kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Masyarakat Adat Aceh Akhirnya Diakui Negara untuk Mengelola Hutan

Masyarakat Adat Aceh Akhirnya Diakui Negara untuk Mengelola Hutan

Senin, 18 September 2023 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

DIALEKSIS.COM| Dialektika - Akhirnya pemerintah mengakui keberadaan hutan di Aceh untuk dikelola secara adat oleh warga setempat. Sama seperti provinsi lainya di Indonesia yang diberikan wewenang untuk mengurus hutan.

Ada 8 tokoh ada dari tiga kabupaten di Serambi Mekkah yang akan mendapatkan hak untuk mengelola hutan yang penyerahan SK nya bertepatan dengan rangkaian kegiatan Festival LIKE Road to COP 28 UAE 2023 pada tanggal 16 sampai dengan 18 September 2023, di Indonesia Arena kompleks Gelora Bung Karno Jakarta. 

8 tokoh adat hutan Aceh ini berasal dari tiga  kabupaten di Aceh, dari Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Bireuen. Pemberian hak mengelola hutan di Aceh kepada pemangku adat, mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, namun ada juga yang menyebutkan itu merupakan hal yang biasa, sama seperti provinsi lainya di Indonesia.

Bagaimana pendapat mereka ketika Aceh diberikan wewenang dalam mengelola hutan, walau baru untuk tiga kabupaten yang ada di Aceh. Dialeksis.com merangkum berbagai pendapat itu.

Delapan penerima SK untuk mengelola hutan di Aceh ini;  Ketua MHA Ilyas dari Mukim Beungga Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie.  Ketua MHA Khalidin dari Mukim Kunyet kecamatan Padang Tiji dari Kabupaten Pidie.

Ketua MHA Muhammad Nasir dari Mukim Paloh kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie, Ketua MHA Hamidi dari Mukim Panga Pasi Kecamatan Panga kabupaten Aceh Jaya.  Ketua MHA Syaukani dari Mukim Krueng Sabee kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya.

Ketua MHA Drs. Muntasir dari Mukim Blang Birah Kecamatan Peudada Kabupaten Bireuen. Ketua MHA Hasbi Abdullah dari Mukim Krueng Kecamatan Peudada kabupaten Bireuen dan  Ketua MHA Tgk Mansur dari Mukim Kuta Jeumpa kecamatan Jeumpa kabupaten Bireuen

Disambut Baik

Keputusan penetapan delapan komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Aceh telah ditandatangani oleh Dirjen PSKL (Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan) atas nama Menteri pada 7 September 2023," kata Koordinator Tim Terpadu Verifikasi Usulan Hutan Adat di Aceh Yuli Prasetyo Nugroho dalam keterangannya, di Banda Aceh, Jumat.

Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal KLHK itu mengatakan saat ini sedang dilakukan perencanaan acara penyerahan oleh Presiden Jokowi di Jakarta pada 18 September 2023.

Adapun usulan penetapan hutan adat kepada KLHK dimulai sejak 2016 oleh tiga mukim yang berada di Pidie, dua mukim di Aceh Jaya pada 2019, dan empat mukim di Kabupaten Bireuen pada 2020.

Dengan diterbitkannya SK Hutan Adat itu, lanjutnya, Aceh memiliki hutan adat, sehingga bisa memberi perlindungan kepada masyarakat agar dapat mengelola hutannya untuk kemakmuran masyarakatnya, serta menjaga kearifan lokal. 

Kabar diakuinya hutan adat di Aceh oleh negara disambut baik oleh Sofyan Dawood mantan Juru Bicara Militer GAM. Menurutnya, pengakuan itu wujud penghormatan negara terhadap Aceh. 

“Saya menyambut baik SK penetapan hutan adat di Aceh dan menyampaikan apresiasi kepada semua pihak, khususnya masyarakat dan lembaga swadaya yang sudah berjuang jauh-jauh hari,” ujarnya, usai bincang-bincang dengan pemuda barat-selatan Aceh, Jumat (15/9/2023).  

Menurut Sofyan Dawood, bila masyarakat dilindungi secara kebijakan, termasuk dalam pengelolaan hutan adat maka kesempatan untuk bangkit di atas sumber daya alam milik masyarakat sendiri akan semakin terbuka. 

“Dan yang lebih penting, dengan pengakuan hutan adat di Aceh akan menjadi pelindung dari korporasi yang bermaksud masuk ke hutan adat. Pengakuan hutan adat berarti masyarakat sudah punya kekuatan hukum,” tambahnya. 

Disampaikan oleh Sofyan Dowood, hutan bagi masyarakat di Aceh sangat penting. Tidak hanya sebagai sumber pangan, tapi juga sumber protein, sumber ekonomi, sumber air, sumber obat-obatan, dan juga bisa dijadikan sumber rekreasi. 

“Hutan juga benteng pertahanan masa lalu yang sangat membantu para pejuang dari kejaran penjajah, dan di masa depan menjadi benteng ketahanan pangan dalam menghadapi bencana pangan,” sebutnya. 

Menurutnya, tantangan paska pengakuan negara adalah mewujudkan tata kelola hutan adat sehingga hutan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. 

“Tata kelola hutan adat ini perlu dipikirkan dan ini juga kesempatan besar untuk memperkuat peran dan wewenang mukim, tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” tutupnya. 

USK Siap Jadi Mitra

Sementara itu, Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Profesor Marwan mengapresiasi dan menyambut baik SK penetapan hutan adat di Aceh.

“Ini keputusan penting, perjuangan mukim mendapatkan pengakuan hutan adat dari negara sudah cukup lama, akhirnya sah secara hukum formal,” kata Marwan.

Ia menyampaikan apresiasi kepada KLHK dan Timdu yang telah menjadikan kajian tim peneliti USK sebagai acuan dasar dan kemudian turun langsung melakukan verifikasi teknis (vertek) ke Aceh, bulan lalu.

“Ke depan, kerja sama seperti ini perlu kita tingkatkan lagi. USK siap menjadi mitra KLHK dan stakeholder lainnya,” ucap Marwan usai menerima laporan Ketua Tim Peneliti Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat USK dan salah satu Timdu yang terlibat dalam verifikasi hutan adat Aceh.

“Secara khusus, saya juga mengapresiasi tim peneliti Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat USK yang telah dengan serius dan kontinyu melakukan kajian dan mengawal pengakuan hutan adat mukim ini,” katanya.

Ia menyebut, hal ini merupaka keputusan penting, perjuangan mukim mendapatkan pengakuan hutan adat dari negara sudah cukup lama, akhirnya sah secara hukum formal.

Marwan menyampaikan, apresiasi yang tinggi kepada KLHK dan Timdu yang telah menjadikan kajian tim peneliti USK sebagai acuan dasar dan kemudian turun langsung melakukan verifikasi teknis (vertek) ke Aceh bulan lalu.

“Kedepan, kerjasama seperti ini perlu kita tingkatkan lagi, USK siap menjadi mitra KLHK dan Stakeholder lainnya,” ujar Marwan usai menerima laporan Ketua Tim Peneliti Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat USK dan salah satu Timdu yang terlibat dalam verifikasi hutan adat Aceh.

“Secara khusus, saya juga mengapresiasi tim peneliti Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat USK, yang telah dengan serius dan kontinyu melakukan kajian dan mengawal pengakuan hutan adat mukim ini,” katanya.

Lebih lanjut, Marwan berharap dengan adanya kepastian hukum ini, masyarakat hukum adat mukim dapat memanfaatkannya secara lebih optimal untuk pemberdayaan ekonomi berbasis potensi dan kearifan lokal.

“Dengan ini peran mukim sebagai bagian struktur lembaga adat Aceh akan lebih nyata dalam mendukung visi Wali Nanggroe sebagai pemangku adat tertinggi dan pemersatu masyarakat Aceh semakin nyata, demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Aceh secara keseluruhan,” jelasnya.

Hal serupa juga dikatakan Pegiat Masyarakat Hukum Adat, M Adli Abdullah yang juga dosen hukum adat USK, yang aktif menjembatani adanya pengakuan hak-hak adat masyarakat hukum adat di Indonesia, sangat terharu atas keluarnya Surat Keputusan atas delapan Masyarakat Hukum Adat Mukim di Aceh menjadi yang pertama terhadap pengakuan hutan adat di Aceh, yang telah diperjuangkan sejak tahun 2000 an.

“Sekarang hutan adat di Aceh sah dan legal secara hukum. Ini awal dari upaya perlindungan Masyarakat Hukum Adat mukim di Aceh,” ujar Adli.

USK telah membuka sumbatan yang terjadi bertahun-tahun lamanya. Ini kerja nyata insan kampus bagi masyarakat hukum adat mukim di Aceh.

“Kita berharap dengan pengakuan tersebut dapat meningkatkan perekonomian masyarakat hukum adat, terutama dalam kawasan tersebut,” ucap Adli.

Disisi lain, Teuku Muttaqin Mansur, sebagai Ketua Tim Peneliti Hutan Adat USK yang juga salah satu anggota timdu bentukan KLHK mengatakan, pengakuan ini juga tidak terlepas dari hasil rekomendasi Timdu yang diketuai Dr. rer.nat. Rina Mardiana, SP., M.Si yang telah memimpin tim dan melakukan vertek terhadap usulan hutan adat mukim pada tanggal 9-17 Agustus 2023 dengan sangat baik,” ungkap Teuku Muttaqin.

Muttaqin juga mengapresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan mewujudkan legalisasi hutan adat di Aceh.

“Peran Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Aceh Green Conservation (AGC), Perkumpulan HuMa, pemerintah pusat dan daerah, Wali Nanggroe serta semua pihak yang terlibat turut mendorong mempercepat proses penetapan hutan adat di Aceh,” kata Muttaqin.

Punya Hak Mengelola

Sementara itu,Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Zulfikar Arma, mengapresiasi langkah pemerintah dalam memberikan wewenang kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan. 

Menurutnya, pengakuan tersebut telah lama dinanti oleh masayarakat adat yang berada di wilayah hutan adat. Dengan penetapan itu, masyarakat akan punya hak penuh terhadap hutan adatnya. 

“Masyarakat hutan adat Aceh berbeda dengan provinsi lain, karena indentitas mukim bentuk pengakuan secara formal oleh negara,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Minggu (17/9/2023). 

Dengan adanya penetapan hutan adat ini, kata dia, memberikan kepastian hukum kepada masyarakat hukum adat sendiri terhadap hutan adat dan wilayah adat. 

“Misal, ketika ada investasi yang akan dilakukan oleh pemerintah ataupun negara terhadap hutan adatnya, maka setiap yang akan melakukan investasi terhadap hutan adat itu akan dilakukan kompromi, diajak rembuk dulu dengan masyarakat adat,” jelasnya. 

Namun yang selama ini terjadi, kata dia, masyarakat mengklaim itu hutan adatnya dan tidak ada bentuk pengakuan secara formal dan secara hukum negara. 

“Ke depan dengan penetapan ini masyarakat adat akan diajak diskusi, kompromi, apakah boleh atau tidak untuk ada program strategis nasional di dalam wilayah adatnya,” terangnya. 

Artinya, sambung dia, keberpihakan terhadap hutan adat adalah wujud pelestarian hutan dan keberlangsungan satwa liar di dalamnya. 

Zulfikar mengatakan, seharusnya negara dari dulu memberi ruang kepada masyarakat adat, bukan hanya memberi ruang kepada korporasi. 

“Jangan menganggap bahwa masyarakat tidak mampu mengelola hutan adat, kita buktikan saja dalam 10 sampai 20 tahun kedepan apakah hutan adat yang dikelola masyarakat berdampak baik atau makin buruk seperti yang selama ini dikasih izin ke perusahaan, HPH, HPI, itu hutannya makin hancur,” ungkapnya. 

Dirinya meyakini dengan penetapan hutan adat yang langsung diberikan kepada masyarakat adat itu akan membuktikan, bahwa masyarakat adat di Aceh mampu melindungi pelestarian lingkungan satwa, meningkatkan kemandirian ekonomi, dan kesejahteraan mereka kedepan.

Krisis Wewenang

Lain lagi pendapat Analis kerjasama Kehutanan KPH Wilayah III Aceh, Dedy Fitriandi, S.Hut., M.Sc. Menurutnya, pengakuan pusat terhadap hutan adat di Aceh bukanlah hal yang luar biasa, karena hal itu adalah skema pengelolaan hutan yang juga diberikan untuk provinsi lain. 

Menurutnya, yang hari ini terjadi di Aceh adalah krisisnya kewenangan Aceh dalam pengelolaan hutan. Berdasarkan UUPA diamputasi dengan brutal oleh Kementerian LHK. Jika pemerintah Aceh diam, maka di awal tahun 2024, Pendapatan Asli Aceh akan zero (nol),” ungkapnya kepada Dialeksis.com. Minggu (17/9/2023). 

Secara jangka panjang, kata dia, itu akan menggangu integrasi perdamaian yang hari ini masih dalam proses. Dikhawatirkan Aceh akan menjadi turis di tanahnya sendiri dalam hal pengelolaan hutan.

Dedy mengungkapkan, DLHK saat ini seperti bertarung sendiri dalam mengatasi agresifnya KLHK menjajah Aceh dengan turunan UU Cipta kerja terkait kehutanan.

Menurutnya, tidak ada sama sekali penghormatan pusat terhadap MoU Helsinki, UUPA dan Qanun Nomor 7 tentang Kehutanan.

Bagaimana sejarah baru soal hutan di Aceh yang kini dipercayakan pemerintah kepada masyarakat adat untuk mengelolanya. Apakah akan semakin baik, atau hutan Aceh akan semakin hancur, seperti selama ini yang senantiasa dibantai, waktulah yang akan menjawabnya.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda