Mengurai Polemik Konser Musik di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pergelaran konser musik menjadi polemik. Akankah Aceh sepi dari pergelaran konser, dimana Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sudah menghimbau agar sebaiknya konser musik ditiadakan di bumi Serambi Mekkah ini.
Hingga kini persoalan konser ini belum ada titik terang bagaimana sebaiknya. Apakah di Bumi Aceh tidak boleh konser, atau dibolehkan dengan sejumlah syarat? Apakah musik itu haram, merujuk pada fatwa MPU Aceh no.12/2013 tentang seni budaya dan hiburan lainnya.
Apa yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini? Polemik ini harus diselesaikan dengan bijak. Untuk itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh akan memfasilitasi pertemuan antara Asosiasi Pariwisata Aceh untuk berdiskusi dengan MPU Aceh.
Fasilitasi pertemuan itu untuk berdiskusi, dimana Disbudpar Aceh berpendapat bahwa tidak mungkin event-event bertajuk kebudayaan hanya ditampilkan dalam bentuk pertunjukan saja. Kebudayaan juga bermain dengan kesenian dan alat musik yang semuanya merupakan syiar agama.
Wacana yang digaungkan Disbudpar mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak, terutama dari kalangan seniman. Irfan, salah seorang seniman Aceh menyatakan pihaknya mendukung penuh usaha Disbudpar Aceh yang akan mempertemukan Asosiasi Pariwisata Aceh dengan MPU Aceh.
Dia berharap agar audiensi itu nantinya bisa menemukan titik tengah. Sehingga, tidak ada pegiat seni, pegiat event dan pihak-pihak yang dipatahkan kakinya oleh aturan tersebut.
Menurut Irfan, sejatinya aturan dibuat untuk terjalinnya keharmonisan dalam elemen masyarakat. Makanya perlu adanya diskusi yang melibatkan pegiat seni dalam aturan berkesenian.
“Sekalipun ada batasan-batasan tertentu nantinya. Para pegiat seni ini tidak langsung jantungan ketika membaca aturan berkesenian di Aceh. Jadi, ada jeda waktu untuk memilih pindah ke luar Aceh,” ujar Irfan sambil tertawa kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Jumat (16/9/2022).
Di sisi lain, Irfan selaku orang Aceh juga mendukung penuh penyampaian segala himbauan ulama dan umara di Aceh.
Namun dalam polemik ini, Irfan sangat berharap adanya keterlibatan para seniman yang diajak untuk berkoordinasi dalam merumuskan aturan berkesenian.
“Karena nantinya yang akan bersentuhan langsung dengan aturan ini ya para seniman dan pegiat seni,” sebut Irfan.
Politikus Nasdem juga memberikan pandanganya soal konser musik di Aceh. Ketua DPW NasDem Aceh Teuku Taufiqulhadi mendukung rencana pertemuan antara Asosiasi Pariwisata Aceh dengan MPU Aceh membahas soal polemik pergelaran konser musik di Aceh.
“Saya mendukung penuh rencana pertemuan itu. Karena kesenian itu harus berkembang di Aceh dan seniman juga harus dikasih ruang untuk hadir,” kata Taufiqulhadi kepada Dialeksis.com, Jumat (16/9/2022).
Menurutnya, seniman itu adalah mata hati suatu masyarakat. Sebuah peradaban, seperti yang dibangun oleh dinasti Umayyah dan Abbasiyah, selalu ada sentuhan para seniman. Bahkan para khalifah dan sultan masa Abbasiyah dengan penuh kesadaran mengundang para seniman ke istana dan memberi perlindungan.
“Rakyat Aceh juga harus melindungi seniman, dan memberi ruang kepada mereka,” pinta ketua Nasdem Aceh ini.
Himbaun MPU Aceh agar sebaiknya konser musik ditiadakan di bumi Serambi Mekkah. MPU Aceh juga sudah mengeluarkan fatwa MPU Aceh no.12/2013 tentang seni budaya dan hiburan lainnya.
Apakah musik itu diharamkan di bumi Aceh?
Bagaimana musik di bumi Aceh apakah haram? Untuk menjawab polemik yang berkembang di tengah masyarakat, ada sebuah kajian yang menarik yang dilangsungkan Kamis 15 September di Banda Aceh. Kajian Aktual Tastafi ini temanya sangat menarik, Perdukunan dan Konser Musik, Malapetaka Buat Nanggroe Aceh.
Banyak pihak yang memberikan penilaian soal musik. Uraian mereka panjang dan sangat menarik untuk disimak. Seperti yang dilansir Theacehpost.com, Abuya Habibie Waly misalnya, menganilasa soal musik.
Menurut Abuya Habibie, bahwa musik akan selalu menjadi khilafiah dikalangan ulama kontemporer. Mungkin sampai hari kiamat dan akan terus menjadi perdebatan antara para ulama.
“Sebelum menilai sesuatu kita harus melihat dulu taarif-nya (defenisi-red), karena untuk menyelesaikan suatu persoalan harus ada dasar ma’badi asyarah, atau dalam bahasa dayah disebut dengan sepupuh pertanyaan besar, dan salah satunya adalah taarif , kata Abuya Habibie.
“Beda defenisi beda pula hukumnya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (kbbi), diterangkan bahwa musik adalah perpaduan suara, nada, yang dikomposisikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi irama,” sebutnya.
“Setiap nada belum tentu disebut musik, setiap suara belum tentu musik, suara adalah suara dan nada adalah nada,” terang Putra Abuya Prof Muhibbuddin Waly ini.
Abuya Habibie mengutip salah satu hadis Rasulullah, yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah. Ketika Rasulullah masuk ke Kota Madinah, ada seorang perempuan memukul rebana dan bernyanyi.
Maka ketika nabi melewati perempuan tersebut maka perempuan tersebut melepaskan satu kalimat dengan syair, Ya Allah jadikanlah Muhammad sebagai tetanggaku, kata perempuan dalam syair tersebut.
Mendengar perempuan itu bernyanyi dan memukul rebana, Rasulullah berkata “kalau engkau mencintai aku maka Allah lebih tahu bahwa aku mencintai dirimu,” sebut Abuya mengutip hadist tersebut.
Dikatakan, Nabi tidak melarang perempuan tersebut melakukan puji-pujian kepadanya. Dari sini kita sudah dapat satu hukum, yakni langsung dari rasulullah,” kata Abuya Habibie yang juga penulis buku Tauhid Al-Waliyah.
Abuya Habibie juga mengulas hadis riwayat Imam Al Bukhari, bahwa ada salah seorang sahabat perempuan mengundang Rasulullah dalam pesta perkawinannya. Nabi datang, lalu duduk di atas tikar yang sudah disiapkan oleh sahabat perempuan itu.
Kemudian hadir anak kecil perempuan memukul rebana dan bernyanyi dengan memuji Rasulullah, dengan syair “kami sudah beserta orang mulia, kami sudah bersama orang mulia yaitu Muhammad.”
“Anak kecil ini memukul rebana, bernyanyi dan memuji Rasulullah dengan kalimat-kalimat puji-pujian, lalu nabi tidak melarangnya” sebut Abuya Habibie.
Abuya Habibie juga menerangkan hadis Imam Bukhari, bahwa Rasulullah pernah didatangi oleh seseorang budak perempuan. Kemudian budak itu berkata, “Ya Rasulullah, saya bernazar kepadamu Ya Rasulullah, andai engkau pulang selamat dari medan perang Ya Rasulullah, saya bernazar ingin memukul rebana dan bernyayi memujimu.”
Kemudian perempuan tersebut menanyakan, “boleh atau tidak ya Rasulullah”. Beliau menjawab, “silahkan jika itu memang nazar mu,” kata Rasulullah.
“Dari ketiga hadis ini, sudah cukup bagi kita sebagai landasan bahwa musik itu ada yang dibolehkan dan ada yang tidak,” ungkap Abuya Habibie.
Tak hanya itu, seorang ulama Aceh sekaligus raja, Sultan Malikul Zahir bin Sultan Malikul Saleh menggunakan musik sebagai penyambut tamu kehormatan kerajaan. Diceritakan, dalam rihlah Ibnu Batutah seorang penjelajah muslim yang terkenal karena petualangannya berkeliling dunia, beliau pernah singgah di Aceh.
Tamu kehormatan ini duduk bersama Sultan Malikul Zahir bin Sultan Malikul Saleh, lalu Sultan mengundang seseorang untuk bersyair. Ini sudah dipraktekkan oleh nenek moyang kita dahulu, sebut Abuya Habibie.
Menurutnya, bahwa musik yang dibolehkan itu adalah melantunkan salawat kepada Rasulullah. Menyampaikan dakwah seperti Sunan Kalijaga. Beliau datang ke Jawa karena tahu kalau orang Jawa tidak bisa bahasa arab dan orang Jawa sangat suka dengan musik maka dia pelajarilah gamelan, kata Abuya.
Melalui gamelan Sunan Kali Jaga menyampaikan dakwah dengan musik, sehingga diterima oleh sebagian orang Jawa.
Menurut Abuya Habibie, musik juga bisa digunakan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat yang bermanfaat. Seperti kampanye sebuah program pemerintah, anjuran hidup bersih dan sehat, sehingga pesan-pesan tersebut bisa tersampaikan dengan baik.
Abuya Habibie menerangkan bahwa musik yang diharamkan dan menyesatkan adalah jenis musik yang harus dijauhi oleh umat islam. Dalam surat Lukman, dijelaskan bahwa ada sebagian orang menggunakan kata-kata menyesatkan orang lain.
“Kalau menggunakan kata-kata menyesatkan, mengajarkan kepada cinta dunia, ini haram hukumnya. Seperti inilah yang disindir oleh Rasulullah,” sebutnya.
Bagaimana dengan klaim bahwa musik bisa menjadi malapetaka buat nanggroe Aceh. Menjawab ini, Abuya merujuk pada fatwa Syeik Muhammad Abbas atau dikenal dengan Tgk Chik Kuta Karang.
Dalam kitab berjudul Tazkarah Arrakidin dijelaskan, pada masa itu kondisi Aceh sedang kacau, ulama saling bertengkar, sementara rakyat saling menyalahkan. Salah satu fatwa beliau adalah, apabila di Naggroe Aceh ini sudah terjadi kemaksiatan yang tidak bisa diberhentikan atau dianggap biasa maka akan turun tiga azab.
“Azeub di manyang (di langit), azeub di bumo, azeub di laot,” kata Abuya. Apa azab itu?
Abuya menjelaskan, azeub di mayang, seperti hujan yang sudah tidak beraturan lagi, azeub di bumo tumbuh-tumbuhan sudah mulai menghilang, dan azeub di laot, diibaratkan Belanda (pada waktu itu-red) sudah mulai turun. Artinya ekonomi dan pendidikan kita hari ini dikuasai oleh orang asing.
Kemudian jika ada yang bertanya apakah sudah terjadi malapetaka buat Nanggroe Aceh, jawabannya sudah.
“Namun kenapa kita tidak merasa, karena kita bukan orang yang beriman, karena kalau kita beriman segala sesuatu yang terjadi akan bisa kita rasakan. Kapan puncaknya, nanti ketika Aceh sudah mulai kacau balau,” terang Abuya.
Dalam kajian itu, Abuya Habibie mengutip pesan seperti yang disampaikan Sultan Iskandar muda. Kalau Aceh sudah dipimpin oleh orang fasik maka tunggulah masa kehancuran, musuh terbesar bangsa Aceh adalah ketika rakyatnya sudah bercerai-berai,” sebutnya.
Dalam kajian aktual Tastafi dengan tema ‘Perdukunan dan Konser Musik Malapetakan Buat Nanggroe Aceh’ ini juga diisi oleh pemateri lainnya seperti Prof Dr Syamsul Rizal, M Ag (Akademisi), Ayah H Muhammad Faisal (Anggota MPU), Tgk Amer Hamzah (Praktisi), dan Cut Nova Elita (Hypnoterapis).
Acara ini turut dihadiri para semiman Aceh, pelaku industri kreatif, praktisi, akademisi, santri, masyarakat umum serta para pejabat lainnya.
Lantas sekarang bagaimana dengan konser musik Aceh dimana MPU Aceh menghimbau agar sebaiknya konser musik ditiadakan di bumi Serambi Mekkah ini? Pihak Disbudpar Aceh merencanakan akan menggelar diskusi.
Diskusi untuk menemukan kesefahaman diantara beda pandangan ini, menurut pihak Disbudpar, Apa yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini? Polemik ini harus diselesaikan dengan bijak.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Aceh, Almuniza Kamal SSTP MSi, menyatakan, pihaknya siap memfasilitasi pertemuan antara para asosiasi pariwisata Aceh untuk berdiskusi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh terkait konser musik.
Dalam keteranganya ketika mengunjungi Kantor Serambi, medio September 2022, Almuniza, menjanjikan akan menjadi jembatan komunikasi antara asosiasi pariwisata Aceh untuk mendapat masukan dan arahan dari MPU terkait konser musik.
Kadisbupar Aceh mengakui selain sudah berbicara secara lisan, pihaknya sudah melayangkan surat ke MPU Aceh untuk berdiskusi soal konser musik. Insya Allah minggu depan akan dilaksanakan diskusi itu, sebut Almuniza.
Bagaimana nasib konser musik di Aceh disaat MPU Aceh sudah menghimbau agar konser sebaiknya ditiadakan di bumi Serambi Mekkah ini. Apa hasil pertemuan ini, kita ikuti saja bagaimana kelanjutan dari catatan sejarah soal konser musik di Aceh. *** Bahtiar Gayo
- Kadisbudpar Aceh Buka Festival Permainan Tradisional Anak Se-Kota Banda Aceh 2022
- Ketua DPW Nasdem Aceh Dukung Pertemuan MPU dengan Seniman Bahas Polemik Konser di Aceh
- Polemik Konser Musik, Irfan Dukung Disbudpar Aceh Fasilitasi Pertemuan MPU dengan Seniman
- Polemik Konser Musik di Aceh, Tarmizi Dukung MPU, Minta Disbudpar Gali Potensi Budaya Islam