Kamis, 25 September 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Notaris di Era Digital: Perlindungan Data Klien Jadi Sorotan

Notaris di Era Digital: Perlindungan Data Klien Jadi Sorotan

Kamis, 25 September 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn
ilustrasi notaris. Foto: iStock

DIALEKSIS.COM | Dialektika - Perlindungan data pribadi telah diatur dalam kerangka hukum Indonesia melalui UU Jabatan Notaris dan regulasi baru terkait data pribadi. UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), yang disahkan pada 2022, memberikan landasan hukum tambahan untuk perlindungan data pribadi, termasuk data yang terdapat dalam akta-akta notaris. 

Dalam konteks UU PDP, notaris dipandang sebagai Pengendali Data Pribadi (data controller) yang bertanggung jawab atas data pribadi yang diprosesnya. Dengan kata lain, selain terikat sumpah jabatan untuk menjaga rahasia akta, notaris juga wajib mematuhi prinsip-prinsip UU PDP dalam mengelola data klien.

“Notaris juga dipandang sebagai pengendali data pribadi dalam UU PDP. ... Kewajiban penyimpanan data pribadi sebagai pengendali data pribadi tentu akan tunduk pada UU Pelindungan Data Pribadi beserta sanksi yang menyertainya,” tulis sebuah analisis hukum kenotariatan terbaru. Artinya, pelanggaran oleh notaris atas kewajiban perlindungan data tidak hanya berimplikasi etis, tetapi juga dapat dikenai sanksi administratif maupun pidana berdasarkan UU PDP dan aturan terkait lainnya.

UU Jabatan Notaris sendiri sudah lebih dulu mengatur sanksi jika notaris melanggar kerahasiaan. Misalnya, Pasal 85 UUJN mengatur notaris yang melanggar ketentuan dapat dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pemberhentian. Bahkan, membuka rahasia klien tanpa dasar hukum dapat tergolong tindak pidana sesuai Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembocoran rahasia jabatan.

Kini, dengan hadirnya UU PDP, notaris juga harus siap menghadapi konsekuensi tambahan. UU PDP menetapkan bahwa pelanggaran kewajiban perlindungan data pribadi (misalnya gagal mencegah akses tidak sah atau terjadi kebocoran data) dapat berujung sanksi administratif sesuai Pasal 57 UU PDP, berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan pemrosesan data, penghapusan data, dan/atau denda administratif hingga 2% dari pendapatan tahunan pelanggar.

Selain itu, UU PDP mengatur sanksi pidana bagi perorangan atau korporasi yang sengaja menyalahgunakan data pribadi (misalnya memperjualbelikan data tanpa hak) dengan ancaman pidana penjara dan denda yang sangat berat. Dengan kerangka hukum ini, jelas bahwa amanah perlindungan data di pundak notaris bukan hal remeh setiap kelalaian bisa berujung konsekuensi hukum serius.

Tantangan Digitalisasi dan Risiko Kebocoran Data

Transformasi digital di bidang kenotariatan menghadirkan peluang sekaligus tantangan baru terhadap keamanan data klien. Munculnya konsep “Cyber Notary” - layanan kenotariatan berbasis elektronik diharapkan meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas pelayanan. Namun, adaptasi teknologi ini juga menuntut notaris lebih waspada terhadap ancaman keamanan siber. Kementerian Hukum dan HAM telah mengingatkan bahwa digitalisasi harus diimbangi dengan penguatan sistem keamanan informasi di ranah notaris.

Dalam sebuah seminar nasional di Medan, Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Dr. Widodo, S.H., M.H. menekankan urgensi kesiapan notaris menghadapi pergeseran ke layanan digital serta pentingnya penguatan perlindungan data dan keamanan informasi dalam layanan kenotariatan digital. Konsep notaris elektronik dinilai sebagai solusi inovatif, tetapi “adaptasi ini harus dibarengi dengan upaya serius dalam melindungi data pribadi dan mencegah penyalahgunaan informasi,” ujarnya. 

Sistem keamanan digital yang andal serta pemahaman mendalam terhadap risiko siber disebutnya sebagai syarat mutlak untuk menjaga integritas profesi notaris dan kepercayaan masyarakat.

Beberapa kasus menunjukkan kerentanan apabila keamanan data notaris terabaikan. Belum lama ini, marak diberitakan fenomena “Mafia Akun” oknum yang menyalahgunakan akun notaris pada sistem elektronik AHU untuk melakukan aksi ilegal seperti pengalihan saham atau perubahan dokumen korporasi tanpa wewenang.

Dirjen AHU Widodo menyesalkan adanya penyalahgunaan layanan digital, termasuk penyalahgunaan akun notaris, yang menurutnya membuktikan bahwa “sistem sebaik apa pun tetap rentan jika dijalankan oleh aktor hukum yang tidak berintegritas”. Kasus seperti ini memperingatkan bahwa ancaman kebocoran atau penyalahgunaan data dapat datang baik dari celah teknis (peretasan, malware) maupun dari faktor manusia (kelalaian atau penyalahgunaan wewenang).

Secara umum, risiko kebocoran data klien notaris di era digital sangat tinggi jika langkah pencegahan tidak memadai. Data yang dipegang notaris mencakup dokumen-dokumen penting: salinan KTP, KK, sertifikat tanah, perjanjian bisnis, wasiat, dan informasi aset lainnya. Bila data tersebut bocor, dampaknya dapat beragam, antara lain: - Identitas pribadi klien disalahgunakan untuk penipuan atau pencurian identitas. - Dokumen legal penting dimanipulasi atau dipakai secara tidak sah, misalnya akta pendirian perusahaan atau perjanjian dialihkan pihak tak bertanggung jawab. - Kerugian finansial bagi individu maupun korporasi klien, terutama bila dokumen berisi informasi aset atau keuangan bocor. - Sengketa hukum yang melibatkan pihak ketiga akibat data yang diubah atau diakses tanpa izin.

Seorang peneliti hukum bahkan menyebut bahwa penyimpanan protokol dan dokumen akta oleh notaris tentu memiliki risiko tinggi terhadap kebocoran data, terutama jika data digital tersebut diakses pihak yang tidak berwenang. Oleh sebab itu, tantangan digitalisasi menuntut notaris meningkatkan kapasitas pengamanan data pada setiap lini pekerjaan mereka.

Konsekuensi Pelanggaran: Sanksi dan Reputasi

Pelanggaran perlindungan data oleh notaris bukan hanya isu legal, tapi juga dapat menghancurkan reputasi profesi. Dari sisi hukum, seperti disinggung sebelumnya, notaris yang abai dapat terkena sanksi berlapis: administratif, pidana, hingga etik profesi. Sanksi administratif menurut UUJN dapat berupa teguran lisan, peringatan tertulis, skorsing sementara, hingga pemberhentian tidak hormat dari jabatan notaris. Sanksi pidana dapat menjerat jika kelalaian notaris menyebabkan kerugian pihak lain - misalnya dijerat Pasal 322 KUHP (pembocoran rahasia jabatan) atau pasal-pasal UU PDP yang relevan dengan kebocoran data. Sementara itu, sanksi etik akan dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Notaris (MKN) bila notaris melanggar kode etik, dengan kemungkinan pencabutan izin praktik.

Namun di luar sanksi hukum, ada hal yang tak kalah krusial: hilangnya kepercayaan publik. Notaris memegang peran sebagai penjaga kepercayaan (public trust) dalam setiap transaksi hukum yang dibuatnya. Bila terjadi insiden kebocoran data atau penyalahgunaan informasi klien, klien dan masyarakat luas bisa kehilangan keyakinan terhadap integritas notaris tersebut, bahkan pada profesi notaris secara umum. Reputasi yang dibangun bertahun - tahun dapat runtuh seketika akibat satu kasus pelanggaran kerahasiaan. Karena itu, ancaman terbesar bagi notaris yang lalai melindungi data bukan hanya denda atau hukuman penjara, tapi juga rusaknya nama baik dan turunnya martabat profesi di mata publik. Seperti diungkapkan Ketua Umum PP INI Dr. H. Irfan Ardiansyah, S.H., LL.M., Sp.N., peran notaris adalah fondasi bagi sistem hukum yang terpercaya sehingga setiap pelanggaran kepercayaan akan berdampak luas pada upaya membangun integritas hukum nasional.

Upaya Penguatan Keamanan Data oleh Notaris

Menyadari besarnya tanggung jawab ini, berbagai langkah mulai ditempuh untuk memperkuat perlindungan data klien di lingkungan kenotariatan. Ikatan Notaris Indonesia (INI) selaku organisasi profesi, misalnya, telah berkomitmen menerapkan standar tinggi keamanan informasi.

INI menyatakan menerapkan Sistem Manajemen Keamanan Informasi berbasis ISO 27001:2013 dan mematuhi peraturan perundangan terkait pengamanan informasi, guna menjaga kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data yang dikelola notaris. Komitmen ini termasuk memastikan data dan dokumen disimpan di lingkungan yang terkendali dan terlindungi dari akses atau pengungkapan tidak sah. Dengan langkah ini, INI berharap anggota-anggotanya menerapkan praktik terbaik dalam melindungi data, baik secara teknis maupun organisatoris.

Di tingkat regulasi, para pakar dan otoritas mengusulkan penyesuaian aturan agar selaras dengan era digital. Ketua Pengurus Wilayah INI Sumatera Utara, Dr. Ikhsan Lubis, Sp.N., M.Kn., dalam disertasinya mengusulkan perlunya harmonisasi UU Jabatan Notaris dengan UU ITE dan UU PDP untuk mengakomodasi penerapan notaris digital. “Kita perlu redefinisi, reinterpretasi, dan rekonstruksi sistem hukum agar bisa mengakomodasi pelaksanaan tugas notaris di ranah elektronik,” ujarnya, seraya menekankan notaris harus berhenti melihat digitalisasi sebagai ancaman profesi.

Artinya, payung hukum perlu diperbarui agar pranata “Cyber Notary” mendapat landasan jelas, termasuk pengaturan tanda tangan elektronik, penyimpanan akta elektronik, hingga standar keamanan data digital yang wajib dipatuhi notaris. Pemerintah sendiri melalui Kemenkumham telah mengadakan berbagai focus group discussion dan seminar guna menyerap masukan tentang pembaruan regulasi ini.

Sementara itu, di lini praktik, notaris didorong mengimplementasikan teknologi keamanan dan tata kelola data yang mumpuni. Para ahli menyarankan sejumlah langkah konkrit yang bisa diambil notaris dan kantor notaris, antara lain:

• Menggunakan sistem keamanan digital berlapis: Setiap notaris perlu memastikan sistem IT kantornya memiliki proteksi kuat seperti enkripsi data end-to-end, firewall, antivirus, serta autentikasi ganda (2FA) untuk akses sistem. Misalnya, jika menggunakan layanan cloud, pilih penyedia berstandar internasional (tersertifikasi ISO 27001) agar data tersimpan aman dan tidak mudah diakses pihak tak berwenang.

• Pelatihan keamanan siber untuk staf: Tidak hanya notaris, para karyawan dan asisten notaris pun perlu dibekali edukasi tentang prosedur keamanan data. Pelatihan ini mencakup cara penanganan dokumen digital yang aman, penghindaran phishing dan malware, hingga kewaspadaan dalam berbagi akses. Budaya sadar keamanan harus dibangun di kantor notaris guna meminimalkan kesalahan manusiawi.

• Prosedur internal yang ketat: Menetapkan SOP perlindungan data, misalnya perjanjian kerahasiaan (NDA) yang ditandatangani oleh semua staf, pembatasan akses dokumen sensitif hanya kepada personel terotorisasi, serta rutin memeriksa log akses sistem. Dokumen fisik pun tetap harus dijaga dengan penyimpanan di brankas atau ruang arsip terkunci yang hanya dapat diakses pihak berwenang.

• Audit dan pembaruan sistem berkala: Notaris sebaiknya melakukan audit keamanan informasi secara periodik, mungkin bekerja sama dengan pakar TI, untuk mengidentifikasi celah yang perlu ditutup. Pembaruan perangkat lunak dan sistem harus selalu diikuti untuk menghindari eksploitasi celah keamanan yang sudah diketahui publik.

Upaya-upaya di atas sejalan dengan himbauan pemerintah dan organisasi profesi agar notaris proaktif meningkatkan standar keamanannya. Bahkan, seminar-seminar kenotariatan belakangan ini rutin mengangkat tema adaptasi digital dan keamanan data. Antusiasme tinggi peserta menunjukkan betapa pentingnya forum berbagi ilmu untuk menyelaraskan langkah-langkah strategis profesi notaris dengan kebutuhan zaman, ujar panitia seminar nasional di Medan yang diikuti ratusan notaris seluruh Indonesia. Melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan komunitas notaris, diharapkan lahir konsensus dan pedoman-pedoman baru demi memperkuat perlindungan data klien tanpa menghambat inovasi digital dalam layanan kenotariatan.

Membangun Kepercayaan di Tengah Arus Digital

Pada akhirnya, fokus terhadap perlindungan data klien oleh notaris bermuara pada satu tujuan utama: menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi notaris di tengah arus digitalisasi. Notaris adalah pihak yang diamanahi menyimpan rahasia dan data vital milik publik; dengan perkembangan zaman, amanah ini tidak berubah, hanya cara menjaganya yang harus menyesuaikan. 

“Profesionalisme dan ketelitian notaris menentukan kualitas sistem hukum kita,” tegas Dirjen AHU Widodo, sembari mengingatkan bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta dan data klien melekat seumur hidup. 

Pesan ini menegaskan bahwa perlindungan data bukan sekadar kewajiban hukum semata, melainkan merupakan bagian integral dari etika dan martabat notaris.

Berbagai inisiatif yang telah dan tengah dijalankan mulai dari pengetatan regulasi, pelatihan keamanan, penerapan standar ISO oleh organisasi notaris, hingga pembenahan sistem elektronik pemerintah menunjukkan keseriusan semua pihak untuk menghadapi ancaman kebocoran data. 

Langkah-langkah ini diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus-kasus pelanggaran di tangan notaris. Ke depan, tantangan tentu masih ada, namun dengan sikap adaptif dan komitmen kuat terhadap perlindungan data, notaris Indonesia diyakini mampu menjawab tuntutan era digital tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian yang menjadi jiwa profesinya. Perlindungan data klien bukan hanya kewajiban hukum, tapi juga kunci menjaga kepercayaan dan kredibilitas notaris dalam sistem hukum modern.[arn]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid