Sabtu, 06 September 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Pernyataan Ketua DPRA: Makar Atau Ekpresi Kekecewaan?

Pernyataan Ketua DPRA: Makar Atau Ekpresi Kekecewaan?

Kamis, 04 September 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Ilustrasi Pernyataan Ketua DPRA. [Foto/Desain: Antara/Nasrul Rizal-dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Dialektika - Dengan suara lantang di hadapan ribuan massa yang berdemo, ketua DPRA Zulfadhli, A.Md berteriak. “Pisah aja Aceh sama pusat. Tulis, biar aku teken”. Pernyataan itu disambut pekikan “merdeka!” dari barisan demonstran.

Pernyataan ketua DPRA ini ahirnya menjadi sorotan dan pembahasan berbagai pihak. Ada yang menyebutkan ini makar, ada pula yang menyebutkan sebagai gimmick, ada juga menafsirkan bagian dari ekpresi kekecewaan.

Publik dibuat gaduh. Pro dan kontra tidak terhindarkan. Bagaimana riuhnya Aceh atas pernyataan ketua DPRA ini, makar atau ekspresi kekecewaan. Dialeksis.com merangkumnya.

Makar

Pemerhati sosial politik Aceh, Musra Yusuf menilai pernyataan Zulfadli tidak bisa dianggap enteng. Menurutnya, ucapan tersebut sarat provokasi makar dan berpotensi memecah belah bangsa.

“Itu bukan sekadar slip lidah atau candaan politik. Itu provokasi yang dapat merusak perdamaian dan keutuhan negara,”ungkap Musra Yusuf, seperti disiarkan Aspiratif Id, pada 2 September 2025.

Menurut yusuf, seorang ketua lembaga legislatif semestinya hadir sebagai penenang, bukan sebagai penyulut narasi pemisahan yang mengkhianati semangat rekonsiliasi.

“Sejarah panjang Aceh menjadi alasan mengapa pernyataan itu dinilai berbahaya. Selama hampir tiga dekade, Aceh terjebak dalam konflik bersenjata yang menelan ribuan korban jiwa, meninggalkan trauma kolektif, dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial,” sebutnya.

Perdamaian baru tercapai pada 2005 melalui MoU Helsinki yang kemudian melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh(UUPA). Kesepakatan itu dirancang untuk meredam separatisme sekaligus memberi ruang otonomi luas dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi khusus, partai politik lokal, hingga hak mengelola sumber daya alam adalah wujud kompromi yang lahir dari darah dan air mata.

Dalam kerangka inilah, kata Yusuf, ucapan Ketua DPRA dianggap sebagai ancaman. Literatur politik menyebut fenomena semacam ini sebagai politik provokasi, sebuah strategi untuk memancing simpati atau memperkuat posisi dengan melempar isu ekstrem.

Namun di Aceh, retorika semacam itu bukan permainan yang bisa dianggap biasa. Ucapan itu bukan sekadar candaan, melainkan berpotensi menyalakan ingatan konflik puluhan tahun. Trauma itu masih membekas pada para korban, keluarga hilang, dan generasi muda yang tumbuh dalam bayang-bayang konflik.

Dari perspektif filosofis, lanjut Yusuf, tanggung jawab seorang pejabat publik bukan hanya menyuarakan aspirasi, melainkan menjaga kontrak sosial yang dibangun antara rakyat dan negara.

Yusuf mengatakan, sebagai pemimpin politik, Ketua DPRA memiliki kewajiban moral menjaga keselamatan kolektif, bukan mengobarkan retorika yang berpotensi mencabut akar perdamaian.

Ucapan Zulfadli, yang lahir di ruang publik dan disampaikan di hadapan massa, tidak lagi bisa dipisahkan dari tanggung jawab etik dan hukum yang melekat pada jabatannya.

Yusuf yang juga aktivis muda Aceh mengingatkan bahwa masyarakat Aceh sudah lelah berperang. Perdamaian yang telah berjalan dua dekade harus dijaga dengan memperkuat implementasi UUPA, bukan menggulirkan narasi pemisahan yang hanya memperkeruh keadaan.

Dia menegaskan, jika ada ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, maka jalurnya adalah negosiasi, bukan provokasi.

“Kita sudah membayar terlalu mahal untuk perdamaian. Jangan biarkan kepentingan sesaat menyeret rakyat kembali ke jurang konflik,” pungkasnya.

Tanda Tanya

Firdaus Mirza (Sosiolog FISIP USK) dalam sebuah tulisanya memberikan analisa mendalam tentang pernyataan ketua DPRA. Sosiolog ini mempertanyakan, kalau ucapan ini merupakan strategi menciptakan drama politik untuk menguasai ruang wacana, maka publik Aceh sesungguhnya sedang dikorbankan dalam sandiwara politik simbolik.

Menurut Firdaus Mirza, setiap dari pernyataan Ketua DPRA yang kita klaim sebagai bagian aspirasi rakyat Aceh sesungguhnya berada pada ruang abu-abu antara artikulasi politik dan sekadar gimmick.

Ia menjadi arena pertarungan makna, di mana realitas sosial Aceh yang kompleks pasca MoU Helsinki dikonstruksi dan dimanipulasi dalam wacana publik.

“Masalahnya, klaim tersebut tidak disertai dengan mekanisme representasi yang nyata. Rakyat Aceh hadir hanya sebagai entitas simbolik, bukan sebagai subjek yang benar-benar berbicara,” sebutnya.

Rakyat Aceh diposisikan sebagai abstraksi yang dapat diapropriasi oleh elite, sebuah kondisi yang mengingatkan pada tesis Spivak the subaltern cannot speak.

“Dalam konteks Aceh, subaltern yang diam itu adalah masyarakat yang justru ditumpangi klaim oleh elite politiknya,” jelasnya.

Di sisi lain, pola pernyataan seperti ini justru memperlihatkan kecenderungan kelatahan politik dimana isu simbolik diangkat berulang kali untuk membangun citra, namun minim relevansi dengan kebutuhan mendesak rakyat Aceh, kata Firdaus.

Gimmick menjadi jalan pintas untuk menutupi problem mendasar seperti stagnasi pembangunan ekonomi, tingginya angka kemiskinan, ketimpangan pendidikan, dan lemahnya birokrasi.

“Ironisnya, setiap retorika politik Aceh selalu dikaitkan dengan narasi identitas Islam, perlawanan, dan otonomi khusus. Alih-alih memperkuat kedewasaan politik, narasi ini justru digunakan untuk mengunci Aceh dalam politik simbolik yang sesungguhnya rapuh,” katanya.

Pernyataan Ketua DPRA yang dimaknai sebagai aspirasi rakyat, pada akhirnya hanya mengesankan bahwa Aceh memiliki satu suara monolitik, padahal realitas sosial justru sangat beragam dan penuh dinamika.

“Klaim semacam itu juga berisiko memperlebar jarak distrust antara Aceh dan Jakarta. Setiap retorika yang tak sensitif terhadap konteks MoU Helsinki bisa dibaca sebagai bentuk ketidakdewasaan dalam menjaga konsensus damai,” kata Firdaus.

Bukan hanya mereduksi makna aspirasi rakyat, tetapi juga memperkeruh persepsi pusat terhadap komitmen Aceh. Pernyataan tersebut juga sarat makna bertendensi makar terhadap negara, dan ini berbahaya untuk narasi politik damai di Aceh, jelasnya.

“Pertanyaan paling mendasar apakah pernyataan Ketua DPRA ini memang isu paling urgent bagi rakyat Aceh? Ataukah hanya strategi menciptakan drama politik untuk menguasai ruang wacana?,” tanya Firdaus.

Menurut Firdaus, jika jawabannya yang kedua, maka publik Aceh sesungguhnya sedang dikorbankan dalam sandiwara politik simbolik.

Dengan demikian, yang tampak jelas adalah paradoks representasi rakyat yang diklaim justru absen, sementara elite terus memonopoli makna. Politik simbolik semacam ini bukan hanya menipiskan kualitas demokrasi di Aceh, tetapi juga mereduksi substansi perdamaian menjadi sekadar retorika murahan, sebut Firtdaus.

Meredam Aksi

Lain lagi yang disampaikan Murizal Hamzah, penulis buku biografi Hasan Tiro "Jalan Panjang Menuju Damai Aceh". Menurutnya, statemen Ketua DPRA Zulfadhli yang minta pendemo tambah tuntutan Aceh pisah dari NKRI cenderung untuk meredam aksi dan memuaskan ratusan pendemo di halaman Gedung DPRA pada Senin (1/9/2025) serta jutaan rakyat Aceh.

MH, sapaan akrab Murizal Hamzah, mengingatkan sekitar 25 tahun lalu, ada Danrem di Aceh yang teken tuntutan yang diajukan oleh ratusan pendemo yang meminta diadakan referendum di Aceh dengan opsi merdeka atau otonomi khusus di Aceh.

"Paling tidak ada dua hal yang menarik dari aksi di gedung dewan yakni statemen Ketua DPRA dan kibaran bendera Bulan Bintang Sabit. Kita harus memahami psikologi massa. Itu air bah," ucap MH, Rabu (3/9/2025) di Jakarta.

MH mengutip analisis Bapak Psikologi Massa Gustave Le Bon dalam bukunya The Crowd: A Study of the Popular Mind, berpendapat bahwa individu dalam massa kehilangan kepribadian sadarnya yang terbenam dalam pikiran massa kolektif bersifat emosional, impulsif, dan tidak rasional.

Dalam buku terbitan tahun 1895 disebutkan sifat-sifat seperti penurunan kemampuan berpikir kritis, peningkatan sugestibilitas, dan kecenderungan untuk melakukan tindakan yang tidak akan dilakukan secara individu, yang disebut mental unity.

Karakter lainnya, Le Bon menganalisis massa cenderung bereaksi secara impulsif, mudah tersinggung serta tidak rasional dan mudah dipengaruhi.

"Individu dalam massa kurang memiliki kemampuan berlogika dan mudah dipengaruhi oleh sugesti korlap atau sesama pendemo," ungkap lulusan Training Investigasi Jurnalis di Boston Amerika Serikat.

MH menerangkan dua fenomena di Gedung DPRA merupakan bagian dari mengakomodir pendemo yang pada ujungnya mampu meredam tindakan yang tidak diharapkan.

Editor buku Wakapolri Jusuf Manggabarani itu mengingatkan fokus Aceh selanjutnya pada penguatan ekonomi kerakyatan agar roda ekonomi bisa bergulir di Serambi Mekkah. Kemiskinan di Aceh sebagai nomor 1 di Sumatera sejak 2002 harus berkurang dari tahun ke tahun.

"Perut kosong, saldo ATM minim dan isi otak kurang literasi itu sangat berbahaya," jelas penulis buku Mengapa Muslim Rohingya Ditolak di Indonesia?.

Keseleo Lidah Atau Sinyal?

Menanggapi kontroversi tentang pernyataan ketua DPRA, Teuku Kemal Fasya, akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal), ikut memberi pencerahan. Menurut Kemal Fasya, upacan ketua DPRA yang lebih dikenal dengan sebutan Abang Samalanga lebih tepat dipahami sebagai slip of tongue di tengah atmosfer demonstrasi yang penuh emosi.

“Jangan dipolitisasi pernyataan pisah dengan pusat itu. Anggap saja sebagai katalisator positif terhadap demonstran mahasiswa Aceh yang sedikit lambat bergerak,” ujar dosen FISIP Unimal itu.

Ia menilai, Zulfadhli tengah berusaha menunjukkan dirinya sebagai sosok yang peduli rakyat dalam gelombang aksi anti-parlemen yang merebak di berbagai kota.

“Wajar jika sebagai pimpinan DPRA, ia ikut mengekspresikan diri, meski dengan pernyataan yang terkesan provokatif,” tambahnya.

Kemal menegaskan, secara ideologis Partai Aceh (PA) saat ini tidak lagi menggarap isu kemerdekaan. Pada Pemilu 2024 lalu, bahkan isu perjuangan butir-butir MoU Helsinki tak dipakai sebagai strategi kampanye, lantaran dikhawatirkan menimbulkan antipati publik.

“Keberhasilan PA meningkatkan elektabilitas pada Pemilu 2024 harus dijaga momentumnya. Isu yang lebih tepat adalah penguatan kesejahteraan rakyat di bawah NKRI,” ujar Kemal.

Apalagi, lanjutnya, Ketua PA Muzakir Manaf alias Mualem kini semakin memperkuat koalisi politik dengan Partai Gerindra di tingkat nasional.

Meski sempat menuai kontroversi, Kemal menilai manuver Abang Samalanga justru memberi warna positif bagi demonstrasi di Aceh yang digelar menolak kenaikan tunjangan anggota DPR. Ucapannya berhasil menguatkan solidaritas massa, bahkan memperluas tuntutan mahasiswa untuk menolak pembentukan batalyon baru di Aceh.

“Pada akhirnya, aksi mahasiswa tetap berjalan tertib, sopan, dan tidak berujung anarkis. Dalam konteks itu, pernyataan Abang Samalanga justru berfungsi sebagai pelecut semangat. Terima kasihlah kepada Abang Samalanga!” kata Kemal menutup analisanya.

Perbedaan pandangan tentang pernyataan ketua DPRA, sampai kini masih menjadi pembahasan hangat. Antara makar, keseleo lidah atau bentuk dari kekecewaan. Pandangan yang beragam itu semakin membuat Aceh hingar bingar. [bg]

Keyword:


Editor :
Indri

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka