Menyorot Visi-Misi Jokowi Berantas Korupsi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM - Askhalani tampak gelisah menanggapi kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang. Saat butuh keputusan tegas dari pimpinan tertinggi kepala negara, lembaga antirasuah ini malah terkesan dikebirikan kebijakan pemerintah.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sudah memasuki kepemimpinannya periode kedua, dalam visi-misinya menyampaikan pemberantasan korupsi jadi agenda utama selama menjabat Presiden. Tapi realitanya, justru bertolak belakang.
"GeRAK terkejut dengan sikap presiden. Konon dalam visi-misinya menyebutkan KPK sebagai lembaga yang akan dibela, tapi kenyataannya justru pelemahan KPK dilakukan secara sistematis dan terstruktur," kata Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh itu kepada Dialeksis.com, Sabtu (14/9/2019).
Pendapat Askhalani sangat berdasar bila melihat visi-misi Jokowi dalam kampanye Pilpresnya, baik saat berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) untuk periode 2014-2019, maupun dengan Ma’ruf Amin untuk masa sekarang.
Jokowi dan JK menulis dalam visi-misinya, "Kami berkomitmen mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan."
Seperti tertuang dalam dokumen visi-misi yang diserahkan pada Komisi Pemilihan Umum untuk Pilpres 2014, begini visi-misi pasangan Jokowi-JK soal pemberantasan korupsi di Indonesia.
1. Membangun politik legislasi yang jelas, terbuka dan berpihak pada pemberantasan korupsi, dan reformasi lembaga penegak hukum.
2. Memberantas korupsi di sektor legislasi dengan menindak tegas oknum pemerintah yang menerima suap.
3. Mewujudkan pelayanan publik yang bebas korupsi melalui teknologi informasi yang transparan.
4. Membentuk regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi seperti RUU perampasan aset, RUU perlindungan saksi, RUU kerja sama timbal balik, dan RUU pembatasan transaksi tunai.
5. Mendukung keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
6. Memastikan sinergi antara kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK.
7. Memprioritaskan penanganan korupsi di sektor penegakan hukum, politik, pajak, bea cukai, dan industri sumber daya alam.
8. Menerapkan Sistem Integritas Nasional untuk mencegah korupsi.
9. Membuka keterlibatan publik dan media masa dalam mengawasi upaya tindakan korupsi.
Pada 21 Desember 2015, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla melantik lima pimpinan KPK periode 2015 - 2019 di Istana Negara Jakarta.
Kelimanya yaitu Ketua Agus Rahardjo, dan empat Wakil Ketua: Basaria Pandjaitan, Alexander Marwata, Saud Situmorang dan Laode Muhammad Syarif.
Ketua KPK Agus Rahardjo (kiri) bersalaman dengan Presiden Jokowi usai dilantik bersama empat Pimpinan KPK periode 2015-2019 lainnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/12/2015). [Foto: Faizal Fanani/Liputan6.com]Kinerja KPK periode 2015-2019 ternyata cukup bagus di mata publik. Betapa tidak, selama dipimpin eks alumni ITS Surabaya ini, pejabat korup ditangkap di mana-mana. Lihat catatan lembaga pengawas kasus korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW).
Sepanjang 2014-2019, ada 254 anggota dewan menjadi tersangka korupsi, 22 orang di antaranya anggota DPR RI.
"Kami menemukan di DPR RI setidaknya ada 22 kasus korupsi yang sampai saat ini sudah ditetapkan tersangka korupsi oleh KPK," kata peneliti bidang korupsi politik ICW, Almas Sjahrina, dalam diskusi 'Catatan Akhir DPR 2014-2019' di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, 7 April 2019.
Menurut ICW, meskipun 22 anggota DPR menjadi tersangka cukup kecil dibandingkan dengan jumlah keseluruhan, namun realita itu memprihatinkan bila dilihat dari jabatannya.
"(Sebanyak) 22 tersangka korupsi kita coba bandingkan dengan jumlah anggota yang totalnya 560 mungkin kecil. Tapi, kalau kita coba lihat dari kasus korupsinya, dari jabatannya, ini bisa dikatakan sangat memprihatinkan karena anggota DPR 2014-2019 ini (seperti) Ketua DPR Setya Novanto sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan juga sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi," kata Almas, seperti dilansir detikcom.
Graviti sapu bersih koruptor di sebuah dinding di fasilitas publik. [Foto: Okezone]Sebelumnya pada 14 Mei 2019, ICW juga merilis catatan masyarakat sipil terhadap kinerja KPK 2015-2019.
Indonesia mengalami kemajuan signifikan dalam beberapa indikator sosial dan ekonomi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Namun hasil Corruption Perception Index (CPI) Indonesia lima tahun terakhir cenderung stagnan.
"Skor CPI Indonesia dari tahun 2015-2018 berturut-turut adalah 36, 37, 37 dan 38. Padahal, Pimpinan KPK 2015-2019 menargetkan skor Indonesia akan mencapai angka 50," sebut ICW dalam keterangan resminya.
Fakta itu menegaskan, di balik upaya positif antikorupsi semua pihak dan kemajuan dalam bidang kemudahan berusaha serta perhatian yang meningkat pada korupsi di sektor swasta, "korupsi politik dan korupsi penegakan hukum masih menjadi ancaman nyata di Indonesia."
Karena itu kelompok masyarakat sipil menyusun catatan awal mengevaluasi kinerja KPK periode 2015-2019.
Menurut ICW, sektor penindakan merupakan salah satu tugas instrumen penting bagi pemberantasan korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 6 huruf C UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal yang dimaksud menjelaskan, KPK punya tugas melakukan penyeledikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Melihat catatan penindakan KPK selama 2015-2018, trennya selalu naik, setidaknya bila dilihat dari sisi penetapan tersangka dan jumlah kasus yang ditangani lembaga antirasuah tersebut.
ICW mengungkap, sepanjang 2018 KPK menetapkan 261 orang tersangka dengan jumlah 57 kasus. Sementara tahun sebelumnya, KPK menetapkan 128 orang tersangka dan 44 kasus.
"Hal ini pun patut untuk diapresiasi, di tengah isu kekurangan sumber daya manusia yang selalu mendera KPK, akan tetapi hal tersebut dapat dimaksimalkan oleh lembaga anti rasuah tersebut," sebut ICW.
Setahun terakhir, kinerja KPK juga lumayan meningkat. Hasil penelitian evaluasi kerja KPK 2019 yang disampaikan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan KPK berkontribusi positif terhadap penindakan korupsi.
Hasil evaluasi oleh Transparency International Indonesia (TII). [Foto: beritagar.id]
Hal itu dikarenakan KPK mendapatkan skor di atas 85 persen di salah satu dimensi penilaian yakni dimensi pencegahan, pendidikan, dan pengakuan sebesar 88 persen.
Kemudian dimensi dengan skor di atas 70-80 persen yakni independensi dan status (83 persen), akuntabilitas dan integritas (78 persen), deteksi, penyidikan, dan penuntutan (83 persen), dan kerja sama dan hubungan eksternal (83 persen).
Namun, hasil TII, KPK mendapatkan skor terendah atau di bawah 70 persen pada dimensi sumber daya manusia dan anggaran dengan persentase 67 persen. ITI merekomendasikan KPK untuk menaruh perhatian besar dalam membenahi tata kelola sumber daya manusia dan aggaran.
Tak hanya itu, sejak 2005-2018, realisasi pendapatan PNBP Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari penyelamatan uang negara mencapai Rp4,3 triliun. Pendapatan ini berasal dari enam indikator yakni uang pengganti TPK, uang sitaan TPPU/rampasan, hasil denda, uang sitaan TPK, penjualan hasil lelang TPK, dan gratifikasi.
KPK menyebutkan, tahun 2018, pendapatan dari uang sitaan atau rampasan sebesar Rp665 miliar. Nilai meningkat 13,44 persen dibandingkan tahun sebelumnya, Rp586 miliar. Sementara, uang sitaan TPK sebesar Rp323 miliar atau meningkat sebesar 508 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Angka-angka tersebut menunjukkan kehadiran KPK selama ini menjadi momok menakutkan bagi pelaku korupsi. Hal ini setidaknya diakui mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Sudirman Said. [Foto: Angga Yuniar/Liputan6.com]Menurutnya, pelemahan KPK memang menjadi agenda besar dan berjamaah bagi mereka yang korup.
"Siapa yang tidak suka KPK berdiri? Ya para koruptor. Politisi korup, pejabat korup, petugas pajak korup, birokrat korup, polisi korup, jaksa korup," kata Sudirman Said, Jumat (13/9/ 2019).
Menurut eks menteri di kabinet pertama Presiden Jokowi, saat ini ada perbedaan pandangan antara rakyat dan pemimpin tertinggi negara.
"Di seluruh dunia, sukses atau gagalnya pemberantasan korupsi, kuat lemahnya lembaga pemberantas korupsi sangat ditentukan oleh sikap kepala negaranya," ujar Sudirman, seperti dilansir Tempo, Sabtu (14/9/2019).
Sayangnya, pada akhir perjalanan Agus Rahardjo memimpin KPK, sementara Jokowi akan mengawali rute baru dalam memimpin NKRI, justru KPK tampak dikebirikan. Padahal, dalam visi-misi Pasangan Jikowi-Ma’ruf Amin, pemberantasan korupsi juga menjadi agenda utama.
Di awal tahun 2019, pada masa kampanye, pasangan nomor urut 01 saat Pilpres 2019 itu melemparkan 6 poin penting dalam visi-misi mereka terkait isu korupsi.
"Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang bisa meruntuhkan sendi-sendi perekonomian bangsa serta membawa dampak pada pemiskinan struktural. Untuk melawan korupsi, aspek pencegahan sama pentingnya dengan aspek penegakan hukum yang tegas," begitu statement keduanya saat itu.
Adapun 6 poin tersebut adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan secara konsisten Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang fokus pada perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi di setiap kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya.
2. Meningkatkan kapasitas Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP).
3. Memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
4. Meningkatkan sinergi dan kerja sama antar-institusi penegak hukum dalam pemberantasan kejahatan korupsi.
5. Menggiatkan transaksi non-tunai sebagai tindakan pencegahan penggunaan uang tunai dalam tindak korupsi dan pencucian uang.
6. Mempertegas penindakan kejahatan perbankan dan pencucian uang.
Masyarakat cukup jelas melihat, terutama poin 4, bahwa Presiden Jokowi komit memperkuat keberadaan KPK. Namun tak lama usai terpilih, kebijakan mantan Walikota Solo itu justru dituding melemahkan KPK.
Jokowi saat menyampaikan visi-misinya pada kampanye Pilpres 2019. [Foto: alinea.id]Presiden dinilai melemahkan KPK dengan membiarkan calon pimpinan KPK bermasalah dan pelemahan lembaga antirasuah melalui revisi UU KPK.
Teranyar, Presiden meneken dan mengirim Surat Presiden (Surpres) revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, Rabu (11/9). Surpres itu diteken di tengah duka meninggalnya eks Presiden BJ Habibie.
Pegiat antikorupsi gigit jari mengetahui surpres itu. Karena, saat itu Jokowi dinilai belum menuntaskan penolakan capim KPK oleh berbagai pihak, terutama keputusan Komisi III DPR RI yang resmi memilih 5 capim termasuk Firli Bahuri.
KPK dan para pegiat antikorupsi kompak menilai telah terjadi pelemahan KPK. Mulai dari poin-poin dalam revisi, sampai terpilihnya Firli sebagai capim sekaligus Ketua KPK, dianggap memiliki agenda terselubung.
ICW menilai negara sudah mengabaikan KPK lewat revisi Undang-Undang dan pemilihan capim bermasalah.
"Sebagai institusi, KPK seolah sudah tidak dapat tempat dan dukungan dari negara," kata peniliti ICW Lalola Ester di Gedung KPK, Jumat (13/9/2019), seperti dilansir Tempo.
Jokowi meski menyetujui pembahasan revisi UU KPK, pada prinsipnya, juga menolak sejumlah poin dalam draf yang sebelumnya telah disodorkan DPR.
Sejumlah poin yang ditolak Jokowi antara lain soal izin pihak luar untuk penyadapan, penyidik dan penyelidik KPK hanya dari unsur kepolisian dan kejaksaan, koordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan, dan terakhir pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK.
Sementara Jokowi menyetujui keberadaan dewan pengawas, penyadapan seizin dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan menyetujui pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).
Lewat surpres dan penyetujuan poin-poin itu, Jokowi dinilai tak benar-benar tegas memperkuat lembaga KPK. Sebaliknya, dia hanya mengurangi dosis berat dari gejala upaya melemahkan lembaga antikorupsi tersebut.
"Dosis berat pelemahan KPK oleh DPR dikurangi sedikit oleh Presiden, tidak ada penguatan," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, seperti dilansir CNN Indonesia, Minggu (15/9/2019).
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana. [Foto: IST]Kurnia menilai, pengurangan dosis pelemahan KPK salah satunya tergambar dari pemilihan Dewan Pengawas KPK. Jokowi hanya mengubah mekanisme pemilihan, padahal fungsi dan eksistensi pengawas ini tetap sama.
"Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis izin penyadapan KPK. Konsekuensi penyadapan KPK prosesnya lambat, dan bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap," kata dia.
Menurut Kurnia, upaya pembahasan revisi UU KPK ini memang sejak awal sangat terkesan diburu-buru oleh DPR. ICW pun mencatat ada sejumlah kejanggalan dari betapa terburu-burunya DPR ingin mengesahkan RUU KPK ini.
Menurut Kurnia ada konflik kepentingan dalam pembahasan RUU KPK ini. Hal ini tak lepas dari banyaknya anggota dewan yang ditangkap KPK.
Dalam catatan ICW, sepanjang lima tahun terakhir setidaknya 23 anggota DPR 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Kurnia menduga KPK adalah musuh DPR, bukan mitra kerja. Isu melemahkan KPK bahkan telah berhembus sejak 2010.
Kurnia pun meminta DPR dan pemerintah sebaiknya bisa segera menghentikan pembahasan RUU KPK ini, sebab jauh lebih bijak jika DPR fokus mengerjakan regulasi penguatan pemberantasan korupsi.
"Seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rancangan UU Perampasan Aset, dan rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai," katanya.
Namun jika memang DPR dan pemerintah tetap bersikukuh membahas aturan yang sebenarnya mengebiri KPK ini, maka tak ada jalan lain selain pengawalan dari masyarakat demi pemberantasan korupsi terus terjamin di negeri ini.
Pandangan serupa juga datang dari aktivis antikorupsi di Aceh. Selain GeRAK Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) juga prihatin.
Terkait: Ketidakpercayaan terhadap Firli dan Suramnya KPK
"KPK sudah dilemahkan segelintir oknum, tugas kita kawal terus KPK," ujar Baihaqi, Koordinator Bidang Politik dan Hukum MaTA, saat dihubungi Dialeksis.com, Sabtu (14/9/2019).
Namun kita tidak boleh menutup mata kepada pimpinan KPK baru. Apapun itu, lima komisioner KPK baru akan dilantik pada Desember 2019. Publik juga harus memberikan kesempatan kepada pimpinan baru lembaga antirasuah itu.
Anggota DPD RI asal Aceh, Fachrul Razi. [Foto: IST]
Paling tidak, kata Anggota DPD RI asal Aceh, Fachrul Razi, masyarakat dapat bersabar hingga setahun pertama kepemimpanan Irjen Firli Bahuri.
"Kalau beliau menunjukkan itikad yang kuat dalam memberantas korupsi, kita dukung. Tapi kalau di perjalanan terlihat tebang pilih, berlawanan dengan semangat memberantas korupsi dan memperlemah KPK, kita akan ambil sikap," ujarnya saat dihubungi Dialeksis.com, Sabtu (14/9/2019).
Dia mengatakan, Firli Bahuri dalam setahun ke depan harus membuktikan kinerja yang ditunggu publik yaitu menyelesaikan berbagai permasalahan korupsi yang masif dan terstruktur saat ini.
"Intinya kita tunggu dalam 365 hari ke depan. Ini adalah uji publik apakah KPK benar-benar melakukan terobosan atau malah semakin lemah," ujar Senator.(Makmur Emnur/Sara Masroni)