Membangun Kesadaran Produksi Pengetahuan
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh – Di tengah merebaknya tren membagikan berita-berita palsu dan hoaks di media sosial semakin tinggi, kesadaran masyarakat untuk menyaring berbagai informasi yang benar dan palsu semakin berkurang. Produksi pengetahuan pun kian melemah.
Owner Penerbit Ombak, M Nursam menyebutkan saat ini sumber-sumber produksi pengetahuan sudah tidak lagi terpusat di kampus, walau kampus dianggap memiliki otoritas terhadap hal tersebut.
"Tapi, ironisnya sekarang produksi pengetahuan di Indonesia oleh masyarakat umum lebih banyak dari media sosial yang kredibilitasnya tidak dicrosscheck. Kalau sesuai dengan afiliasi kelompok atau politiknya langsung dianggap kebenaran dan dishare," ujarnya.
Parahnya lagi, tren seperti itu tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, tapi juga melanda masyarakat kampus yang bergelar doktor dan profesor, kata Nursam.
Hal seperti ini terjadi, kata Nursam akibat rendahnya tingkat literasi dari masyarakat. Minat masyarakat terhadap budaya membaca dan menulis sangat rendah. Sehingga tingkat produksi pengetahuan pun ikut berkurang.
"Kalau kita lihat dari zaman pergerakan, kita periksa aktivis pergerakan pendiri republik ini, semuanya gila buku. Misalnya, kalau kita lihat sejarah, tradisi menulis Aceh itu sangat kuat. Kita lihat Perang Aceh itu pada tahun 1873 sampai dengan 1912 yang disebut oleh Prof Ibrahim Alfian basis ideologisnya sebagai perang Sabil. Salah satunya di dalamnya kan ada hikayat. Hikayat Perang Sabil Aceh itu kan ada dan itu dijadikan acuan," kata Ketua Keluarga Alumni Sejarah UGM itu.
Semua masyarakat yang punya peradaban besar, kata Nursam pasti memiliki tradisi memproduksi pengetahuan dalam bentuk hikayat dan babat seperti Jawa, Bugis, dan daerah lainnya.
Ia menyebutkan tradisi ini perlahan menghilang kemungkinan karena pergerakan sejarah yang cukup dinamis sehingga ada generasi yang hilang dari rentetan tersebut.
Sementara, tradisi produksi pengetahuan para aktivis pergerakan dan pendiri republik ini, kata Nursam pada awal-awal kemerdekaan sangat tinggi dan produktif menulis dan diskusi seperti Muhammad Said, Sudjatmoko, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan tokoh lainnya.
Namun, lagi-lagi tradisi ini meredup dan diberangus pada masa Orde Baru dengan kebijakan otoriter Soeharto. Tradisi akademik dan berpikir kritis dilarang oleh rezim pada masa itu.
"Konon kabarnya, tradisi ini dihabisi oleh Orde Baru. Begitu para cendekiawan mengatakannya. Harusnya sudah 20 tahun kita reformasi, tradisi itu harus dikembalikan kan?"
Dan yang terjadi di kampus-kampus Indonesia sendiri saat ini, sambungnya, tradisi yang dibangun malah mulai bertolak belakang dari semangat untuk memproduksi pengetahuan.
"Di kampus itu yang harusnya tradisi akademik, prestasi yang dilihat, tapi yang terjadi adalah feodalisasi. Tradisi feodal. Mungkin inilah yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia. Itu yang saya lihat," ujarnya.
Karena itu, aktivis Pustaka Pergerakan Indonesia ini menyarankan jika ingin produksi pengetahuan di Indonesia menjadi banyak seperti di negara-negara lain, maka negara berkewajiban untuk menerbitkan semua hasil-hasil penelitian para akademisi dan peneliti yang selama ini tidak bisa diakses publik menjadi buku yang bisa dibaca khalayak ramai.
"Sudah berapa ratus profesor pertanian kita, masak untuk menanam kedelai seperti kualitas Amerika tidak bisa? Kan nggak mungkin!"