Senin, 30 Juni 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Nasib Akhir Revisi UUPA di Tangan Pemerintah Pusat

Nasib Akhir Revisi UUPA di Tangan Pemerintah Pusat

Minggu, 29 Juni 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Ilustrasi Nasib Akhir Revisi UUPA di Tangan Pemerintah Pusat. Foto: Desain by chatgpt/Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Revisi Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tengah memasuki fase krusial. Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 21 Mei 2025 menyepakati perubahan delapan pasal dan penambahan satu pasal dalam UUPA, draf revisi tersebut telah diserahkan kepada DPR RI di Jakarta.

Langkah ini menandai tonggak penting bagi Aceh, mengingat UUPA adalah landasan hukum keistimewaan Aceh pasca perdamaian. Namun, nasib revisi UUPA kini bergantung pada keseriusan pemerintah pusat dan DPR RI dalam menindaklanjutinya.

Para pakar hukum dan tokoh Aceh pun angkat bicara, mengulas perkembangan terbaru sekaligus memberikan analisis mengenai masa depan revisi UUPA tersebut. Rapat bersama antara DPRA dan Pemerintah Aceh membahas percepatan draf final revisi UUPA pada 28 April 2025 di Banda Aceh.

Revisi UUPA telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2025 - 2029 sebagai RUU usulan daerah. Akan tetapi, dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 yang mencakup 41 RUU utama, revisi UUPA tidak termasuk di dalamnya. Artinya, pembahasan RUU ini kemungkinan baru akan diprioritaskan pada tahun-tahun berikutnya, misalnya 2026, meskipun Pemerintah Aceh berharap prosesnya dapat dipercepat.

“Targetnya revisi UUPA harus disahkan tahun ini,” ujar Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, pada Mei 2025, mengekspresikan keinginan agar percepatan dilakukan.

Kenyataannya, Rapat Paripurna DPR RI awal masa sidang 2024 - 2025 telah menyetujui 176 RUU masuk Prolegnas 2025 - 2029, namun revisi UUPA tak berhasil masuk daftar prioritas 2025. Hal ini menimbulkan tanda tanya di Aceh mengenai seberapa besar dukungan politik di tingkat pusat terhadap agenda strategis tersebut.

Urgensi Perubahan UUPA dan Perkembangan Terkini

Dr. Amrizal J. Prang, SH., LL.M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, menjelaskan bahwa urgensi revisi UUPA didorong oleh beberapa faktor hukum dan perkembangan terkini. Pertama, masa berlaku Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh akan berakhir pada 2027 sesuai UUPA Pasal 183 ayat (2). Padahal, dana Otsus merupakan salah satu tonggak pendanaan pembangunan Aceh pascakonflik. Saat ini besaran dana tersebut bahkan telah berkurang menjadi 1% dari Dana Alokasi Umum sejak tahun 2023, dari sebelumnya 2%, dan akan sepenuhnya habis pada 2027 jika tidak diperpanjang.

Kedua menurutnya, sejumlah pasal dalam UUPA telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atau mengalami disharmonisasi dengan regulasi nasional. Contohnya, Pasal 67 ayat (2) huruf g dan Pasal 256 UUPA telah pernah dibatalkan MK, dan belakangan muncul gugatan terhadap Pasal 115 ayat (3) terkait masa jabatan keuchik (kepala desa) yang di UUPA diatur 6 tahun, berbeda dengan aturan nasional 8 tahun.

Selanjutnya ketiga disampaikan Amrizal, banyak ketentuan UUPA beserta peraturan pelaksanaannya yang kini dianggap tidak lagi sesuai perkembangan zaman, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh.

“Oleh karenanya, niscaya perlu dilakukan perubahan sesuai dengan konteks kekinian Aceh,” tegas Amrizal J. Prang mengenai pentingnya pembaruan regulasi ini.

Menurutnya, revisi UUPA harus memastikan keistimewaan dan kekhususan Aceh tetap terjaga sesuai semangat perdamaian MoU Helsinki 2005, sekaligus menutup celah - celah hukum yang ada selama 19 tahun implementasi UUPA. Dari sisi proses, Dr. Amrizal menerangkan bahwa secara konstitusional prosedur perubahan UU termasuk UUPA berada di tangan DPR RI dan Presiden.

Meski begitu, UUPA memberikan peran khusus kepada DPRA Aceh untuk terlibat melalui mekanisme konsultasi dan pertimbangan sebelum perubahan UUPA dibahas di pusat. Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 269 ayat (3) UUPA mengamanatkan bahwa setiap rencana perubahan UUPA harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPRA.

“Ini kekhususan Aceh yang tidak dimiliki daerah lain; DPR Aceh punya hak konsultatif formal dalam revisi UU-nya sendiri,” ujar Amrizal. Dengan demikian, draf revisi hasil penyusunan DPRA pada Mei 2025 tersebut sejatinya merupakan bentuk pelaksanaan amanah UUPA sebelum bola berada di tangan DPR RI.

Namun, Amrizal mengingatkan bahwa Aceh perlu mengawal ketat proses revisi di tingkat pusat. Tanpa pengawalan, dikhawatirkan kewenangan Aceh yang telah diatur UUPA justru berpotensi tergerus apabila ada tarik-ulur kepentingan dengan pemerintah pusat.

Ia menyoroti pengalaman selama ini, di mana pemerintah pusat kerap mengambil kebijakan strategis terkait Aceh tanpa konsultasi optimal.

“Pembentukan wilayah baru, revisi aturan sektoral, bahkan kebijakan transfer keuangan, sering dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan Aceh,” kritik Amrizal mengenai kecenderungan pelanggaran semangat konsultatif UUPA oleh pusat.

Dalam sebuah forum reflektif yang digelar di Banda Aceh baru - baru ini, para tokoh Aceh termasuk Amrizal juga mewanti-wanti agar revisi UUPA tidak dijadikan sekadar alat tawar-menawar politik elit, melainkan benar-benar menjawab kebutuhan rakyat Aceh. Artinya, substansi perubahan harus fokus pada penguatan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat, bukan semata kepentingan segelintir elite.

Lemahnya Lobi Politik dan Tantangan di DPR RI

Sementara itu, Hermanto, SH., praktisi hukum dan pengacara terkemuka di Aceh, menyoroti aspek politik dari lambannya perkembangan revisi UUPA di tingkat pusat.

Menurut Hermanto, absennya RUU Revisi UUPA dari prioritas 2025 mencerminkan lemahnya lobi dan perjuangan elite Aceh di Jakarta. Padahal, revisi UUPA tidak hanya penting untuk memperkuat otonomi Aceh, tetapi juga menyangkut perpanjangan Dana Otonomi Khusus serta kejelasan pembagian kewenangan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat ke depannya.

Ia menilai posisi tawar Aceh saat ini rendah, sehingga agenda sepenting ini belum mendapatkan atensi cukup dari legislator nasional.

“Sejauh mana para wakil rakyat asal Aceh melakukan advokasi dapat terukur dari hasil Prolegnas ini. Faktanya, posisi tawar Aceh di tingkat nasional memang sedang lemah,” ujarnya dengan nada prihatin.

Hermanto juga mengkhawatirkan dampak jika revisi UUPA tak dikawal serius. Apabila para elit dan wakil Aceh tidak kompak, bukan mustahil hasil revisi nantinya tidak optimal bagi Aceh.

“Beberapa poin krusial bisa saja dihapus karena tidak ada yang mampu mempertahankannya,” ia memperingatkan. Untuk itu, Hermanto mengajak seluruh komponen Aceh mulai dari anggota DPR RI dan DPD RI dapil Aceh, DPRA, hingga Pemerintah Aceh agar bersinergi memperjuangkan revisi UUPA di Jakarta.

Kolaborasi lintas level ini dipandang mutlak, mengingat proses pembahasan UU sepenuhnya berlangsung di Senayan.

“Pemerintah Aceh tidak akan mampu berbuat banyak tanpa dukungan dari para wakil di DPR dan DPD RI, karena seluruh proses pembahasan terjadi di Jakarta,” ujarnya menegaskan pentingnya kekompakan tersebut.

Hermanto berharap dengan tekanan politik bersama yang lebih kuat, DPR RI dapat memasukkan revisi UUPA ke agenda prioritas secepat mungkin, sehingga kekhususan Aceh yang dijanjikan dalam UUPA dapat terjaga dan ditingkatkan, bukan malah tergerus oleh waktu.

Menjaga Semangat MoU Helsinki untuk Kesejahteraan Aceh

Dari perspektif aktivis muda, Muhammad Ridwansyah Ketua Harian Muda Seudang Aceh turut menekankan bahwa revisi UUPA harus kembali ke roh Perdamaian Helsinki dan berdampak nyata bagi rakyat Aceh.

Ridwansyah, yang juga terlibat dalam Tim Revisi UUPA Wali Nanggroe, menyatakan upaya revisi merupakan langkah memperkuat norma - norma UUPA yang selama ini belum berjalan maksimal, dan perlu dikembalikan sesuai semangat MoU Helsinki 2005.

Ia menegaskan bahwa perubahan apapun dalam UUPA tidak boleh menyimpangi hak-hak rakyat Aceh yang sudah diperjuangkan dalam perdamaian.

“Revisi UUPA semestinya merupakan hukum yang dicita - citakan (ius constituendum) rakyat Aceh,” tulisnya dalam sebuah opini, seraya mengingatkan bahwa komitmen Pemerintah Indonesia menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, dan bermartabat harus tercermin dalam revisi tersebut.

Ridwansyah juga melihat pentingnya partisipasi publik dan generasi muda dalam proses ini. Pada Maret 2023, DPP Muda Seudang bersama akademisi UIN Ar-Raniry menggelar diskusi khusus bertema “Urgensi Revisi UUPA” untuk menjaring masukan berbagai pihak.

Menurut Ridwansyah, kolaborasi antara kaum muda, akademisi, dan pemerintah akan memastikan revisi UUPA tetap sejalan dengan aspirasi perdamaian. Ia berharap dengan adanya diskusi dan advokasi berkelanjutan, proses revisi dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan bagi bangsa Aceh, sesuai cita - cita yang diimpikan sejak kesepakatan damai tercapai.

Diakhir pernyataannya Ridwansyah menegaskan, damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM masih dalam pengawasan dunia internasional, jika ada dua entitas tidak fokus dan menyimpangi dalam menjalankan amanah Damai, maka berpotensi akan dilaporkan ke Uni Eropa.

Harapan ini merujuk pada realitas bahwa kendati UUPA sudah berjalan hampir 17 tahun, tingkat kesejahteraan dan keadilan sosial di Aceh masih perlu ditingkatkan melalui kebijakan yang tepat sasaran. Secara keseluruhan, nasib revisi UUPA kini berada di tangan pemerintah pusat dan DPR RI.

Para tokoh Aceh sepakat bahwa ‘window of opportunity’ untuk memperbaiki UUPA tidak boleh disia-siakan. Mengingat tahun 2027 kian dekat, Aceh membutuhkan kepastian hukum tentang kelanjutan otonomi khusus dan penguatan aturan yang menjamin kekhususannya dalam bingkai NKRI.

Dr. Amrizal J. Prang menekankan pentingnya pengawalan legal dan politik agar revisi UUPA benar - benar berpihak pada Aceh; Hermanto menggarisbawahi perlunya lobi kuat dan solidaritas wakil Aceh di pusat; dan Ridwansyah mengingatkan esensi perdamaian yang harus menjadi jiwa dalam setiap pasal yang direvisi.

Waktu terus berjalan Aceh kini menanti langkah konkret dari Senayan. Apakah revisi UUPA akan segera terwujud sesuai harapan dan kebutuhan Aceh, atau justru tertunda lebih lama? Semua pihak di Aceh berharap jawaban positif segera hadir, demi kesinambungan perdamaian dan kemajuan Aceh ke depan.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI