serius,” ujarnya kepada Dialeksis, seraya menyebut bahwa hal ini memicu residu ketidakpuasan pasca Pilpres di kalangan tertentu.
Teuku Kemal menilai langkah para purnawirawan mendorong pemakzulan adalah bentuk peringatan bahwa prinsip keadilan dan kepatutan dalam demokrasi harus dijaga. Ia berpendapat DPR selaku wakil rakyat perlu membuka ruang untuk menampung dan mengkaji aspirasi tersebut “ tentu dengan tetap berpegang pada koridor konstitusi “ agar kepercayaan publik terhadap sistem politik tidak tergerus.
“Ini ujian bagi kita, apakah konstitusi dan etika bernegara masih dihormati, atau justru kalah oleh ambisi kekuasaan,” kata Kemal mantan aktivis reformasi 1998 dan pengamat sosial politik yang kerap menyuarakan isu demokrasi di Aceh dan nasional.
Sementara itu, Dr. Firman Lukman, pengamat politik dan kebijakan publik dari Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta, menyoroti aspek legal-formal dan stabilitas pemerintahan dalam polemik ini.
Firman menyatakan bahwa secara konstitusional, pemakzulan seorang Wakil Presiden bukanlah perkara sederhana.
“Mekanismenya berat, harus ada pelanggaran hukum yang nyata: seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi berat, atau perbuatan tercela lain yang dibuktikan dan disetujui oleh lembaga yudikatif,” ujarnya menjelaskan kepada Dialeksis saat dihubungi.
Dalam pandangan Firman, hingga saat ini belum tampak dasar hukum kuat untuk memakzulkan Gibran, mengingat kinerja Wakil Presiden tersebut dalam enam bulan pemerintahan awal tidak menunjukkan pelanggaran konstitusi atau tindak pidana apapun.
Firman Lukman justru mengkhawatirkan bahwa wacana pemakzulan tanpa landasan kuat dapat menjadi preseden yang mengganggu stabilitas demokrasi.
“Usulan ini kalau tidak dikelola dengan baik bisa berbahaya; bukan sekadar wacana biasa, tapi bisa dianggap ancaman serius terhadap stabilitas politik dan konstitusi,” tuturnya memperingatkan, sejalan dengan pendapat sejumlah pakar lain.
Meski demikian, Firman memahami langkah Forum Purnawirawan TNI sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan kebebasan berekspresi. Ia menilai keberanian para purnawirawan menyuarakan kritik menunjukkan adanya alarm dini bagi pemerintah saat ini agar lebih peka terhadap isu etika politik, nepotisme, dan aspirasi masyarakat.
Kedua narasumber sepakat bahwa bola sekarang berada di tangan DPR dan MPR. Proses menindaklanjuti surat pemakzulan ini harus mengutamakan konstitusi serta kepentingan bangsa. Apabila bukti-bukti yang dituduhkan kepada Gibran tak memenuhi syarat pemakzulan, lembaga legislatif diharapkan memberikan penjelasan terbuka kepada publik guna meredam spekulasi.
Sebaliknya, isu-isu etis yang mencuat seperti dugaan nepotisme dan moralitas pejabat perlu menjadi pembelajaran bersama untuk perbaikan ke depan. Situasi ini menjadi dialektika bagi demokrasi Indonesia; antara menghormati hasil proses politik yang sah, dan kewaspadaan terhadap kemungkinan penyelewengan kekuasaan.
Para purnawirawan TNI telah menyuarakan kegelisahan mereka. Kini publik menanti bagaimana respon konstitusional dari para wakil rakyat dalam menjawab tantangan isu ini secara objektif dan adil. Semoga persoalan ini diselesaikan dengan bijak, mengikuti aturan, tanpa harus membuat kegaduhan.