Hitler dan Paradoks Modernitas Eropa: Kritik dari Perspektif Anti-Kolonial
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Diskursus sejarah terkait Hitler. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Dialektika - Dalam diskursus sejarah, Adolf Hitler kerap dianggap sebagai tokoh anomali dalam imajinasi Eropa. Narasi populer menyebut Eropa sebagai tanah aufklarung atau pencerahan, kemajuan, serta penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Namun, apakah kenyataan sejarah sejalan dengan klaim tersebut? Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, menyoroti sisi gelap modernitas Eropa dalam diskusi khusus bersama Dialeksis.com, Jumat (24/1/2025).
"Hitler sering dianggap sebagai penyimpangan dari modernitas Eropa. Namun, bagi tokoh anti-kolonial seperti Muhammad Hatta dan Aime Cesaire, Hitler bukanlah ‘oknum’ atau pengecualian, melainkan paradoks dari modernitas versi Eropa itu sendiri," jelas Baiquni.
Ia lanjut menjelaskan bahwa Muhammad Hatta, salah satu Bapak Bangsa Indonesia, pernah bertanya dalam salah satu esainya, "Apa sebab… Jerman, yang termasyhur ketinggian pengetahuan dan paham rakyatnya, begitu mudah tertarik oleh seorang Hitler?” Hatta menemukan bahwa sistem politik dunia yang berpusat pada Eropa tidaklah benar-benar netral, melainkan sering merayakan diskriminasi rasial dan menanamkan kebencian terhadap ras yang berbeda.
“Hatta mengutip pepatah klasik, "Barangsiapa yang menebarkan benih angin akan memetik buah taufan," untuk menggambarkan bahwa kekejaman seperti yang dilakukan Hitler adalah hasil dari pola pikir diskriminatif yang telah lama dibiarkan tumbuh subur di tanah modernitas Eropa,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Baiquni juga datang dari Aime Cesaire, intelektual Martinique asal Prancis, yang menulis dalam bukunya Discourse on Colonialism. Cesaire menegaskan bahwa kejahatan Hitler bukanlah anomali, tetapi bagian dari sejarah panjang kekejaman kolonial Eropa di Asia dan Afrika selama berabad-abad.
“Hitler adalah cermin yang mengingatkan bangsa Eropa lain tentang apa yang telah mereka lakukan terhadap bangsa-bangsa di belahan dunia lain. Kekejamannya hanyalah rasa dari obat kolonial mereka sendiri,” tulis Cesaire.
Baiquni Hasbi menambahkan, "Hitler, dalam perspektif ini, tidak sekadar menjadi simbol dari kebencian atau kekejaman individu. Ia adalah personifikasi dari sisi gelap modernitas, yang dibangun di atas landasan diskriminasi rasial dan eksploitasi kolonial. Semua pemimpin yang dianggap ‘anomali’ di dunia saat ini bukanlah sekadar individu yang menyimpang, tetapi adalah hasil dari sistem dan benih yang kita tanam sendiri. Kita hanya tidak suka dengan hasil panennya."
Menurutnya pandangan ini menantang pembaca untuk melihat sejarah tidak sekadar sebagai kronik kejadian, tetapi sebagai refleksi atas arsitektur moral dan politik dunia. Jika modernitas ingin tetap relevan dan kredibel, narasi sejarah perlu dikaji ulang dengan jujur, menyertakan suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
“Kritik seperti yang disuarakan Hatta dan Cesaire membuka ruang diskusi untuk memahami bahwa keadilan dan kemanusiaan tidak dapat diklaim secara eksklusif, melainkan harus menjadi perjuangan kolektif lintas peradaban,” tutupnya. [ar]