LIPI: Aceh Penerima Hoaks Tertinggi
Font: Ukuran: - +
Reporter : abiyu
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akses informasi saat ini dapat diperoleh dengan cepat seiring dengan berkembangan teknologi yang begitu pesat, baik itu dari media sosial, website maupun media mainstrem. Namun banyak informasi bohong alias hoax yang disebarkan berbagai oknum demi kepentingan tertentu yang menjadi konsumsi publik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring oleh kemdikbud.go.id, pengertian hoaks adalah berita bohong. Namun dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan istilah fake news (berita bohong) yaitu berita buatan atau berita palsu yang tidak berdasarkan kenyataan.
Provinsi Aceh termasuk salah satu dari tiga daerah yang tingkat penerimaan informasi bohong atau hoaks sangat tinggi berdasarkan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2018. Sementara dua daerah lain yang mendapatkan predikat yang sama yakni Jawa Barat dan Banten.
Informasi bohong yang paling banyak diterima oleh tiga daerah tersebut adalah isu kebangkitan PKI, isu tentang kriminalisasi ulama, tentang tenaga kerja asing serta berbagai hal lainnya yang menyangkut berita hoaks.
Dalam wawancara langsung dengan Dialeksis.com, peneliti LIPI Amin Mudzakir menyebutkan sebenarnya itu survei tentang intoleransi dan radikalisme, salah satu variabelnya LIPI ingin melihat peranan ataupun pengaruh dari media sosial terhadap intoleransi di sembilan provinsi di Indonesia meliputi Aceh, Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah.
"Untuk setiap provinsi kita mengambil 200 responden, lalu masing-masing provinsi dibagi menjadi beberapa daerah berdasarkan konteks kultural dan etnis di daerah tersebut. Dan setiap provinsi itu beda-beda tergantung pembagian sub etnis dan kulturalnya," katanya.
Amin menjelaskan, dalam survei tersebut LIPI merancang beberapa pertanyaan terkait penyebaran dan penerimaan informasi hoaks di media sosial yang diajukan kepada responden di masing-masing provinsi.
"Ada lima pertanyaan tentang itu, diantaranya, mengenai teori bumi datar, mengenai masuknya tenaga kerja asing terutama dari Cina, kemudian mengenai kriminalisasi ulama, bangkitnya PKI. Dari lima pertanyaan itu, tiga diantaranya paling banyak diketahui dan dipercaya yaitu tentang kriminalisasi ulama, bangkitnya PKI dan masuknya tenaga kerja asing," jelasnya.
Menurut Amin, LIPI tidak menentukan spesifikasi media sosial tempat responden mendapat infomarmasi hoaks tersebut, namun pihaknya hanya bertanya tentang tangkapan informasi dari sosmed.
Sementara itu, Dialeksis.com juga mewawancarai langsung Yogi Pratama, Peneliti LIPI yang memegang wilayah Aceh saat penelitian itu dilakukan.
Menurut Yogi, dalam survei itu LIPI tidak mencari penyebab tingginya penerimaan informasi hoaks di tiga provinsi itu, hanya mencari persepsi publik tentang hal itu.
"Jadi tidak sampai pada pertanyaan tentang mengapa persepsi itu muncul, kita hanya karena sifatnya survei ya kita hanya tanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang penyebaran dan penerimaan informasi hoaks itu saja, tidak mengelaborasi akar atau sebab dibelakangnya" katanya.
Saat ditanya apakah kepercayaan terhadap hoaks itu mempengaruhi intoleransi, Yogi menjelaskan pihaknya belum sampai ke arah sana, LIPI saat itu hanya melakukan diskripsi.
"itu bagusnya untuk riset berikutnya harus melakukan riset yang metodenya itu melakukan konfirmasi untuk menghubungkan dua variabel itu (Hoaks dan Intoleransi). kami itu belum kesana. kami belum punya kesimpulan yang terbukti secara metodelogi," jelasnya.
"Yang jelas survei ini sama sekali tidak ada pretensi apapun untuk mendiskreditkan suatu pihak di Aceh maupun provinsi lain, Saat itu kita hanya melakukan survei biasa saja yang hasilnya seperti itu, jadi tidak ada pretensi apapun, kita hanya mengukur," katanya.
Berdasarkan data hasil survei LIPI yang diperoleh Dialeksis.com, dari total 116,034,389 pendudk berdasarkan data BPS tahun 2010, LIPI mengambil sampel 1800 responden (200 orang di setiap provinsi) dengan kelompok usia mulai dari 17 hingga 64 tahun.
Pertanyaan-pertanyaan tentang informasi Hoaks itu masuk dalam varibel reaksi terhadap isu-isu nasional dengan beberpa pertanyaan, selebihnya tentang intoleran. Dalam survei itu 54,1 persen mengetahui berita kebangkitan PKI di Indonesia dan 57,2 persen tidak percaya dengan informasi itu.
Kemudian, informasi tentang kriminalisasi ulama oleh negara hanya 42.6 persen yang mengetahui dan 54.7 persennya tidak mengetahui informasi itu. Namun 52,9 persen responden percaya dengan informasi itu dan yang tidak percaya hanya47,1 persen.
Sebelumnya, Jaringan Survei Inisiatif (JSI) juga pernah melakukan survei terntang hoaks dan dampaknya terhadap masyarakat dan pembangunan di Aceh pada tahun 2018. dari 201 responden, 64 persen responden menyatakan hoax sangat mengganggu kehidupan. Sementara 31 persen menganggap hoax hanya sedikit mengganggu. Sisanya 5 persen menyatakan tidak mengganggu sama sekali.
Sebanyak 52 persen sulit membedakan hoaks, 34 persen mudah membedakan,11 persen sangat mudah membedakan, 3 persen sangat sulit membedakan. Untuk variabel reaksi terhadap berita hoaks, 79,60 persen responden memilih periksa dulu informasinya, 18.91 persen mendiamkan, 1,00 persen membagikan dan 0,50 menyukai.
Sebanyak 48 persen responden mencurigai informasi hoaks karena summber informasinya tidak jelas, 35 persen karena merasa ane, 12 persen karena tidak ada di tv/radio/koran, dan 5 persen karena mustahil benar.
Selanjutnya,intensitas membaca hoaks, 35 persen responden hanyan membaca hoaks seminggu sekali, 32 persen setiap hari, 19 persen lebih sekali membaca hoaks dan satu hari, 14 prsen lainnya hanya membaca hoaks sebulan sekali.
Kemudian, JSI juga mengungkap media penyalur hoaks melalui surveinya, dimana 33 persen responden menyebut hoak disebarkan melalu media sosial (facebook, instagram, dll), 31 persen diantaranya disebarkan melalui aplikasi chatting (WhatsApp, line, dll), 20 persen dari website, 9 pesen dari Tv, 1 persen dari radio, 3 persen dari koran dan 3 prsen dari email. (h)