Energi Terbarukan Antara Harapan dan Upaya Pemerintah
Font: Ukuran: - +
Aceh merupakan “gudangnya” energy baru yang terbarukan. Potensi itu harus dimanfaatkan demi kemakmuran. Potensi apa saja yang dimiliki Aceh dan apa upaya yang dilakukan pemerintah dalam memanfaatkan kekuatan ini?
Beragam pihak yang mengetahui persoalan energy baru terbarukan (EBT) menyatakan pendapatnya, saran dan masukan agar bumi Aceh mampu melahirkan kekuatan baru dari energy. Media meramaikanya.
Pembahasan EBT bagaikan gayung bersambut, energy yang menunggu pihak yang “jeli” untuk memanfaatkanya, semakin menarik untuk dikupas. Dialeksis.com merangkum pernak pernik persoalan ETB dan bagaimana masa depanya di Aceh.
Pemerintah Aceh komitmen untuk terus meningkatkan proporsi energi baru dan terbarukan (EBT), sebut Nova Iriansyah PLT Gubernur Aceh. Menurutnya, selain untuk mencukupi kebutuhan energi, upaya itu dilakukan untuk mendukung program unggulan Aceh yaitu Aceh green yang merupakan bagian dari program Aceh hebat.
"Pemerintah Aceh berkomitmen, pada tahun 2022 ketersediaan energi yang bersumber dari energi baru terbarukan mencapai 12,25 persen," kata Nova Iriansyah, Plt Gubernur Aceh.
Ketika dilangsungkan Forum Grup Diskusi (FGD) yang bertema Optimalisasi Energi untuk Aceh di Banda Aceh, bulan lalu, Nova menyebutkan, pihaknya bersama DPRA sedang merampungkan rancangan qanun tentang Rencana UMUM Energi Aceh (RUEA).
PLT Gubernur menyebutkan, Qanun RUEA mengamanatkan pengelolaan energi di Aceh dengan sistem pengelolaan yang bersih dan terbarukan. Sasaran utamanya meningkatkan pemanfaatan EBT, melalui prioritas pengembangan potensi sumber EBT demi merealisasikan komitmen Aceh dalam pembangunan ramah lingkungan.
“Pemerintah Aceh terus mendorong efisiensi dalam pemanfaatan energi melalui pelaksanaan konservasi energy,” jelasnya.
Untuk itu, sebut Nova, partisipasi aktif masyarakat sangat berperan dalam pengelolaan sumber daya energi untuk mencapai kemandirian energi. Apalagi Aceh diketahui sangat kaya dengan sumber daya potensi ETB, seperti sumber daya air, matahari, angin, panas bumi, dan biomassa.
Menurut Nova, Pemda Aceh sudah melakukan beberapa inisiatif terkait upaya optimalisasi potensi energy. Demikian pembangunan infrastruktur pembangkit listrik skala kecil dan skala besar terus dilakukan.
Beragam pendapat
Soal cadangan geothermal (energi panas bumi) seorang senior Manager SKK Migas, Azhari Idris, menjawab Dialeksis.com memberikan penjelasan, setidaknya ada di tiga lokasi di Aceh, yakni Seulawah, Burni Telong dan Sabang.
Menurut mantan Plt Kepala BPMA ini, geothermal sangat mendukung pertumbuhan ekonomi Aceh, bahkan powernya bisa dijual oleh Aceh dalam jaringan nasional. Pemerintah bekerjasama dengan PLN sebagai operator energi untuk mendatangkan investor mengelola sumber daya alam tersebut.
Selain ekonomis buat PLN juga menguntungkan buat Aceh sebagai sumber pendapatan baru selain sektor pertambangan, sebutnya.
"Kampus bisa berbuat banyak terutama dalam hal membantu mempersiapkan data-data riset berapa besarnya kandungan energi baru terbarukan, yang kemudian dapat digunakan oleh pemerintah Aceh untuk berbicara dengan PLN dan investor," jelas senior Manager SKK Migas ini.
Jadi sumber informasi berdasarkan hasil kajian, bukan estimasi yang tidak ada datanya, katanya. Selain itu sumber energy ini adalah air.
Soal air, Azhari menilai, kondisi pengelolaan hutan di Aceh belum terkontrol dengan baik dari aspek penegakan hukum tata kelola hutan. Ini dikhawatirkan, dalam jangka panjang debit air potensinya berkurang. Dengan demikian akan berkurangnya energi yang dapat diproduksikan.
"Letak geografis Aceh di Samudera Hindia dan dengan topografi alam penggunungan, Aceh punya potensi sumber daya angin yang bagus. Angin adalah satu anugerah yang juga dapat dijadikan sebagai sumber energi terbarukan,” jelasnya.
Di beberapa negara maju bahkan mereka telah menggunakan gelombang laut sebagai sumber energi listrik, jelasnya.
Selain itu, sebutnya, di Aceh lahannya luas dan potensi hutannya masih sangat bagus , dapat dilakukan budidaya tanaman khusus untuk menghasilkan 'biomassa' yang dapat dijadikan sumber energi alternatif.
"Negara maju seperti Jepang, bahkan mengimpor biomassa dari Indonesia untuk dijadikan sumber energi terbatas di negara mereka, terutama untuk energy di rumah-rumah ketika musim dingin," jelas Azhari.
Demikian dengan angin. Sumber energy ini selama ini mungkin hanya terlihat kincir angin di Belanda. Padahal, di Indonesia seperti di Jeneponto Sulawesi juga sudah terpasang kincir angin.
"Artinya Aceh dapat mengexplore potensi-potensi energi ini untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi listrik, mengantisipasi masih seringnya terjadi kekurangan arus untuk wilayah Aceh," jelasnya.
Akademisi Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Ir Khairil MT bercerita soal cangkang sawit. Menurut dia cangkang sawit menjadi sumber energi terbarukan paling potensial di Aceh karena barangnya banyak bahkan surplus.
Prof Khairil menyarankan kepada stakeholder tinggal menambah modal perusahaan sawit. Kemudian buat turbin sekitar 0,5 Mega Watt untuk 30 kebun sawit di Aceh, hal itu sudah cukup banyak untuk menghasilkan beban daya.
"Saya pernah melakukan riset mengenai energi biomassa cangkang sawit, ini sudah nyata. Pernah saya usulkan ke pemerintah sebab bahannya sudah ada dan sangat potensial sebagai energi terbarukan di Aceh," ungkap Prof Khairil, menjawab Dialeksis.com.
Menurutnya, kebijakan energi nasional harus terus diupayakan untuk ditingkatkan. Kalau soal angin, data-data survei itu ada. Namun sejauh ini kalau untuk pembangkit belum bisa dipakai. Dulu ada program pak Irwandi di Aceh Selatan, dibawah 5 Mega Watt, tetapi tidak jalan, jelasnya.
Kini, sebutnya, persoalan energy geothermal seperti di Seulawah Agam, tetapi sudah berapa tahun ini tidak jalan-jalan, mungkin masih eksplorasi kelihatannya, tambahnya.
Akademisi ini menilai, energi terbarukan potensinya masih sangat kecil di Aceh, istilahnya belum bisa memenuhi beban dasar energi yang dibutuhkan. Misalnya data PLN, sekitar 360 Mega Watt daya beban yang dibutuhkan. Energi biomassa cangkang sawit ini bisa meringankan daya beban. Tinggal disambung dengan jaringan PLN.
Ada sisi menarik lainya seperti dijelaskan Ir Jefri Rosiadi, General Manajer (GM) PT PLN Persero Wilayah Aceh tentang ETB. Dalam penjelasanya kepada Dialeksis.com, Jefri menyebutkan, Aceh berada diantara berbukit dalam pelukan gunung, dihiasi dengan hamparan sungai merupakan sumber potensi pembangkit listrik hydro. Bahkan hasilnya mencapai sebesar 5.572 MW.
“Disisi lain, potensi panas bumi (geothermal) juga tidak kalah besarnya. Potensi geothermal Aceh apabila dikonversi ke dalam energi listrik, akan menghasilkan listrik geothermal mencapai sebesar 1.115 MW,” sebut GM PT PLN Aceh ini.
Aceh juga memiliki kekayaan perkebunan sawit yang sangat luas. Sawit-sawit ini layak dikembangkan untuk Pusat Listrik Tenaga Biomasa/Gas (PLTBm/Bg),kata Jefri.
Selain hydro dan biomasa, ternyata Aceh juga memiliki potensi angin. Kecepatan angin di Propinsi Aceh cukup besar, baik di perbukitan maupun di pantai. Hasil beberapa studi potensi angin di Aceh dapat dikembangkan menjadi Pusat Listrik Tenaga Bayu (PLTB), jelasnya.
“Potensi yang sangat besar itu merupakan sumber kekuatan baru dan terbarukan untuk Aceh. Melihat potensi ini, kami PLN sangat mendukung pengembangan energi terbarukan, karena menjadi energi bersih (clean energy),” jelasnya.
Menurutnya, beberapa pembangkit listrik terbarukan sudah ada yang beroperasi. Ada juga yang masih dalam tahap kontruksi dan pengadaan. Skema kepemilikan juga bermacam-macam, ada proyek pembangkit yang milik PLN, ada pola kerjasama dengan swasta melalui skema IPP dan Excess Power.
GM PLN menjelaskan, pembangkit energi baru terbarukan yang sudah beroperasi antara lain; PLTM Krueng Isep, PLTM Angkup, PLTM Seupakat, PLTM Nengar, PLTM Aih Selah, PLTM Marpunge, dan PLTM Krueng Kala. Total kapasitas pembangkit mini hydro yang sudah beroperasi tersebut mencapai 14,3 MW.
“Beberapa pembangkit sedang tahap konstruksi yaitu; PLTA Peusangan 1 & 2 Kapasitas 88 MW, PLTM Lawe Sikap di Kutacane kapasitas 7 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Sawit (PLTBm) Tanjung Seumantoh Kapasitas 9,8 MW. PLTP (Geothermal) Jaboi Kapasitas 10 MW. Pembangkit yang telah berkomitmen berkontrak dengan PLN tetapi belum mencapai tahap proses konstruksi total kapasitas 48 MW,” katanya.
Ada lagi yang tidak kalah menariknya, jelas Jefri, provinsi paling ujung barat pulau Andalas ini sudah sudah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Sinabang 100 KWp dan PLTS Sabang 350 KWp, dimana pembangunannya diresmikan oleh Kementerian ESDM.
“Saat ini terdapat 24 pesantren di Provinsi Aceh yang menggunakan PLTS Rooftop total kapasitas 308,5 kwp yang sinkron dengan jaringan PLN,” ucap Jefri.
PLN siap bersinergi terkait pengembangan ETB untuk memenuhi kebutuhan energi di Aceh, karena manfaatnya sangat besar. Energi baru terbarukan itu bersifat ramah lingkungan.
Karena sifatnya ramah lingkungan, sehingga potensi pemanasan global (global warming) bisa diturunkan. ETB dalam pengelolaannya membutuhkan suatu teknologi, dengan kata lain sebagai investasi teknologi.
Sebab dalam memproses ETB dengan jangka waktu yang panjang akan selalu dikembangkan untuk menghasilkan energi dari hasil alam yang tidak akan habis.
Menurut Jefri, investasi teknologi dimasa yang akan datang akan semakin membuat pengelolaan energi terbarukan menjadi lebih murah dan efisien. Kontinuitas pasokan yang lebih lama, karena tidak mengandalkan bahan baku dari energi fosil.
Peluang mengembangkan ETB di Aceh salah satunya adalah jenis pembangkit hydro. Sifatnya dapat beroperasi secara load follower,mengikuti perubahan beban. Start-up yang cepat, serta terdapat sungai-sungai yang memilki potensi pemanfaatan energi cukup besar.
“Namun tidak menutup kemungkinan pembangkit biomasa, PLTP dan pembangkit “pembangkit lain dengan kemajuan teknologi terkini memiliki potensi untuk dikembangkan,” sebutnya.
Aceh daerah kaya akan potensi listrik. Kini kembali kepada kita bagaimana memanfaatkan potensi yang sudah di anugerahkan Tuhan ini untuk kesejahteraan umat, kata Jefri.
Masih Adakah Energi terbarukan lainya di Aceh?
Ada juga tulisan menarik di https://steemit.com/technology/@jeulamei/energi-terbarukan-apa-saja-yang-dimiliki-aceh.
Jeulamei mengurai tulisan energy terbarukan. Menurutnya Aceh sejatinya sudah mendapatkan kewenangan besar oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) dapat mengurus persoalan manajemen pendistribusian dan pengadaan pembangkit energi listrik.
Menurut Juelamei, padi merupakan potensi energy terbarukan. Aceh memiliki lahan yang luasnya mencapai 310.746 hektar. Sekam padi sebagai turunannya dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk memanaskan mesin pemanas (thermal machine) jika dikombinasikan dengan arang.
Sepengetahuan Jeulamei, PT. Lafarge Cement Indonesia yang berada di Lhoknga, Aceh Besar telah memanfaatkan sumber energi yang berasal dari sekam. Selain itu, tebu di Ketol, Aceh Tengah serta jagung yang berlimpah di Aceh Tenggara sangat berpotensi untuk diproses menjadi bioethanol yang dapat menggantikan bensin.
Demikian dengan kelapa sawit, memiliki berbagai macam potensi. Kelapa sawit mentah dapat digunakan sebagai biodiesel yang menggantikan minyak solar. Daun dan batang kelapa sawit digabungkan dengat kulit buahnya dapat digunakan sebagai bahan bakar tungku pemanas, menggantikan fungsi batu bara.
Selain itu, limbah dari kelapa sawit menjadi sumber gas metana yang dapat menggerakkan generator listrik. Perkebunan sawit yang terdapat di Aceh terletak di Aceh Timur, Aceh Tamiang, Nagan Raya dan Aceh Singkil dengan luas keseluruhan mencapai 400.000 hektar, tulis Jeulamei.
Bagaimana dengan kopi? Kulit biji kopi, dapat diberdayakan sebagai sumber energi alternatif (bio-bean). Produksi kopi arabika di wilayah dataran tinggi Gayo (Aceh Tengah, Gayo Lues dan Bener Meriah) adalah terbesar di Asia dan telah diekspor ke berbagai negara di dunia. Di negeri itu terdapat 102.000 hektar lebih tanaman kopi.
Dengan iklim tropis yang dimiliki Aceh serta berkelimpahan energi matahari, menurut Juelamei, ada banyak tanaman yang bisa tumbuh cepat dengan siklus yang pendek seperti eucalyptus, sengon, nyamplung, acacia, kaliandra dan kemiri.
Tanaman ini bila ditanam kemudian dipotong menjadi bentuk pelet kayu yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk tungku biomassa, memanaskan ketel (boiler), menghasilkan uap untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Potensi alternatif ini sangat besar di Aceh, mengingat ada lahan kritis yang luas, di dalam hutan lindung, produksi dan konversi di Aceh.
Potensi lainya, di Aceh lebih dari dari 700.000 sapi dan 300.000 kerbau yang memiliki potensi gas metana yang amat sangat besar. Sebuah studi yang komprehensif dan mendalam, terkait dengan pemanfaatan biogas yang dihubungkan dengan berbagai aspek lainnya seperti budaya, permintaan serta skala ekonomi harus dilakukan, sehingga pemanfaatan biogas dapat dilaksanakan secara lestari (keberlanjutan).
Jeulamei juga menceritakan seputar energi gelombang laut. Energi ini merupakan energy yang lebih padat daripada angin atau tenaga surya.
Di Aceh daerah yang memiliki gelombang laut dengan kecepatan 3,41 m/detik berada di Selat Aroih Cut, dimana potensi maksimum tenaga listrik yang dihasilkan bisa mencapau 20.414,67 W/menit, tulis Jeulamei.
Juelamei sangat berharap, semoga pemegang tampuk kekuasaan di Aceh terbangun dari tidurnya. Karena pada dasarnya Aceh memiliki potensi yang sangat besar dalam hal energi terbarukan. Akan tetapi, masih sangat sedikit yang dieksploitasi.
Apa Yang Sudah dilakukan?
Potensi energy di Aceh sangat luar biasa, bila dimanfaatkan dengan maksimal akan membuat Aceh sejahtera, akan tertampungnya tenaga kerja, serta Aceh tidak harus lagi “mengemis” soal energy ke Sumatera Utara.
Untuk mendapat jawaban yang ril tentang energy di Aceh, Dialeksis.com, meminta keterangan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Ir. Mahdi Nur, MM.
Menurut Mahdi Nur, dari sejumlah factor yang menentukan keberhasilan sebuah daerah adalah ketersidaan listrik yang mencukupi dan dapat diandalkan untuk mendukung aktivitas masyarakat maupun pengembangan industri.
Mahdi Nur menjelaskan, sebagian besar sumber energy Aceh diperoleh dari energifosil sepertigas(38,64%),batubara(30,56%),dan diesel(27,07%).Aceh sampai saat ini masihmenerima suplai listrik dari system Sumatra Utara (SBU)sebesar184MW.
Untuk itu, dalam upaya mengatasi ketergantungan pada suplai listrik dari luar Aceh, serta mengantisipasi kebutuhan listrik masyarakat serta sektor industri dimasa yang akan datang,Pemerintah Aceh telah melakukan pembangunan di sektor ketenaga listrikan.
Pembanguna kelistrikan itu dengan menitik beratkan pada pengembangan potensi-potensi sumberdaya energy baru terbarukan (EBT)yang terdapat dalam jumlah yang melimpah dan beragam diseluruh wilayah Aceh.
Seperti sumber daya energi air, panas bumi,tenaga surya maupun biomassa.Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat (PP nomor 22Tahun 2017tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang memberi prioritas pada pengembangan energy baru terbarukan(EBT)sebagai substitusi terhadap energy fosil.
Menurutnya, pengembangan potensi sumberdaya EBT merupakan hal baru untuk wilayah Aceh, diharapkan dapat menjadi pemicu dalam akselerasi pembangunan.
Beberapa proyek pembangunan pembangkit listrik skala besar dan menengah saat ini sedang berjalan dan bila sudah selesai, Aceh akan memiliki kekuatan listrik dengan total 327,4 Mega Watt (MW)
Hasil yang akan diperoleh mencapai 327,4 MW ini berasal dari; PLTAPeusangan-1 44 MW, PLTAKrueng Isep 10MW. PLTM Krueng Isep2 10 MW, PLTM Lawe Sikap 7MW. PLTM Sepakat 1,4 MW. PLTAPeusangan-2 mencapai 42MW.
PLTPJaboi 10 MW, PLTBMTj.Seumantoh 10 MW, PLTSKKA 70 MW, PLTBM Langsa 10MW, PLTBG Aceh Tamiang 3MW, PLTA Kumbih-3 mencapai 45MW, PLTP SeulawahAgam-1 mencapai 55 MW. Total keseluruhanya mencapai 327,4 MW.
Sumber ETB itu bila dipersentasekan berasal dari energy air mencapai 51,74 persen, surya 21,38 persen, panas bumi 19,85 persen dan biomassa 7,03 persen.
Dari gambaran persentase ini membutkikan Aceh mengandalkan air sebagai sumber andalan energy, disusul surya dan panas bumi, baru selebihnya mengandalkan hasil energy dari biomassa. Ini membuktikan bahwa air di Aceh memiliki potensi energy yang luar biasa.
Menurut Mahdi Nur, berdasarkan studi awal yang telah dilakukan, di Aceh terdapat tujuhbelas titik potensi dengan total potensi 2.862MW. Disamping sumberdaya energi surya yang sangat potensial karena keberadaan Aceh dekat dengan garis khatulistiwa.
Aceh juga memiliki 17 lapangan panas bumi dengan total potensi 1.115MW. Ketersediaan sumberdaya ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik. Dimana saat ini kebutuhan listrik Aceh beban puncak kebutuhanya 495MW, berdasarkan data PLN,Maret2020.
Untuk mewujudkan kemandirian energy, Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menyusun Qanun Nomor4 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Aceh (RUEA).
Didalam qanun ini telah target energymix Aceh sebesar25,5% padatahun2025. Angka ini lebih tinggi dari target nasional yang ditetapkan dalam RUEN yaitu sebesar 23%. Program pengembangan EBT yang direncanakan secara massif dalam jangka waktu lima tahun kedepan.
Program ini, sebut Mahdi Nur, sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan Kawasan Industri Aceh(KIA)di Ladong,Kabupaten Aceh Besardan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe.
Menurutnya, kemandirian energy melalui pemanfaatan EBTsebagai energi masa depan rendah polusi yang ingin dicapai di Aceh akan memberi akses masyarakat terhadap listrik dengan harga terjangkau secara berkelanjutan dengan tetap memberi perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Disamping itu kemandirian energy di Aceh juga akan memiliki efek berganda (multipliereffect) terhadap akselerasi pembangunan serta pertumbuhan disektor swasta (privatesector).Hal ini diharapkan dapat menyerap tenaga lokal terampil (skillfullabor) dalam jumlah besar.
Tenaga kerja ini untuk dipekerjakan disetiap sektor pembangunan. Untuk mewujudkan hal ini Pemerintah Aceh perlu memaksimalkan potensi daerah serta potensi sumberdaya manusia, dimana sumber daya EBT berperan sebagai modal pembangunan, jelasnya.
Aceh sudah ditakdirkan Tuhan memiliki potensi energi yang sangat besar. Potensi itu akan melahirkan kemakmuran bila mampu dimanfaatkan dengan baik. Pihak yang jeli dan memiliki skil untuk mengelola semua potensi itu, kehadiranya sangat diharapkan.
Kalau bukan sekarang dimanfaatkan, kapan lagi? Apakah Aceh harus senantiasa “mengemis” energi ke luar, sementara di bumi Serambi Mekkah potensi itu berlimpah. (Bahtiar Gayo)