DIALEKSIS.COM | Dialektika - Dalam beberapa pekan terakhir, gelombang protes dari kalangan akademisi kedokteran Indonesia menggema di berbagai perguruan tinggi. Puluhan guru besar, dosen, dan civitas akademika Fakultas Kedokteran (FK) menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap arah kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang dinilai mengancam kualitas pendidikan kedokteran, otonomi institusi akademik, dan keberlanjutan pelayanan kesehatan masyarakat.
Protes ini memuncak setelah Kemenkes mengeluarkan sejumlah kebijakan kontroversial, termasuk pengambilalihan kolegium dokter spesialis dan intervensi dalam tata kelola rumah sakit pendidikan. Berita dialektika ini mengupas akar persoalan, respons pemangku kepentingan, serta implikasi kebijakan ini bagi masa depan kesehatan nasional.
Pada Selasa, 20 Mei 2025, Prof. Dr. Guslihan Dasa Tjipta, bersama sejumlah guru besar FK USU, membacakan sikap resmi yang mengecam kebijakan Kemenkes. Dalam pernyataannya, Guslihan menyoroti kecenderungan kebijakan kesehatan nasional yang “terburu-buru” dan mengabaikan prinsip ilmiah.
“Intervensi Kemenkes melemahkan institusi pendidikan dan rumah sakit pendidikan, yang justru menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan masyarakat,” tegasnya.
Salah satu isu krusial adalah pembentukan kolegium dokter spesialis baru oleh Kemenkes, yang dilakukan tanpa melibatkan organisasi profesi dan universitas. Padahal, selama 50 tahun, kolegium yang dikelola secara independen oleh akademisi dan praktisi telah menjadi garda terdepan dalam pengembangan spesialisasi kedokteran. Guslihan menilai langkah ini sebagai bentuk sentralisasi kekuasaan yang berpotensi mempolitisasi ilmu kedokteran.
“Narasi Kemenkes tidak mencerminkan prinsip demokrasi dan transparansi,” tambahnya.
Tak hanya itu, kebijakan alokasi anggaran kesehatan juga dikritik. Pembangunan fasilitas kesehatan mewah di daerah tanpa dukungan tenaga medis memadai dinilai kontraproduktif. “Dana pinjaman luar negeri seharusnya diperuntukkan memperkuat layanan dasar seperti puskesmas, bukan proyek infrastruktur tersier,” papar Guslihan.
Keprihatinan serupa disampaikan Dekan FK Unhas, Prof. Haerani Rasyid. Dalam sikap tertulisnya, Haerani menegaskan bahwa kebijakan Kemenkes telah menghilangkan “roh kolaborasi” antara pemerintah, akademisi, dan rumah sakit pendidikan. “Kami menolak kebijakan yang mengabaikan mutu, tradisi keilmuan, dan legacy pendidikan kedokteran,” ujarnya.
Di Universitas Indonesia (FK UI), protes difokuskan pada framing negatif Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait kasus perundungan (bullying) dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Guru Besar FK UI, Prof. Fahrial Syam, menyesalkan narasi yang menurutnya merusak kepercayaan publik terhadap profesi dokter.
“Masalah tiga tahun lalu terus diulang, seolah menjadi budaya umum. Ini tidak adil,” tegasnya.
Sementara itu, FK Unpad menyuarakan kritik lebih keras. Dalam maklumat 17 Mei 2025, mereka mendesak evaluasi terhadap Menkes atas kebijakan “ekspansif” yang mengambil alih fungsi pendidikan tenaga medis.
“Pendirian kolegium versi pemerintah tanpa partisipasi universitas adalah bentuk pelemahan demokrasi akademik,” ujar Prof. Endang Sutedja dari FK Unpad.
Akar konflik ini bersumber pada implementasi UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengalihkan kendali kolegium ke bawah Konsil Kesehatan Indonesia (KKI)”lembaga yang bertanggung jawab langsung ke Presiden. Kemenkes berargumen, perubahan ini menjadikan kolegium lebih independen. Namun, para akademisi menolak klaim tersebut.
“KKI justru diisi mantan pejabat Kemenkes. Ini bukti wewenang tetap di tangan birokrasi,” kritik seorang guru besar FK USU. Mereka khawatir sentralisasi ini akan mengikis kedaulatan keilmuan, karena kurikulum dan standar kompetensi dokter spesialis dikendalikan oleh pihak non-akademik.
Tidak hanya itu, turunan UU ini juga memicu polemik mutasi massal dokter pendidik klinis di rumah sakit pendidikan. FK Unair, misalnya, melaporkan bahwa mutasi sepihak mengganggu kontinuitas pelayanan dan pendidikan. “Proses ini dilakukan tanpa konsultasi dengan universitas atau organisasi profesi,” keluh perwakilan FK Unair.
Di balik hiruk-pikuk kebijakan, para akademisi mengingatkan pemerintah agar tidak abai pada masalah mendasar: kesenjangan akses dan kualitas layanan kesehatan. Guslihan mencontohkan, pembangunan rumah sakit rujukan bertaraf internasional di daerah terpencil kerap hanya menjadi “proyek mercusuar”. “Tanpa dokter dan SDM memadai, fasilitas mewah itu sia-sia,” tegasnya.
Data BPJS Kesehatan 2024 menunjukkan, 65% masyarakat di wilayah timur Indonesia masih kesulitan mengakses layanan spesialis. Alih-alih menutup celah ini, alokasi anggaran kesehatan justru terkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur. Padahal, menurut Haerani Rasyid, “Penguatan puskesmas dan layanan primer seharusnya jadi prioritas.”
Protes tidak hanya berwujud pernyataan sikap. Di Banda Aceh, ratusan civitas akademika FK Universitas Syiah Kuala (USK) menggelar aksi turun ke jalan pada 20 Mei 2025. Mereka menuntut pengembalian kendali pendidikan kedokteran ke Kemendikbudristek. “Pendidikan kedokteran harus dikelola oleh ahlinya, bukan Kemenkes,” seru Prof. Kurnia Fitri Jamil, koordinator aksi.
Tuntutan serupa disuarakan secara nasional. Para akademisi mendesak: penghentian intervensi Kemenkes dalam pengelolaan kolegium dan kurikulum, peninjauan ulang UU No.17/2023 dan turunannya, alokasi anggaran kesehatan yang berkeadilan, dengan fokus pada SDM dan layanan dasar, dan Evaluasi kebijakan RSPP (Rumah Sakit Pendidikan Pemerintah) yang dinilai terburu-buru.
Menanggapi gelombang protes, Kemenkes melalui Jubir Aji Muhawarman menyatakan belum dapat memberikan komentar mendetail. Namun, dalam pernyataan sebelumnya, Menkes Budi Gunadi Sadikin membela kebijakannya. “Pembenahan PPDS diperlukan untuk menghapus budaya perundungan dan inefisiensi,” katanya.
Sayangnya, argumen ini tidak sepenuhnya diterima akademisi. Bagi mereka, langkah Kemenkes justru mengorbankan kualitas pendidikan demi solusi instan. Misalnya, program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit (RSPPU) dinilai memangkas proses pendidikan tanpa menjamin kompetensi lulusan.
Protes para guru besar kedokteran bukan sekadar perdebatan birokrasi, melainkan pertaruhan atas masa depan kesehatan bangsa. Kebijakan yang mengabaikan prinsip ilmiah, otonomi akademik, dan pemerataan layanan berisiko memperlebar kesenjangan kesehatan yang ujungnya berdampak pada masyarakat kecil.
Pemerintah perlu membuka ruang dialog inklusif dengan akademisi dan organisasi profesi. Kolaborasi, bukan sentralisasi, adalah kunci memperbaiki sistem kesehatan. Sebab, seperti diingatkan Guslihan, “Ilmu kedokteran adalah warisan peradaban. Jangan sampai ia direduksi menjadi alat kepentingan sesaat.”